Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
Faizan menarik napas panjang, matanya menatap Nadia seperti ingin menembus waktu. Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih sempit, seolah hanya ada mereka berdua di sana, meski Fandi masih berdiri beberapa langkah di belakang, pura-pura sibuk memainkan ponselnya tapi jelas-jelas menguping.
“Menyesal?” suara Faizan akhirnya keluar, rendah tapi penuh ketegangan. “Kau meninggalkanku tanpa sepatah kata. Lalu sekarang kau datang… hanya untuk mengatakan itu?”
Nadia menggigit bibir bawahnya. Ia tahu kalimat apa pun yang keluar dari mulutnya bisa saja terdengar salah. Namun ia tetap memberanikan diri.
“Waktu itu… aku pengecut, Faiz. Aku takut menghadapi keluargaku, takut menghadapi kenyataan. Aku pikir menjauh darimu akan membuat semua lebih mudah.” Ia menghela napas, suaranya bergetar. “Tapi ternyata tidak. Semua justru semakin hampa.”
Faizan menutup matanya sejenak. Ada memori yang berkelebat—malam ketika Nadia menghilang, pesan-pesan yang tak pernah dibalas, hari-hari yang terasa seperti ditinggalkan di tengah badai.
“Kalau begitu,” Faizan membuka mata, tatapannya tajam, “untuk apa kau kembali sekarang?”
Nadia terdiam. Pertanyaan itu seperti hantaman yang sudah ia duga, tapi tetap saja menyakitkan.
“Aku tidak berharap apa-apa darimu, Faiz. Aku hanya… ingin kau tahu bahwa aku salah. Dan kalaupun kau membenciku, aku pantas menerimanya.”
Keheningan menyelimuti mereka. Fandi yang sejak tadi menahan diri akhirnya berdehem canggung. “Eh… gue beli kopi dulu, ya. Kayaknya bakal panjang nih.” Tanpa menunggu jawaban, ia benar-benar pergi, meninggalkan dua orang yang hatinya sama-sama berantakan.
Faizan menatap Nadia sekali lagi. Di wajah wanita itu, ia melihat rasa bersalah yang nyata. Tapi di sisi lain, ada dinding tinggi di dalam dirinya yang sudah lama ia bangun—dinding yang melindunginya dari rasa sakit yang sama.
“Nadia,” Faizan berkata pelan tapi tegas, “aku tidak tahu apa yang kau harapkan dari semua ini. Tapi hatiku… bukan tempat yang bisa kau datangi lalu tinggalkan sesukamu.”
Kali ini Nadia menunduk. Ada air mata yang hampir jatuh, tapi ia tahan mati-matian.
“Aku mengerti,” bisiknya. “Mungkin aku memang datang terlalu terlambat.”
Faizan tidak menjawab. Di wajahnya masih tersisa dingin yang sama, tapi di balik itu… ada sesuatu yang mulai retak, meski ia sendiri tak mau mengakuinya.
Nadia berdiri di sana, memandangi punggung Faizan yang dingin dan tak tergoyahkan. Dalam hatinya, ada harapan kecil—sekali saja Faizan mau bicara. Satu kalimat… apa pun yang bisa sedikit meredakan rasa bersalah yang sudah lama menggerogotinya.
Namun yang datang justru suara datar, nyaris tanpa emosi, seolah kata-kata itu keluar dari hati yang sudah beku terlalu lama.
“Kalau sudah selesai bicara, aku pergi. Ada urusan lain,” ucap Faizan akhirnya.
Nadia tertegun. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Faiz…”
Langkah Faizan terhenti di ambang pintu. Sesaat, seolah waktu ikut berhenti bersama mereka. Tapi ia tak juga menoleh.
“Semua sudah lewat, Nad. Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”
Hanya itu. Lalu ia melangkah pergi.
Langkah-langkah Faizan terdengar berat tapi mantap, setiap derapnya seperti paku yang menghantam jantung Nadia. Semakin jauh, semakin ia sadar… jarak di antara mereka sudah tak mungkin dijembatani.
Nadia hanya bisa berdiri terpaku, memandangi punggung lelaki yang pernah menjadi seluruh dunianya itu. Di dadanya, rasa sakit menyeruak tanpa ampun—bukan hanya karena penolakan itu, tapi karena sebuah kenyataan pahit: mungkin benar, ia datang terlalu terlambat.
Di luar ruangan, Faizan menarik napas panjang. Udara terasa menusuk, panas seperti hatinya yang ia paksa tetap membara. Namun di balik keteguhan itu, ada sesuatu yang bergolak—marah, kecewa, dan… sepotong kecil kerinduan yang tak pernah benar-benar hilang, meski sudah berusaha ia kubur dalam-dalam.
Tapi ia tetap melangkah.
Tanpa menoleh lagi.
--
Sore itu langit berwarna jingga keemasan, matahari perlahan tenggelam di balik deretan gedung. Jalanan kota mulai ramai, tapi bagi Nadia, semua itu terasa hampa. Ia melangkah pelan menuju mobilnya, langkahnya berat seakan setiap langkah membawa luka yang menyesakkan.
Sepanjang perjalanan pulang, sorot matanya kosong menatap jalan di depan, tapi pikirannya tak pernah lepas dari wajah Faizan—tatapan dinginnya, kata-kata yang terucap datar, dan rasa penolakan yang menusuk seperti duri.
Setibanya di rumah, suasana terasa sunyi. Angin sore masuk lewat jendela yang setengah terbuka, membawa aroma hujan yang tertinggal di udara. Nadia masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata pun kepada siapa pun. Ia menaruh tas di sofa, lalu duduk di tepi ranjang, tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Pelan, tanpa suara, seperti rintik gerimis yang malu-malu membasahi bumi.
“Benar… aku memang sudah terlambat,” bisiknya lirih, hanya untuk dirinya sendiri.
Di sisi lain kota, Faizan membuka pintu apartemennya. Sinar jingga matahari senja masuk lewat jendela besar, memantulkan bayangan panjang di lantai. Ia menaruh kunci di meja, melepaskan jasnya, lalu berdiri memandangi pemandangan kota yang mulai temaram.
Tak lama kemudian, suara ketukan pelan terdengar di pintu.
“Faiz,” suara Fandi muncul. “Boleh gue masuk?”
Faizan menarik napas panjang sebelum menjawab, “Masuk aja.”
Fandi melangkah masuk dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. “Gue liat tadi Nadia… kayaknya dia nangis, bro. Lo ngomong apa sama dia?”
Faizan tidak langsung menjawab. Ia mengambil gelas, menuang air dari dispenser, lalu meneguknya perlahan. Wajahnya tetap tenang, tapi Fandi tahu betul—ketenangan itu hanya topeng.
“Bro, serius. Lo masih marah sama dia?” Fandi bertanya lagi, kali ini lebih pelan, seolah takut memecahkan sesuatu yang rapuh.
Faizan menatap sahabatnya sekilas. “Bukan soal marah atau enggak, Fan. Aku cuma… nggak mau semuanya terulang lagi.”
“Terulang?” Fandi mengerutkan kening.
Faizan mengalihkan pandangan ke jendela, ke arah langit senja yang hampir padam. “Kalau aku buka pintu itu lagi, yang ada cuma luka yang sama. Dan aku nggak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali.”
Fandi mengangguk pelan. Tapi ia bisa melihat ada sesuatu di mata Faizan—sesuatu yang berusaha lelaki itu sembunyikan di balik wajah dinginnya.
“Lo masih sayang sama dia, ya?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tapi membuat Faizan terdiam lama, seolah waktu ikut berhenti bersama senja yang kian meredup di luar sana.
Keheningan merayap di antara mereka. Di luar jendela, matahari benar-benar tenggelam, menyisakan langit ungu gelap yang mulai ditelan malam. Fandi menunggu dengan sabar, tapi Faizan tetap tak bicara. Lelaki itu hanya berdiri mematung, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu yang berat.
Akhirnya, dengan suara rendah namun tegas, Faizan berkata,
“Sayang… mungkin iya.”
Fandi menghela napas panjang. Ia sudah menduga, tapi mendengar Faizan mengakuinya langsung membuat suasana jadi lebih berat.
“Tapi itu nggak cukup, Fan,” lanjut Faizan. “Rasa sayang aja nggak cukup buat bikin semuanya baik lagi. Aku udah pernah di posisi itu—ngasih semua yang aku punya, cuma buat ditinggal tanpa alasan. Sekarang dia datang lagi, minta aku mendengarkan… seolah semua luka itu nggak pernah ada.”
Suara Faizan bergetar sedikit, tapi wajahnya tetap dingin. “Aku nggak bisa. Dan aku nggak mau.”
Fandi menatap sahabatnya dengan ekspresi iba. “Tapi… kalau dia bener-bener nyesel, Faiz? Kalau dia bener-bener mau berubah?”
Faizan menoleh, menatap Fandi dengan sorot mata yang tajam tapi lelah. “Fan, orang bisa nyesel karena kehilangan. Tapi penyesalan itu nggak selalu berarti dia bakal tinggal kali ini. Aku nggak sanggup ngulang semuanya dari awal, cuma buat dipatahkan lagi.”
Hening kembali menyelimuti ruangan.
“Aku udah cukup terluka waktu itu,” Faizan menghela napas berat. “Sekarang… nggak ada lagi kesempatan kedua. Nggak buat dia.”
Fandi hanya mengangguk pelan. Ia tahu percuma memaksa Faizan bicara soal harapan ketika yang ada di hatinya sekarang hanya sisa-sisa rasa yang bercampur dengan luka lama.
...----------------...
Bersambung...