Follow IG 👉 Salsabilagresya
Follow FB 👉 Gresya Salsabila
"Aku tidak bisa meninggalkan dia, tapi aku juga tidak mau berpisah denganmu. Aku mencintai kalian, aku ingin kita bertiga hidup bersama. Kau dan dia menjadi istriku."
Maurena Alexandra dihadapkan pada kenyataan pahit, suami yang sangat dicintai berkhianat dan menawarkan poligami. Lebih parahnya lagi, wanita yang akan menjadi madu adalah sahabatnya sendiri—Elsabila Zaqia.
Akan tetapi, Mauren bukan wanita lemah yang tunduk dengan cinta. Daripada poligami, dia lebih memilih membuang suami. Dia juga berjanji akan membuat dua pengkhianat itu merasakan sakit yang berkali lipat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membuang Jeevan
Tidak sampai lima menit, pintu utama kembali dibuka. Kali ini bukan Nina yang datang, melainkan Mauren. Dia tersenyum lebar saat beradu pandang dengan Jeevan.
"Sudah datang, Mas," sapa Mauren dengan nada santai.
"Sayang, tadi Nina melarangku masuk. Katanya, itu pesan darimu. Kenapa?" Jeevan bertanya cepat, bahkan sampai mengabaikan sapaan Mauren.
"Karena ... aku sudah menyiapkannya di sini," jawab Mauren sambil menunjuk tiga kardus besar yang ada di samping pintu.
Jeevan mengikuti arah telunjuk Mauren, lalu mengernyit karena tak paham dengan isi di dalamnya.
"Sayang, itu ... apa?" tanya Jeevan dengan harap-harap cemas.
Lagi-lagi Mauren tersenyum lebar, "Itu barang-barangmu, Mas. Mulai dari pakaian sampai alat mandi. Aku sangat perhatian, kan, sudah mau menyisakan waktu demi menyiapkannya kebutuhanmu."
"Barang-barangku? Apa maksudnya ini? Sayang___"
"Mas," pungkas Mauren dengan nada manja. "Mulai sekarang aku akan memberimu kebebasan, termasuk menjalin hubungan dengan Elsa. Aku nggak akan melarang. Tapi, sebagai gantinya kamu harus mencari tempat yang lebih baik. Untuk bersanding dengan wanita seistimewa Elsa, rumahku terlalu kumuh untuk kamu tinggali. Jadi ... cari tempat baru, ya."
Jeevan kesulitan menelan ludah. Meski suara Mauren terdengar ramah dan manja, juga bibir tak henti mengulum senyum, tetapi Jeevan tahu maksud yang sebenarnya. Mauren telah mengusirnya.
"Sebagi wanita yang amat-sangat mencintaimu ...dulu, aku nggak akan membiarkan kamu kesulitan membawa ini, Mas. Aku sudah menyiapkan kertas-kertas berharga untuk kamu menyewa kereta kencana. Semoga perjalananmu menyenangkan ya, Mas." Mauren kembali bicara. Kali ini sambil mendekati Jeevan dan menyelipkan lima lembar uang puluhan ribu di saku kemeja.
"Sayang___"
"HP-mu masih ada, kan? Jadi, nanti kabari aku di mana alamat barumu karena dalam waktu dekat aku akan mengirim surat cinta yang istimewa," potong Mauren masih dengan nada manja.
Jeevan gelagapan. Dia tahu yang dimaksud surat cinta adalah gugatan perceraian.
"Jangan bicara yang nggak-nggak, Sayang. Kita akan tetap bersama, aku dan kamu tinggal berdua di rumah ini. Kita bina rumah tangga yang lebih baik lagi. Maafkan aku, apa yang kulakukan memang salah. Tapi, sekarang aku sudah sadar. Aku akan mengakhiri semuanya dan menuruti apa pun yang kamu mau. Aku akan menebus kesalahanku, Sayang, tolong beri kesempatan kedua," bujuk Jeevan seraya menggenggam tangan Mauren.
"Kemarin aku sudah memberimu kesempatan kedua, Mas, tapi kamu tak acuh. Kamu tetap bersikeras mempertahankan Elsa!" Mauren menjawab sambil menepis tangan Jeevan.
"Maafkan aku, Sayang, kemarin aku masih bodoh dan tidak bisa berpikir jernih. Sekarang, aku sadar mana yang baik dan mana yang tidak. Aku sudah berpisah dengan Elsa, ke depannya tidak akan ada lagi hubungan di antara kami. Jadi tolong, Sayang, beri aku kesempatan." Jeevan terus memohon.
"Cukup, Mas! Kamu sendiri yang menodai kepercayaanku, jadi sekarang jangan harap aku mau percaya lagi sama kamu. Silakan pergi dan kita bertemu lagi di pengadilan. Kita harus cerai!" bentak Mauren.
"Nggak, Sayang. Aku nggak mau cerai. Aku sangat mencintaimu, aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku___"
"Nggak bisa hidup tanpa aku atau tanpa hartaku?" pungkas Mauren.
"Sayang, kamu salah menilai. Aku benar-benar cinta sama kamu, ini nggak ada hubungannya dengan harta," sahut Jeevan dengan cepat.
Mauren tak menanggapi, sekadar memutar bola mata dengan jengah.
"Tadi aku rela mengantre panjang demi ini." Jeevan menyodorkan bolu pandan kepada Mauren. "Maaf, hanya bisa membelikan bolu kesukaanmu. Kamu tahu, kan, aku tidak memegang uang. Ini kebetulan ada uang yang terselip di saku celana," sambungnya.
"Di saku celananya Elsa, kan, maksudmu?" Mauren melipat tangan di dada, sama sekali tak ada niat mengambil bolu pandan yang disodorkan Jeevan.
"Sayang___"
"Aku nggak bodoh, Mas. Berapa banyak waktu yang kamu habiskan di sana? Dengan mudahnya sekarang bilang udah putus dan mau balik sama aku. Apa yang kamu rencanakan, Mas?" Mauren memotong ucapan Jeevan dengan tatapan tajam.
"Kalau kamu memang tulus minta maaf dan sadar jika yang kamu lakukan itu salah, kamu tidak mungkin mengantarkan Elsa dan menghabiskan waktu bersama dia."
"Aku mengantarkan dia untuk menyelesaikan urusan, Sayang," jawab Jeevan.
"Urusan ranjang, kan?" bentak Mauren. "Udah ya, Mas, aku capek sama kamu. Cepat sana pergi dan jangan pernah lagi menginjakkan kaki di sini. Bawa serta makanan itu, aku nggak butuh!"
Mendengar penolakan Mauren yang terus-menerus, emosi Jeevan mulai tersulut. Kini, dia tak mau lagi mengiba atau memohon. Dia akan melawan Mauren.
"Kamu benar-benar angkuh, Mauren! Sangat berbeda dengan Elsa yang berhati lembut. Rupanya harta telah membutakan hatimu!" Jeevan bicara sembari melayangkan tatapan tajam.
"Iya, aku memang angkuh. Untuk itu pergilah, kita nggak cocok. Kamu terlalu baik buat aku," sahut Mauren dengan asal.
"Baik, aku akan pergi dan meluluskan keinginanmu yang bersikeras cerai. Tapi, kembalikan ATM-ku. Tabungan yang ada di sana adalah hasil jerih payahku dalam bekerja. Kamu tidak berhak mengambilnya!" ucap Jeevan.
"Oh ya? Bukannya itu uang hasil korupsi, ya? Setiap bulan kamu mengambil uang perusahaan dan menyimpannya di sana. Masih untung loh, Mas, aku nggak menjebloskan kamu ke penjara." Mauren membalas tatapan Jeevan dengan berani.
Jeevan mendadak bungkam. Dia tidak menyangka jika Mauren mengetahui tindakannya secepat ini.
"Sudah, Mas, cepat pergi! Aku nggak punya banyak waktu untuk meladeni kamu," sambung Mauren.
"Aku menyisihkan uang itu juga untuk kita, bukan untuk kepentinganku sendiri. Bisa-bisanya kamu mengataiku korupsi. Tapi, terserah padamu mau percaya atau nggak. Hanya saja, selama dua tahun ini aku juga bekerja keras. Kalau tabunganku terpaksa kamu ambil, oke nggak masalah, tapi kita harus membagi harta gono-gini," ujar Jeevan. Pikirannya sudah buntu, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sebagian harta.
"Harta gono-gini? Aku nggak salah dengar, Mas?" Mauren tertawa renyah. "Kamu datang ke sini hanya membawa baju, peralatan mandi, dan motor butut. Sedangkan mobil, rumah, dan fasilitas lain yang kamu miliki itu dari aku. Masih punya muka kamu membahas harta gono-gini? Bawa saja motor bututmu, aku juga nggak butuh sampah seperti itu," sambungnya.
Jeevan mengepal erat. Andai saja tidak takut dengan hukum, pasti saat ini sudah menghajar Mauren. Istrinya itu benar-benar menginjak harga diri.
"Kamu jangan keterlaluan, Mauren! Selama ini aku bekerja keras untuk Victory!" bentak Jeevan.
"Aku tahu. Untuk itu aku akan membayarmu. Gajimu selama dua tahun akan kubayar, tapi ... aku juga istrimu. Jadi, gajimu harus dipotong dengan uang nafkah. Kamu nggak lupa, kan, kalau salah satu kewajiban suami adalah menafkahi istri? Dan selama ini kamu nggak pernah kasih aku nafkah." Mauren menaikkan kedua alisnya.
"Kamu!" geram Jeevan.
"Sudah, jangan marah-marah! Nanti tenagamu habis dan pingsan di jalan. Siapa coba yang akan menolong?"
"Aku tidak terima dengan perlakuanmu ini, Mauren!" bentak Jeevan.
"Oke, kita selesaikan nanti di pengadilan. Silakan kamu mengupayakan segala cara untuk mendapatkan harta gono-gini, aku sama sekali nggak takut. Tapi, kupastikan hanya uang sisa gaji yang bisa kamu terima, Mas."
Usai bicara demikian, Mauren pergi dan meninggalkan Jeevan yang masih dikuasai amarah. Mauren masuk ke rumah dan kembali mengunci pintu, lantas menyuruh Nina untuk mengawasi Jeevan dari balik kaca, kalau saja melakukan hal yang mengancam keselamatan.
Sementara itu, Mauren bergegas naik ke lantai dua dan masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di ranjang sembari menenangkan perasaan yang sempat berantakan. Ketika Mauren sedang sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba ponselnya bergetar.
Dengan malas Mauren meraih ponsel itu dan membaca satu pesan baru. Detik itu juga, matanya membelalak.
"Ini ... tidak mungkin," gumam Mauren.
Bersambung...
Rendra kaya kau kismin
pengkhianatan dan kdrt.