Arya Satria (30), seorang pecundang yang hidup dalam penyesalan, mendapati dirinya didorong jatuh dari atap oleh anggota sindikat kriminal brutal bernama Naga Hitam (NH). Saat kematian di depan mata, ia justru "melompat waktu" kembali ke tubuh remajanya, 12 tahun yang lalu. Arya kembali ke titik waktu genting: enam bulan sebelum Maya, cinta pertamanya, tewas dalam insiden kebakaran yang ternyata adalah pembunuhan terencana NH. Demi mengubah takdir tragis itu, Arya harus berjuang sebagai Reinkarnasi Berandalan. Ia harus menggunakan pengetahuan dewasanya untuk naik ke puncak geng SMA lokal, Garis Depan, menghadapi pertarungan brutal, pengkhianatan dari dalam, dan memutus rantai kekuasaan Naga Hitam di masa lalu. Ini adalah kesempatan kedua Arya. Mampukah ia, sang pengecut di masa depan, menjadi pahlawan di masa lalu, dan menyelamatkan Maya sebelum detik terakhirnya tiba?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon andremnm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27. perlindungan dilaut lepas....
Speedboat hitam itu membelah ombak pagi Selat Sunda, bergerak menjauh dari Kota Serang dengan kecepatan yang menakutkan. Tidak ada suara raungan mesin, hanya desisan air dan angin. Dion, yang terbiasa dengan mesin diesel tua dan motor bobrok, menatap panel kontrol digital di depannya dengan takjub. Ini bukan perahu biasa; ini adalah teknologi militer black ops.
Di buritan, Rani—wanita yang menyelamatkan mereka—bekerja dengan efisiensi yang dingin. Ia telah mengaktifkan autopilot, mengarahkan kapal menuju koordinat tersembunyi.
Maya: (Berteriak melawan angin, sambil memegangi Arya yang terbaring) "Dia tidak bernapas dengan baik! Suntikanmu... sepertinya tidak bekerja!"
Rani: (Tanpa menoleh, suaranya tajam) "Itu stimulan militer, bukan obat ajaib! Itu hanya menjaga jantungnya tetap berdetak. Sekarang diam dan bantu aku. Dia butuh penanganan medis, bukan kepanikanmu."
Rani menekan tombol di konsol. Sebuah kompartemen di dek terbuka, menampakkan medbay darurat yang ringkas. Sebuah tandu bio-foam tipis, monitor EKG portabel, dan kantong IV berisi cairan bening.
Rani: "Angkat dia ke tandu. Hati-hati dengan bahunya."
Maya dan Dion dengan cepat memindahkan Arya. Bio-foam itu langsung mengeras di sekitar tubuh Arya, menstabilkannya. Rani segera memasang IV di lengan Arya.
Dion: "Kau... kau seorang dokter?"
Rani: (Sambil menyiapkan jarum suntik antibiotik) "Aku adalah apa yang dibutuhkan misi ini. Teknisi, dokter, pilot, dan jika perlu, algojo. Sekarang, beritahu aku tentang luka ini. Siapa yang mengeluarkannya?"
Rani menggunakan scanner sonik genggam kecil, mirip perangkat medis masa depan, di atas bahu Arya yang diperban.
Maya: "Surya. Di perbatasan hutan. Dia bilang pelurunya sudah keluar."
Rani: (Melihat pemindai, mengangguk) "Jahitan militer. Kasar, tapi efektif. Pelurunya bersih. Masalahnya bukan lagi lubangnya, tapi infeksi dari air sungai dan lumpur. Dia dalam syok septik. Suhu tubuhnya 41°C. Dia akan mati dalam enam jam jika kita tidak menurunkannya."
Rani menyuntikkan antibiotik spektrum luas ke dalam selang IV.
Rani: "Ini akan melawan infeksinya, tapi dia butuh lebih dari ini. Dia butuh transfusi darah dan ruang operasi steril."
Dion: "Kita bawa dia ke rumah sakit di... Jakarta?"
Rani: (Tertawa dingin) "Jangan bodoh. Rumah sakit mana pun di Jawa adalah jebakan. Komandan Jaya sudah pasti memasang red alert atas nama kalian. 'Teroris Asing'. Kalian akan ditembak di lobi. Virus yang kau lepaskan, Dion, membuat mereka panik, tapi juga membuat mereka semakin berbahaya."
Dion: (Terkejut) "Kau tahu tentang virus itu?"
Rani: "Arya memberitahuku segalanya tentang kalian sebelum dia memulai misi gila ini. Aku tahu keahlianmu, Dion. Aku tahu keberanianmu, Maya. Dan aku tahu kecerobohan Arya."
Maya: "Lalu ke mana kita pergi? Apa rencanamu? Siapa kau sebenarnya?"
Rani berdiri, menatap ke laut lepas. Kabut pagi mulai menipis.
Rani: "Aku adalah 'Rencana B'. Arya adalah 'Rencana A'. Rencana A selalu gagal, dan Rencana B harus membersihkan kekacauannya. Kita akan ke safe house di Pulau Ular—pulau kecil tak berpenghuni di selatan. Di sana aku punya peralatan yang memadai untuk menyelamatkannya."
Tiba-tiba, scanner di panel kontrol berbunyi bip pelan.
Dion: (Menunjuk ke radar) "Apa itu?"
Rani: (Wajahnya mengeras) "Sialan. Terlalu cepat. Mereka sudah mengirim patroli udara angkatan laut. Sebuah helikopter."
Maya: "Bagaimana mereka tahu kita di sini?"
Rani: (sambil menatap Maya) "Karena kotak perak itu! Itu sinyal S.O.S. darurat frekuensi tinggi! Aku mendapatkannya, tapi militer juga mencegat frekuensi itu. Mereka tahu lokasimu di Dermaga Beta-7, dan mereka tahu kau melarikan diri ke laut!"
Dion: "Jadi kita menjebak diri kita sendiri?!"
Rani: "Kalian menyelamatkan nyawa Arya! Sekarang diam!"
Rani berlari ke kemudi, mematikan autopilot. Dia menekan serangkaian tombol.
Rani: "Aku mengaktifkan mode senyap. Mesin akan beralih ke motor listrik bawah air. Kita akan bergerak lambat, tapi jejak panas kita akan hilang."
Mesin speedboat berubah dari desisan menjadi nyaris tak terdengar. Kecepatan mereka berkurang drastis.
Rani: "Helikopter itu akan menyisir area ini. Kita harus bersembunyi di balik Karang Tiga di depan sana. Maya, awasi Arya. Dion, awasi radar. Katakan padaku jika kau melihat sesuatu yang lebih besar dari perahu nelayan. Selamat datang di laut lepas, anak-anak. Permainan baru saja dimulai."
Speedboat itu kini melaju dalam keheningan total, hanya menggunakan motor listrik bawah air. Suara desisan air yang terbelah adalah satu-satunya bunyi, kontras dengan deru mesin diesel yang mereka gunakan sebelumnya. Rani memegang kemudi dengan tenang, matanya memindai cakrawala dan panel radar secara bergantian.
Dion: (Berbisik tegang, matanya terpaku pada layar radar) "Rani... radar. Titik merah. Bergerak sangat cepat. 5 kilometer dan terus mendekat. Itu pasti helikopternya."
Rani: (Mengangguk) "Aku lihat. Itu Helikopter Serbu Bell 412. Militer. Mereka punya Pencitraan Termal) dan radar pencari permukaan. Mode senyap kita menyembunyikan panas mesin, tapi tidak suhu badan kapal dan panas tubuh kita."
Maya: (Melihat Arya yang gemetar di tandu) "Dia kedinginan. Tapi suhu tubuhnya... kulitnya terbakar. Demamnya parah."
Rani: "Bungkus dia dengan selimut termal darurat di medbay. Selimut perak itu akan memantulkan panas tubuhnya kembali ke dalam, menghangatkannya sekaligus menyembunyikan jejak panasnya dari pemindai FLIR helikopter. Cepat!"
Maya segera mengambil selimut perak tipis itu dan membungkus Arya rapat-rapat, seperti kepompong.
Di kejauhan, suara whump-whump-whump dari baling-baling helikopter mulai terdengar samar di atas angin laut.
Dion: "Mereka melihat kita! Mereka mengarah lurus ke sini!"
Rani: "Mereka belum melihat kita. Mereka melihat lokasi sinyal terakhir dari kotak perak Arya. Kita harus mencapai Karang Tiga sebelum mereka mengunci visual."
Rani mendorong motor listrik hingga batasnya. Speedboat itu melaju tanpa suara, tetapi meninggalkan jejak riak air yang jelas di permukaan laut yang tenang.
Karang Tiga—tiga formasi batu karang vulkanik raksasa—menjulang di depan mereka. Itu adalah satu-satunya tempat berlindung di perairan terbuka itu.
Helikopter itu kini terlihat jelas. Hitam, mengancam, dan semakin dekat.
Rani: "Pegang erat! Aku akan masuk ke celah!"
Rani membelokkan speedboat dengan tajam, mengarahkannya ke celah sempit di antara dua batu karang terbesar. Air bergolak hebat saat speedboat itu masuk ke dalam bayangan celah, tersembunyi dari pandangan langsung.
Rani segera mematikan motor listrik sepenuhnya.
Rani: (Berbisik sangat pelan) "Diam total. Jangan ada yang bergerak. Jangan ada yang bicara. Jangan bernapas terlalu keras."
Perahu itu kini hanya terombang-ambing pelan oleh ombak kecil di dalam celah. Di luar, suara whump-whump-whump menjadi memekakkan telinga. Helikopter itu tiba di atas Karang Tiga.
Bayangannya menyapu permukaan air tepat di depan tempat persembunyian mereka.
Dion menutup matanya erat-erat, tangannya mencengkeram panel kontrol. Maya menahan napas, satu tangannya menekan lembut selimut termal di dada Arya, seolah takut detak jantung Arya yang lemah pun bisa terdengar.
Helikopter itu berputar. Sekali. Dua kali. Jelas mereka mencari sesuatu yang kecil di area yang luas. Mereka menggunakan lampu sorot berkekuatan tinggi, menyapu permukaan air, mencari pantulan.
Tiba-tiba, Arya batuk. Batuk yang basah, keras, dan menyakitkan, tanda infeksi di paru-parunya memburuk.
KHAK! KHAK!
Maya segera menekan wajahnya ke selimut termal, mencoba meredam suara itu.
Di luar, helikopter itu berhenti berputar.
Dion: (Berbisik ngeri) "Mereka mendengarnya..."
Helikopter itu melayang diam di atas Karang Tiga. Mereka pasti sedang mendengarkan dengan sensor akustik.
Mereka menunggu selama tiga puluh detik yang terasa seperti selamanya.
Rani: (Melihat ke panel radar termal) "Suhu batu karang ini lebih tinggi dari suhu laut. FLIR mereka akan kesulitan membedakan panas tubuh kita dari panas batu yang terpapar matahari pagi. Mereka buta sensor."
Setelah satu menit penuh, helikopter itu sepertinya menyerah. Suara mesinnya berubah nada saat mulai bergerak lagi.
Dion: (Menghela napas, melihat radar) "Itu... bergerak menjauh. Ke arah selatan. Mereka pikir kita lolos ke selatan."
Rani: "Belum. Mereka akan melakukan sapuan 'garu', lalu kembali. Mereka akan melebarkan area pencarian. Kita harus bergerak sekarang, selagi mereka di luar jangkauan visual."
Rani menyalakan kembali motor listrik dalam mode senyap. Speedboat itu meluncur keluar dari celah karang.
Rani: (menatap Dion) "Dion. Aku butuh keahlianmu. Aku butuh jamming. Helikopter itu akan segera kembali memindai. Bisakah kau menggunakan panel komunikasiku untuk membuat sinyal hantu? Sesuatu yang mengarahkan mereka ke arah yang salah?"
Dion menatap panel komunikasi canggih di depannya. Ini teknologi yang jauh melampaui radio Surya.
Dion: (Menelan ludah, lalu mengangguk) "Ini... teknologi militer. Jauh lebih canggih... Tapi ya. Beri aku lima menit. Aku bisa membuat mereka mengejar perahu nelayan di Selat Sunda."
Rani: "Bagus. Maya, jaga Arya. Misi kita: Pulau Ular. Dan kita harus sampai di sana sebelum infeksi itu membunuhnya."
Speedboat itu kembali melaju dalam mode senyap, membelah ombak dengan hati-hati. Rani menjaga kecepatan tetap rendah, berusaha meminimalkan riak air. Di panel kontrol, Dion bekerja dengan kecepatan dan intensitas yang menakutkan. Dia bukan lagi remaja yang trauma; dia adalah operator teknis yang sedang berperang.
Dion: (Berbicara pada dirinya sendiri) "Sistem ini canggih. Frekuensi Angkatan Laut terenkripsi... tapi mereka menggunakan protokol handshake standar untuk komunikasi darurat... Jika aku bisa memalsukan sinyal Mayday dari kapal tanker besar..."
Rani: (Mengawasi radar, sambil mengemudi) "Jangan buat sesuatu yang terlalu besar, Dion. Mereka akan tahu itu palsu. Buat sesuatu yang masuk akal. Sesuatu yang cukup mendesak untuk menarik perhatian helikopter itu, tapi tidak cukup besar untuk memanggil seluruh armada."
Dion: "Aku mengerti. Bukan kapal tanker. Tapi... sebuah perahu nelayan."
Dion mulai mengetik serangkaian perintah ke konsol. Dia meretas frekuensi radio sipil yang tidak terenkripsi, mencari sinyal lemah dari perahu nelayan sungguhan di area tersebut.
Dion: "Aku menemukannya! Sebuah perahu nelayan bernama 'Bintang Timur', sekitar 20 kilometer di selatan kita. Sinyal radionya lemah. Aku akan membajak frekuensi mereka dan mengirimkan sinyal bahaya palsu menggunakan identitas mereka."
Dion mulai mengunggah loop audio singkat—panggilan S.O.S. palsu—dan memancarkannya dengan daya dorong yang jauh lebih kuat, menargetkannya langsung ke helikopter militer.
Dion: "Terkirim. Sekarang kita tunggu."
Mereka menunggu. Di layar radar, titik merah yang mewakili helikopter itu berputar.
Dion: (Menahan napas) "Dia berputar... dia berputar... YA! Dia mengambil umpannya! Helikopter itu bergerak ke selatan! Menjauh dari kita! Menuju 'Bintang Timur'!"
Rani: (Mengangguk, sedikit terkesan) "Kerja bagus, Dion. Kau baru saja membeli kita dua jam. Itu sudah cukup untuk mencapai Pulau Ular."
Rani segera mengaktifkan kembali mesin utama speedboat. Suara desisan berganti menjadi raungan mesin ganda yang bertenaga. Perahu itu melonjak maju, melaju kencang di atas ombak, kini bergerak dengan kecepatan penuh.
Di buritan, Maya telah menggunakan semua sisa es kering di medbay untuk mendinginkan Arya. Dia telah membersihkan luka tembak itu lagi, tetapi selimut termal perak kini basah oleh keringat dingin Arya.
Maya: (Berteriak pada Rani) "Dia tidak membaik! Infeksinya terlalu kuat! Suntikanmu tidak cukup!"
Rani: "Aku tahu! Kita butuh ruang steril!"
Tiba-tiba, tubuh Arya mulai kejang. Kejang hebat, matanya terbalik. Syok septik telah mencapai otaknya.
Maya: (Menjerit panik) "DION! RANI! DIA KEJANG!"
Rani berlari ke belakang, meninggalkan kemudi pada autopilot lagi. Dia melihat kondisi Arya.
Rani: "Jantungnya akan berhenti. Infeksinya membanjiri sistemnya. Kita akan kehilangan dia."
Maya: (Menangis, mengguncang bahu Arya) "Tidak! Jangan menyerah, Arya! Kau sudah berjuang sejauh ini! Kumohon! Kau bilang kau dari masa depan! Kau tahu ini akan terjadi! Lawan ini!"
Dion: (Berdiri di samping Maya, ngeri) "Maya... mungkin... mungkin sudah waktunya..."
Rani: (Melihat ke monitor EKG) "Detak jantungnya menurun drastis... 40... 35..."
Maya menolak untuk menyerah. Dia teringat sesuatu yang Arya katakan di bunker. 'Kuncinya ada di otakmu... bukan di tanganmu... bertahan...'.
Maya: (Berteriak di telinga Arya) "NAGA HITAM JATUH! Ingat sandinya, Arya?! KAU YANG MEMBUAT SANDI ITU! NAGA HITAM JATUH! BANGUN!"
Di monitor EKG, detak jantung Arya stabil di angka 30. Lalu... berhenti.
Garis lurus. Suara beep panjang yang konstan memenuhi speedboat.
Dion: "Dia... dia pergi."
Rani menundukkan kepalanya.
Maya menatap garis lurus itu. Tidak. Dia menolak.
Maya: (Menggertakkan gigi) "Tidak."
Dia mulai melakukan CPR (Resusitasi Jantung Paru) pada Arya, menekan dadanya dengan ritme yang putus asa, mengabaikan fakta bahwa lukanya masih basah.
Rani: "Maya, hentikan. Sudah terlambat. Paru-parunya penuh cairan."
Maya: (Terus menekan, air mata mengalir deras) "SATU... DUA... TIGA... KAU TIDAK AKAN MATI DI SINI, ARYA! KAU MENDENGAR SAYA?! EMPAT... LIMA... ENAM..."
Dia terus menekan. Dion memalingkan wajah, tidak sanggup melihat. Rani bersiap untuk mengambil alih kemudi.
...Lalu, monitor EKG berkedip.
Bip... Bip...
Garis lurus itu pecah menjadi ritme yang lemah dan tidak menentu.
Arya mengambil napas dalam-dalam yang serak dan menyakitkan. Matanya terbuka, tidak fokus, tapi terbuka.
Arya: (Berbisik sangat pelan, suaranya seperti hantu) "Maya... kau... berisik sekali..."
Arya kembali pingsan, tetapi dia bernapas. Dia hidup.
Rani: (Ternganga sejenak, lalu tersenyum tipis) "Bocah keras kepala. Dia tidak mau mati."
Rani: (Kembali ke kemudi) "Baiklah. Dia sudah membeli waktunya sendiri. Sekarang giliranku. Dion, awasi dia. Maya, kau sudah melakukan tugasmu. Pulau Ular... sepuluh menit lagi."