NovelToon NovelToon
Bukan Sistem Biasa

Bukan Sistem Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Dikelilingi wanita cantik / Bercocok tanam / Sistem
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Sarif Hidayat

Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
​Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
​Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
​Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
​[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
​Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 pergi ke pasar bersama bela

Keesokan paginya, sinar mentari perlahan menyelinap dari celah jendela, membangunkan Rama. Alisnya sedikit berkerut, merasakan sensasi familiar dari energi yang mengalir di nadinya. Ia membuka mata dengan tenang, seolah telah terbiasa dengan rutinitas baru ini.

​Tak lama, suara elektronik yang renyah dan bersemangat bergema di benaknya.

​[DING! Selamat pagi, Tuan Rumah! Hari baru, semangat baru! Anda telah menerima hadiah login harian: 100 Koin Penukaran!]

​Rama meregangkan tubuhnya, menggerutu pelan sambil merasakan setiap persendiannya berderit nyaman. Ia bangkit, namun pikirannya sudah terfokus pada status terbarunya.

​"Sistem, buka profil," perintahnya tanpa menunggu.

​[DING! PROFIL TUAN RUMAH PEMILIK BUKAN SISTEM BIASA]

NAMA : Rama Keswara]

RAS : Manusia]

STATUS : Kutivator Tingkat Qi pemula tahap puncak]

UMUR : 17 Tahun]

KEKUATAN TUBUH | 250% / 1000%]

POIN TUKAR : 1,880]

KEAHLIAN KHUSUS : Memasak Raja Chef]

| HADIAH BELUM DIAMBIL | Uang Tunai Rp 25.000.000]

Melihat jumlah Poin Tukar yang sudah melampaui seribu, sepasang mata Rama melebar sedikit karena terkejut. Selama sepuluh hari menjalani proses menjadi seorang kultivator, ia memang sering mengabaikan notifikasi harian, fokus pada latihannya.

​Namun, yang benar-benar membuatnya tersenyum puas adalah kolom Kekuatan Tubuh. Angka itu melompat drastis, dari 70% menjadi 250%. Tentu saja, kenaikan pesat ini adalah hasil langsung dari statusnya sebagai kultivator. Pemahaman mendalam tentang konsep kultivasi kini mengakar kuat dalam memorinya, melebur sempurna tanpa perlu lagi bertanya pada Sistem.

​Kehangatan di Meja Makan

​Pagi itu, Rama kembali mengambil alih dapur. Bu Maya, seperti biasa, tidak menolak sedikit pun ketika Rama menawarkan diri untuk memasak—ia bahkan cenderung menunggu tawaran itu.

​Beberapa saat kemudian, aroma nasi goreng yang digoreng dengan sempurna, gurih, dan sedikit manis langsung menyeruak ke seluruh penjuru rumah, memanggil penghuninya. Di antara semua yang hadir, Bela adalah yang pertama bereaksi.

​"Wah! Kak Rama! Aku kangeeen banget sama rasa nasi goreng buatanmu! Aku kira aku tidak akan merasakannya lagi!" seru Bela penuh semangat, kedua tangannya mengatup di depan dada, matanya berbinar seperti menemukan harta karun.

​Rama tersenyum hangat. "Makanlah sepuasnya. Kakak sengaja memasak cukup banyak untuk kita semua."

​"Ah, terima kasih, Kak! Kamu memang yang terbaik!" Tanpa basa-basi lagi, Bela langsung menyerbu sepiring penuh nasi goreng, sendoknya bergerak cepat.

​"Mmmpp... Nasi goreng buatan Kak Rama memang juara! Bahkan nasi goreng restoran bintang lima pun tidak bisa dibandingkan dengan ini," kata Bela, pipinya menggembung lucu karena mengunyah tanpa henti.

​Melihat pemandangan itu, Bu Maya dan Pak Suhardi hanya bisa menggelengkan kepala.

​"Pelan-pelan, Nak. Tidakkah kamu malu pada Rama karena makan seperti itu?" tegur Bu Maya, meski di matanya tersirat kelembutan.

​Bela, dengan mulut penuh, justru menjawab tanpa merasa bersalah, "Kenapa harus malu? Lagipula, Ibu juga sama makannya cepat banget waktu pertama kali makan masakan Kak Rama!"

​Seketika, Bu Maya terdiam. Wajahnya sedikit memerah, merasa tertangkap basah. Rasa malunya bertambah ketika Pak Suhardi menyambar, "Nah, itu benar! Kalian berdua sama saja. Kalau sudah di meja makan dengan masakan Rama, kalian seperti orang yang belum makan seharian!"

​"Memangnya Bapak tidak sama? Jangan kira Ibu tidak tahu, ya, Pak! Terakhir kali saat makan malam, Bapak terbangun tengah malam lalu mencari sisa makanan di dapur seperti seekor kucing kelaparan!" Bu Maya membalas, dengan cepat membalikkan keadaan.

​Pak Suhardi terbatuk-batuk, tersedak nasi yang baru saja ia masukkan ke mulutnya. Skakmat! Ia tidak menyangka istrinya akan mengetahui perbuatannya itu.

​"Itu...!" Suhardi tidak bisa mengelak. "Ah, sudahlah! Kita semua memang sama. Bapak tidak bisa berbohong. Masakanmu, Rama, memang benar-benar enak. Bapak merasa ingin terus memakannya, meski perut Bapak sudah tidak sanggup lagi."

​Suasana sarapan itu begitu hangat, diwarnai tawa dan saling ledek. Namun, kehangatan itu terhenti sejenak ketika Rama angkat bicara.

​"Oh ya, Bu, setelah ini aku mau izin pergi ke pasar bersama Bela."

​Bu Maya dan Pak Suhardi saling pandang sekilas. Ekspresi mereka menunjukkan sedikit keraguan.

​"Memangnya kamu punya uang, Rama? Bukannya minggu lalu kamu sudah pergi ke pasar?" tanya Pak Suhardi. Ia paling tahu kondisi keuangan pemuda itu. Sejak masalah dengan Kohar, Rama belum mendapatkan pekerjaan serabutan lagi.

​"Pak, apa sih! Kenapa bicara begitu! Lagipula, kami cuma mau jalan-jalan, kok, tanpa membeli apa-apa," bela Bela, khawatir ucapan ayahnya akan menyinggung Rama.

​"Lho, Bapak cuma bertanya. Memangnya kamu hanya mau melihat orang-orang belanja di sana? Pasar itu bukan tempat hiburan, Nak, tapi tempat orang mencari kebutuhan," ujar Pak Suhardi. "Berapa uangmu? Bapak akan menambahkan sedikit jika kamu ingin membeli sesuatu."

​"Ada, Pak, kalau soal uang. Waktu pergi kemarin, ada seseorang yang baik hati memberiku uang. Jadi Bapak tidak perlu khawatir. Aku janji akan membuat Bela senang di sana," sela Rama cepat, memberikan alasan sebelum Bela sempat membuka mulutnya lebih jauh.

​"Sudahlah, Pak, biarkan saja mereka pergi. Lagipula, kalau Bapak memang mau kasih Bela uang, ya tinggal kasih saja! Jangan-jangan Bapak sendiri yang tidak punya uang?" Bu Maya menimpali, menatap suaminya dengan sorot mata curiga dan tajam.

​"Lho, kok jadi Bapak?" Suhardi merasa situasi mulai berbalik menyerangnya.

​"Ada apa? Jangan bilang Bapak enggak punya uang. Ingat, lho, Pak, Bapak belum kasih Ibu uang belanjaan," Bu Maya mendesak.

​"Nah, benar tuh kata Ibu! Jangan-jangan Bapak sendiri yang enggak punya uang? Humph... Padahal Bela mau beli beberapa pakaian. Masa Bela cuma punya beberapa setel pakaian saja di lemari? Apalagi yang lain sudah pada kecil, enggak muat di badan Bela," sahut Bela, memanfaatkan momentum itu dengan kepandaian yang mengejutkan.

​Pak Suhardi hanya bisa pasrah. "Dasar kalian ini, Ibu sama anak sama-sama mata duitan," katanya, menghela napas lelah. Kemudian, ia bangkit dan berjalan menuju kamar. Bu Maya dan Bela saling pandang, tersenyum tipis—senyum penuh kemenangan atas operasi senyap yang tidak terencana itu.

​Rama sendiri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia menahan tawa, merasa lucu sekaligus iba melihat wajah Pak Suhardi yang kesal dan tak berdaya.

​Setelah mendapatkan izin dan sejumlah uang dari Pak Suhardi, Rama dan Bela pun berangkat menuju pasar.

​"Hati-hati ya, Nak. Jangan sampai merepotkan Rama. Beli sesuatu yang sekiranya mampu kamu beli," pesan Bu Maya pada Bela sebelum mereka pergi.

​"Iya, Bu!" jawab Bela. Keduanya kemudian benar-benar menghilang dari pandangan Bu Maya dan Pak Suhardi.

​Perubahan Rama

​"Ngomong-ngomong, kenapa ya, Pak," lirih Bu Maya, kembali ke meja makan setelah kepergian Rama dan Bela, "Ibu merasa Rama akhir-akhir ini banyak berubah?"

​"Iya, Bu. Bapak juga merasakan hal yang sama. Semenjak kejadian Rama bermasalah dengan Kohar, Rama seperti bukan Rama yang kita kenal. Dari segi penampilan dan sikapnya yang tampak tenang, ia memancarkan kedewasaan yang seperti seseorang yang sudah berumur matang," sahut Suhardi, mengangguk setuju sambil menyesap tehnya.

​Meskipun kebingungan menyelimuti mereka berdua, mereka memutuskan untuk memendamnya. Biarlah perubahan Rama menjadi misteri kecil yang tidak perlu mereka pikirkan. Bagi mereka, pemuda itu sudah cukup menderita setelah ditinggalkan orang tuanya, dan melihat adanya perubahan positif dan kedewasaan pada dirinya, tentu saja mereka ikut senang.

1
Andira Rahmawati
cerita yg menarik...👍👍👍
Cihuk Abatasa (Santrigabut)
Nice Thor
Santoso
Kayak jadi ikut merasakan cerita yang dialami tokohnya.
shookiebu👽
Keren abis! 😎
Odalis Pérez
Gokil banget thor, bikin ngakak sampe pagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!