NovelToon NovelToon
Bukan Bujang Desa Biasa

Bukan Bujang Desa Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:61.5k
Nilai: 4.9
Nama Author: Kim99

“Menikahlah denganku, Kang!”

“Apa untungnya untukku?”

“Kegadisanku, aku dengar Kang Saga suka 'perawan' kan? Akang bisa dapatkan itu, tapi syaratnya kita nikah dulu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Minjem dulu Seratus

Setelah drama pendek usai, kini Naura duduk di sisi kanan, berbalut kebaya baby pink berhias payet halus yang memantulkan cahaya sore. Pipinya merona karena malu, tapi senyumnya cerah. Di sampingnya, Sagara duduk dengan wajah serius namun lembut, mengenakan batik hitam-cokelat khas Priangan.

Raka duduk agak jauh, matanya berulang kali menatap ke arah kakaknya dengan campuran heran dan bangga yang belum selesai ia uraikan. Nanda dan Satya, yang duduk di seberang, tampak kikuk karena mereka tidak bisa menampilkan kemarahan.

“Alhamdulillah.” Abah Ali berseru. "Kalau boleh sekalian, Bu Windi, kita tentuin tanggal nikahnya aja. Biar enggak terlalu lama.” Padahal dia yang mengatakannya dan Wajah Abah Ali langsung berseri. “Bulan depan tuh ada tanggal baik, antara tanggal dua belas sama tujuh belas. Kalau keluarga perempuan setuju, saya langsung siapin semuanya!”

Satya tampak lebih kesal lagi setelah mendengar hal tersebut, Kalau bulan depan, itu artinya pernikahan Naura dan juga Sagara tidak akan berbeda jauh dengan pernikahannya dengan Nanda.

"Mereka itu emang jahat, Neng."

"Sabar, A." Nanda mengusap lengan calon suaminya. "Katanya Kang Sagara bukan orang baik, biarin aja. Ini yang Teh Naura mau."

Senyum simpul tersungging di bibir Satya, matanya menatap lembut ke arah Nanda dan dia mengangguk. "Maaf ya soal tadi, aku enggak sengaja."

"Aku ngerti, A."

Belum sempat pembahasan itu selesai, terdengar suara tok-tok-tok keras dari pintu depan. Semua orang menoleh bersamaan dan jelas terdengar kalau Suara itu begitu terburu-buru seperti orang panik.

“Assalamu'alaikum. Permisi! Permisi, Bu! Neng Naura!”

Seseorang mendorong pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Seorang pria tua, tubuhnya kurus, wajahnya pucat, peluh membanjir di pelipis. Di tangannya, ia membawa kantong keresek hitam yang basah di bagian bawahnya.

"Wa'alaikumsalam."

Memang, awalnya Naura masih menunggu, tapi karena firasat nya tidak enak, Naura yang tadinya masih duduk tegak, langsung bangkit. “Pak, kenapa? Ada apa?”

"Anu." Pria itu menatapnya dengan gemetar. “I-istri saya, Neng Bidan, barusan melahirkan anak ketujuh kami, tapi, ini keluar.”

Pandangan Naura beralih dan bapak-bapak itu mengangkat kantong kereseknya sedikit, aroma anyir darah langsung menyeruak menusuk hidung semua orang di ruangan.

Beberapa orang sampai berpaling dan Nanda spontan menutup mulutnya.

"Bawa apa sih?" geram Satya. "Bau kayak gini."

Naura perlahan membuka kantong itu sedikit dan saat pandangannya jatuh pada gumpalan daging merah keunguan yang masih basah, jantungnya seperti diremas dengan kuat.

“Ya Allah Bapak, astaghfirullah." Naura tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. "ini rahimnya,” bisiknya. "Ini rahim, Pak. Kenapa bisa di sini? Ibunya mana?"

"Di rumah, Neng. Tolong istri saya atuh, Neng. Tolong."

"Oke, oke. Bapak tenang dulu."

Tanpa pikir panjang, Naura berlari menghampiri Sagara yang tampak membeku di tempat.

“Kang, tolong, bantu saya!” serunya cepat.

“Apa?” Sagara menatapnya bingung.

“Pasien ini pasti pendarahan berat! Kemungkinan uterine prolapse, atau lebih buruk dari itu. Kita enggak tahu ini spontan atau kelalaian. Harus segera ke rumah sakit, sekarang juga! Tolong bawa mobil Kang, saya ikut!”

“Tapi, ini acaranya belum selesai.”

“Lupakan acaranya! Kita bisa nikah besok kalau Akang siap. Ini Nyawa orang, Kang! Cepet!”

Tak ada lagi wajah lembut dan tersipu yang tadi duduk dengan anggun. Kini yang berdiri di depannya adalah seorang tenaga kesehatan yang berpacu dengan waktu.

"Akang siapin mobil dulu, aku ambil peralatan." Ia menarik Sagara agar cepat berdiri. "Ayok!"

"Udah sana, Ga!" titah Abah. "Buruan!"

"Iya, Nak. Tolong Pak Kates, itu tentangga Ibu," lanjut Bu Windi panik. "Ayok, Nak."

Padahal, tidak dipaksa pun Sagara sudah berniat untuk menolong. Dan setelah semua orang ribut, dia berdiri dan keluar dari rumah.

... ...

Setelah sampai di depan rumah pasien.

Sagara segera berlari keluar, membuka pintu mobilnya yang terparkir di halaman.

“Masukin pasiennya ke kursi belakang!” teriaknya.

Keluarga dan warga membantu mengangkat tubuh perempuan yang terbungkus sarung dan selimut. Darah menetes di sepanjang lantai kayu, meninggalkan jejak ke pintu.

Naura yang sudah siap juga ikut masuk ke kursi belakang. Tangannya gemetar tapi gerakannya cepat. “Kompres, sarung tangan, tensimeter, infus cadangan,” gumamnya seperti menghafal apa yang harus dia keluarkan.

Mobil Sagara melaju kencang menembus jalanan desa, melewati kebun teh yang basah oleh embun sore. Di dalam, Naura duduk di samping pasien, menekan perut bagian bawah si ibu sambil memberi instruksi.

“Tahan ya, Bu, jangan tegang! Tarik napas pelan… pelan! Kang, tolong jangan ngerem mendadak!”

“Saya udah tancap gas, Naura. Kita ke RSUD ya?”

"Enggak bisa, Kang. Kita kurang peralatan, aku telpon pihak puskesmas dulu. Mereka standby di jalan. Kita transfer pasien di tengah.”

"Bu Bidan ...." Bapak-bapak tadi tampak sudah menangis karena wajah istrinya sudah sepucat tembok.

“Halo, Puskesmas Rancanali? Ini saya, Bidan Naura. Iya saya belum tugas, ada pasien emergensi Lokasi di jalan menuju Simpang Ciater. Kirim ambulans sekarang! Kami kurang peralatan, tolong bawa tenaga kesehatan yang bertugas.”

Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, suara sirine ambulans terdengar samar dari kejauhan. Naura menepuk bahu pasien yang kini mulai lemas.

“Tahan, Bu, sebentar lagi sampai ... tolong, Kang, kasih lampu besar!”

Ambulans berhenti tepat di depan mereka. Petugas keluar cepat, membawa tandu dan peralatan darurat.

Naura ikut membantu menurunkan pasien, tangannya berlumuran darah hingga ke siku. Saat tubuh pasien berhasil dipindahkan, bidan dari puskesmas menghampirinya.

“Bidan Naura, ikut Kami enggak?”

“Ini bukan pasien saya, Bu. Saya juga belum tugas, minta tolong dibantu, ya. Saya masih awam di sini.”

“Baik, Bu Naura.”

“Catatan pasiennya… ini tekanan darah terakhir, riwayat persalinan, dan jam kejadian. Tolong langsung ke IGD, kalau bisa kirim laporan ke Dinkes juga, ini kasus berat. Tolong dari sekarang telpon pihak RSUD supaya dokter Obgyn bersiap. Mereka juga bisa siapkan ruang operasi, tolong ya, Bu.”

Bidan itu menerima catatan dari tangan Naura. Ambulans pun segera melaju, meninggalkan Naura dan Sagara yang berdiri di pinggir jalan perkebunan teh, diterpa angin sore yang membawa aroma besi dan darah.

Sagara memandang gadis kecil di sampingnya, kebaya baby pink-nya kini merah penuh noda, kerudungnya berantakan, tapi sorot matanya tetap teguh.

Naura menarik napas panjang, lalu menatapnya sekilas sambil tersenyum getir.

“Kayaknya tunangan kita barusan berubah jadi operasi darurat, ya, Kang.”

“Dan kamu keliatan lebih bahagia.”

Sontak Naura terpaku pada sosok yang dia tatap. Matanya yang coklat muda menatap pria di depannya lekat.

“Kamu merhatiin aku, Kang?”

Pertanyaan yang sungguh merusak suasana. Sagara langsung menoleh ke samping, tak begitu perduli dengan ocehan bocah di sampingnya.

Namun, Naura juga kini hanya tersenyum getir saat matanya menatap kosong ke depan sambil bersandar ke kap depan mobil.

“Sebetulnya, kalau bukan karena kerjaan kayak gini, aku udah enggak punya semangat hidup.”

Sagara langsung menoleh, menatap calon istrinya yang kini tampak lebih sendu dari sebelum mereka bertunangan.

“Aku berantakan, Akang. Bukan hanya keluargaku, tapi aku juga.”

Ia kemudian menoleh, membuat mereka saling menatap pada satu sama lain.

“Akang ....”

Sagara diam saja, menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut Naura.

“Maaf, Akang punya uang enggak? Nanti aku ganti, aku mau jajan itu!" katanya sambil menujuk mamang cilok bermotor yang menyalakan toa. "Janji aku ganti, aku enggak mau kok makan uang haram Akang. Minjem dulu seratus, ya!”

1
Nurlaila Elahsb
yang sabar atu neng jangan cepat berburuk sangka dulu,, coba deh di tanyain baik baik sama kang saga,bakal di jelasin kok😊
Ayesha Almira
ni kpn g slh paham trs
neny
perlahan mulai terkuak apa yg selama ini di terka2,,kang saga sudah menyukai neng nau dr dl,,dan mungkin krn janji nya sm almh makanya dia menjalani hubungan dng tiffany,dan dia melakukan jg krn ingin menyelamatkan cinta nya dr orang2 yg berniat buruk sm neng nau nau,,kitu meureun nya kak othor🤭🤭,,lanjut ah❤️💪
IbuNa RaKean
kan kan salah paham lagiiiiii,😤😤
𝕸𝖆𝖗𝖞𝖆𝖒🌹🌹💐💐
Naura salah faham lagi🥹🥹
erviana erastus
salah paham nggak kelar2
Attaya Zahro
Nah...salah paham lagi 🙄🙄
Kapan sih Sagara berterus terang n terbuka ma Naura..kayak main petak umpet mulu ga kelar²
iqha_24
up lagi kak Kim
iqha_24
ga paham sama Sagara, ditanya Naura gantung, ditanya Tifanny gantung ga kasih jawaban yg pasti jd gemes bacanya
Eka ELissa
penasaran abh bilang apa yaa ke fany lok segara cinta nya ke Nau...
truus Nau jgn mrh dulu tu saga lgi jujur tu ma gundik nya lok dia GK cinta fany
Eka ELissa
Nex....Mak.....🌹🌹😘
IbuNa RaKean
suami siaga cenah kang saga tuh😍😍
apiii
kapan mereka bucinnya
Eka ELissa
kng saga bkln bntuin ibu itu Nau dia sbnarnya baik cumn songong klihtan nya krna ada drama trauma yg GK bisa dia lupkn....tau ...
Eka ELissa
kocak cie beruang 🐻🐻🐻 kutub tkut jarum suntik 🤣🤣🤣🤣🤭kocak..
Eka ELissa
ic-clik....apaaan Mak aku GK ngerti tau.....apaan Nau...🤣🤣🤣🤣🤭
Nurlaila Elahsb
gaas keun lah kak
neny
wkwkwk,,aya aya wae neng nau nau mah,,nanti baper geura kang saga na gara2 berlindung di punggung kang saga🤭,,lanjut akak😘
Hary Nengsih
ada2 aja naura
Ayesha Almira
kenapa g jahilin tifani sih nau...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!