Di dunia di mana Spirit Master harus membunuh Spirit Beast untuk mendapatkan Spirit Ring, Yin Lian lahir dengan kekuatan yang berbeda: Kontrak Dewa. Ia tidak perlu membunuh, melainkan menjalin ikatan dengan Spirit Beast, memungkinkan mereka berkembang bersamanya. Namun, sistem ini dianggap tabu, dan banyak pihak yang ingin melenyapkannya sebelum ia menjadi ancaman.
Saat bergabung dengan Infernal Fiends Academy, akademi kecil yang selalu diremehkan, Yin Lian bertemu rekan-rekan yang sama keras kepala dan berbakatnya. Bersama mereka, ia menantang batas dunia Spirit Master, menghadapi persaingan sengit, konspirasi dari akademi besar, serta ancaman dari kekuatan yang mengendalikan dunia di balik bayangan.
Di tengah semua itu, sebuah rahasia besar terungkap - Netherworld Spirit Realm, dimensi tersembunyi yang menyimpan kekuatan tak terbayangkan. Kunci menuju puncak bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kegelapan yang mengintai.
⚠️pict : pinterest ⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Makan malam di gedung perjamuan asrama selalu menjadi waktu yang paling ramai. Bangunan ini memiliki dua lantai, di mana penghuni asrama kelas satu duduk di lantai bawah, sementara murid-murid dari kelas dua menikmati hidangan mereka di lantai atas.
Namun, selain perbedaan tempat, ada satu hal yang lebih mencolok—perbedaan dalam kualitas makanan.
Makanan yang disajikan untuk murid kelas dua jauh lebih mewah, lengkap dengan lauk berlimpah dan buah-buahan segar. Sebaliknya, makanan di lantai bawah lebih sederhana, bahkan porsi dagingnya jauh lebih sedikit.
Yin Lian tidak terlalu peduli dengan hal itu. Tetapi, apa yang terjadi saat mereka baru masuk ke dalam gedung membuatnya mulai kehilangan kesabaran.
Ejekan dari lantai atas.
"Hei, kau masih berani datang ke sini, Qian Liang?"
"Bukannya kau lebih baik makan sisa-sisa makanan daripada membuang-buang tempat di sini?"
Makan malam di gedung perjamuan asrama selalu menjadi waktu yang paling ramai. Bangunan ini memiliki dua lantai, di mana penghuni asrama kelas satu duduk di lantai bawah, sementara murid-murid dari kelas dua menikmati hidangan mereka di lantai atas.
Namun, selain perbedaan tempat, ada satu hal yang lebih mencolok—perbedaan dalam kualitas makanan.
Makanan yang disajikan untuk murid kelas dua jauh lebih mewah, lengkap dengan lauk berlimpah dan buah-buahan segar. Sebaliknya, makanan di lantai bawah lebih sederhana, bahkan porsi dagingnya jauh lebih sedikit.
Yin Lian tidak terlalu peduli dengan hal itu. Tetapi, apa yang terjadi saat mereka baru masuk ke dalam gedung membuatnya mulai kehilangan kesabaran.
Ejekan dari lantai atas.
"Hei, kau masih berani datang ke sini, Qian Liang?"
"Bukannya kau lebih baik makan sisa-sisa makanan daripada membuang-buang tempat di sini?"
"Oh, benar juga! Mereka dari asrama kelas satu kan harusnya lebih terbiasa makan makanan murah?"
Tawa kecil terdengar dari meja-meja di lantai dua. Mereka tidak menyembunyikan hinaan mereka sama sekali. Beberapa murid asrama kelas satu yang baru masuk mengepalkan tangan, tetapi tidak ada yang berani membalas.
Yin Lian melihat ekspresi Qian Liang mengeras, tetapi anak itu menahan diri. Murid-murid lain dari asrama kelas satu juga hanya diam, mungkin karena sudah terbiasa dengan penghinaan semacam ini.
Namun, bagi Yin Lian, hal ini sama sekali tidak wajar.
Ia baru saja ingin melangkah maju ketika tiba-tiba sebuah tangan mendarat di bahunya.
Ia menoleh cepat.
Xu Feiyan.
Gurunya berdiri di sana dengan ekspresi tenang, tetapi sorot matanya tajam. Tanpa mengatakan apa pun, dia menggelengkan kepala pelan, memberi isyarat agar Yin Lian tidak terpancing.
Lalu, dengan satu lirikan tajam ke arah lantai atas, Xu Feiyan menghentikan segalanya.
Keributan yang semula memenuhi ruangan mendadak sunyi. Murid-murid kelas dua yang tadi mengejek tiba-tiba kehilangan kata-kata mereka. Beberapa dari mereka bahkan tampak gelisah, seolah merasakan tekanan yang luar biasa.
Seakan-akan hanya dengan tatapannya, Xu Feiyan telah menegaskan posisi siapa yang lebih berkuasa di ruangan itu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Xu Feiyan kemudian melewati Yin Lian, berjalan santai menuju tangga.
"Temui aku besok pagi di ruanganku."
Suara tenangnya menggema sebelum ia naik ke lantai dua dan duduk sendirian di salah satu kursi.
Yin Lian tetap berdiri di tempatnya, tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul dalam benaknya.
Banyak guru di Akademi Tianlong berbicara seolah Xu Feiyan hanyalah seorang guru biasa yang tidak memiliki keistimewaan. Namun, jika itu benar...
Kenapa hanya dengan satu tatapan, ia bisa menghentikan keributan begitu saja?
"Hei, Yin Lian!"
Sebuah suara membuyarkan pikirannya. Ia menoleh dan mendapati Qian Liang menatapnya penuh selidik.
"Apa hubunganmu dengan guru itu?" tanyanya penasaran. "Kenapa dia tampak dekat denganmu?"
Yin Lian menatapnya sebentar sebelum menjawab santai, "Dia guruku di akademi."
Qian Liang tampak sedikit terkejut, tetapi tidak bertanya lebih lanjut. Setelah itu, mereka dan murid-murid asrama kelas satu lainnya berjalan menuju meja makan untuk menikmati makan malam.
Namun, saat Yin Lian hendak mengambil makanannya, langkahnya terhenti.
Seseorang baru saja melewatinya.
Seorang anak laki-laki dengan rambut hitam panjang sebahu berjalan dengan tenang, langkahnya ringan namun berwibawa.
Yin Lian menoleh refleks.
Meskipun hanya sekilas, ada sesuatu yang terasa familiar dari sosok itu.
Matanya mengikuti anak laki-laki itu yang kini menaiki tangga menuju lantai atas.
Dia anak asrama kelas dua...
Tapi kenapa...
Kenapa perasaan ini begitu aneh?
Setelah makan malam selesai, para penghuni asrama kembali ke kamar masing-masing. Beberapa langsung merebahkan diri di tempat tidur, sementara yang lain masih terjaga, berbincang pelan dalam kelompok kecil.
Namun, Yin Lian memilih sesuatu yang lain.
Ia duduk di depan asrama, di dekat air mancur yang terletak di tengah taman kecil. Malam itu sunyi, hanya ditemani suara gemericik air dan desiran angin yang berhembus lembut. Di langit, bulan bersinar terang, dikelilingi bintang-bintang yang berkelap-kelip.
Dalam keheningan itu, ia mulai berlatih.
Meningkatkan spirit soul-nya.
Energi mengalir dalam tubuhnya saat ia berkonsentrasi. Teknik-teknik rahasia yang ia pelajari selama ini satu per satu diulanginya, mencoba menyempurnakan setiap detailnya.
Namun, pikirannya mulai melayang...
Kenangan dari masa lalu muncul begitu saja—memori yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam. Bayangan masa kecilnya, suara-suara samar yang memanggilnya, dan perasaan yang entah kenapa masih membekas di hatinya.
Konsentrasinya terpecah.
Yin Lian menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengusir gangguan yang datang dari pikirannya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri. Hari sudah semakin larut.
Besok pagi, ia masih memiliki janji dengan Xu Feiyan.
Saat ia mulai berjalan kembali ke dalam asrama, tiba-tiba...
Perasaan aneh menyelimutinya.
Seolah ada seseorang yang mengawasinya dari dalam kegelapan.
Langkahnya melambat. Matanya menyapu sekitar, mengamati setiap sudut taman. Namun, yang ia lihat hanyalah pohon-pohon yang diam tertiup angin dan bayangan gelap yang tercipta dari cahaya bulan.
Tidak ada siapa pun di sana.
Meski begitu, perasaan itu tetap ada.
Untuk beberapa detik, ia berdiri diam. Namun, akhirnya ia memilih mengabaikannya. Tanpa menoleh lagi, Yin Lian melangkah masuk ke dalam asrama dan menutup pintu di belakangnya.
Pagi Hari
Cahaya matahari pagi mulai masuk melalui celah-celah jendela. Yin Lian membuka matanya perlahan. Tidak langsung bangun, ia meraih buku yang diberikan Xu Feiyan kemarin.
Buku itu berisi teori tentang teknik dan kontrol energi. Ia sudah membacanya sebelumnya, tetapi masih ada beberapa hal yang ingin ia pelajari lebih dalam.
Suasana pagi yang tenang membuatnya bisa berkonsentrasi lebih baik.
Lembar demi lembar ia baca dengan penuh perhatian, hingga akhirnya ia sadar bahwa suasana asrama terlalu sunyi.
Yin Lian menoleh.
Ruangan itu kosong.
Tidak ada Qian Liang atau yang lain di sana. Biasanya, pada pagi seperti ini, mereka masih berada di dalam kamar, berbicara atau berlatih sebentar sebelum pergi ke kelas.
Namun, kali ini... tidak ada suara apa pun.
Ke mana mereka pergi?