Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 ACICD - Anda Bukan Tipe Saya
"Benelan?" Narell melipat tangan kecilnya di dada, menatap Adriel dengan mata memicing.
"Iya, Narell," Adriel kemudian membungkuk sedikit dan menjulurkan stau cokelat panas pada keponakannya. "Ini cokelatnya mau nggak?"
Wajah Narell melembut, lantas bocah itu itu tersenyum lebar memamerkan gigi-gigi mungilnya yang rapi. "Mau dong, Daddyyy." Kedua tangan mungil itu meraih gelas kertas dari tangan besar omnya.
Hougan mendekat setelah dilirik Adriel dan membawa Narell supaya dia bisa ngobrol berdua dengan Ruby.
"Daddy! Awas yaa kalo daddy malahin Tuntie Wuby!" suara Narell menggelegar dari kejauhan.
Adriel menoleh pada sumber suara sejenak lalu akhirnya menurunkan pandangannya pada Ruby. Tangannya yang memegang gelas kertas berisi cokelat hangat dijulurkan pada wanita itu.
Ruby mendongak kaku, tapi segera kedua tangannya terangkat menerima gelas itu.
"Terima kasih," ujarnya, menatap Adriel lama, dengan wajah yang mendongak.
Sementara itu, Adriel menarik napas pelan. "Saya minta maaf soal tadi." Dia memalingkan wajahnya ke samping, melihat ke arah lain.
Ya, dia akui dia salah menuduh Ruby Rose bekerja sama dengan penculik itu. Tapi bukan berarti dia berhenti waspada dengan Ruby Rose yang mau menggodanya.
Sementara itu, Ruby mengedipkan matanya pelan. "Saya mengerti kalau Anda khawatir dengan Narell, jadi… permintaan maaf Anda saya terima, Pak Adriel."
Adriel menoleh pelan, menatap Ruby dari sudut matanya. "Ekhm! Tapi bukan berarti saya goyah sama kamu yah! Saya tetap percaya kamu punya niat terselubung untuk mendekati saya." Kali ini suara Adriel malah tampak menggemaskan di telinga Ruby. Tidak membentak lagi, juga tidak bernada tinggi.
Ruby menarik sudut bibir sedikit, senyum singkatnya nyaris tak terlihat. "Baiklah, Pak Adriel, setelah saya pikir … hak Anda untuk berpikir seperti itu, tapi saya juga mau menekankan kalau saya tidak pernah ada niat menggoda Anda, apalagi berusaha menjadi seperti istri Anda, Pak Adriel. Kalau boleh jujur, Anda bukan tipe saya."
Deg.
Satu alis Adriel spontan terangkat, rahangnya sedikit mengetat. Apa tadi? Dia bukan tipenya Ruby Rose?
Haha…
Di saat semua wanita berbondong-bondong ingin mendekatinya, tapi anomali seperti Ruby bilang Adriel buka tipenya. Tangan pria itu terangkat, jemarinya menarik dasi dan melonggarkannya.
Tidak. Ruby Rose ini wanita licik. Itu pasti strateginya, mengatakan Adriel bukan tipenya, dia ingin menyentil ego Adriel.
"Good then, Ruby Rose, saya memang tidak mau menjadi tipe kamu," ujar Adriel dengan wajah angkuh dan smirk tipis di sana. Tapi, dia tidak bisa menyembunyikan kekesalannya yang entah kenapa naik level maksimal.
Ruby kemudian menyesap cokelat hangat dari gelas di tangannya. Ya, soal tipe memang Adriel bukan tipenya, karena selama ini dia tidak tertarik dengan pria mana pun. Dia hanya fokus menuntaskan misi. Tidak ada yang bisa menggetarkan hatinya, kecuali… Adriel.
Pria itu berbalik cepat dan ingin melangkah menjauh, tapi sepatunya tertahan, Adriel kembali memutar tubuh menjulangnya, menghadap Ruby Rose.
"Kamu ikut pulang di mobil saya," katanya cepat, seperti perintah yang tidak boleh dibantah.
"Saya bawa mobil, Pak."
"Kamu mau menyetir berjam-jam dengan bahu terluka seperti itu?"
Ruby menoleh pada perban di bahunya.
Adriel maju selangkah. "Kamu ikut, kamu nggak boleh nolak, anggap aja itu ucapan terima kasih saya karena menyelamatkan Narell. Nanti mobil kamu dibawa sama orang saya."
"Lagipula saya tidak mau mendengar Narell mengoceh karena membiarkan kamu pulang sendirian!"
Setelah mengatakan itu, Adriel berbalik cepat. Kali ini dia benar-benar melangkah menjauh.
Ruby terdiam menatap punggung pria itu, lantas dia mengusap sisi gelas kertas yang ada di genggamannya.
"Dasar CEO nyebelin level sejuta!" gumam Ruby. Dia kesal tapi tak sadar ada semburat merah yang muncul di pipinya. Mungkin itu karena hangat dari cokelat yang mengepul.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruby kini duduk di jok belakang bersama Narell yang duduk di tengah dan Adriel yang ada di sisi kanan. Di jok pengemudi, Hougan menyetir dengan pelan.
Ruby membuka laptopnya setelah mengenakan kacamata untuk mengerjakan naskah berita hasil liputannya.
Narell mendekat dan menatap layar yang ada di pangkuan Ruby.
"Tuntie Wuby mau ngapain?" tanya Narell penasaran.
"Tuntie ada kerjaan yang harus diselesaikan, Ayell."
"Kerjaan apa, Tuntie?"
"Nulis naskah berita."
Narell kemudian menjulurkan telunjuknya ke layar. Di mana sebuah gambar kegiatan orang-orang pedalaman yang dia liput tadi. "Wahhhh mereka ngapain itu, Tuntie?" Bola mata Narell berbinar. Anak ini benar-benar penuh rasa ingin tahu yang tinggi.
"Mereka lagi ngadain upacara adat, Tuntie dapat tugas dari atasannya Tuntie untuk menulis berita tentang orang-orang di sini dan kegiatannya," jawab Ruby.
Narell manggut-manggut dan dia lanjut bertanya sembari Ruby memilih foto.
Di sebelah Narell, Adriel tidak berkomentar apa-apa. Wajahnya fokus pada layar tablet di tangannya, dia juga mengurus kerjaan, tapi matanya sesekali melirik ke arah Ruby Rose dan keponakannya yang asyik ngobrol.
Momen itu tentu ditangkap oleh Hougan. Lantas dia tersenyum, karena setelah satu dekade, Adriel akhirnya mulai membuka hati, walaupun pria itu belum sadar. Hougan yakin Adriel sudah tertarik dengan Ruby Rose sejak awal pertemuan mereka, cuma atasannya aja yang denial.
Beberapa waktu kemudian, Narell sudah tertidur. Adriel mengangkat keponakannya itu ke pangkuannya. Sementara itu, Ruby masih terus mengerjakan naskah liputannya.
Lalu –
Drrttt!
Drrttt!
Hapenya bergetar, layarnya memunculkan sebuah nama yang memanggil. Kak Rion.
Dalam hati, Ruby meringis, "aduhhh, pasti kena marah lagi nih karena telat ngirim berita."
Beda halnya dengan Adriel, dia melirik nama dia layar hape Ruby penuh selidik. Kak Rion? Apa itu pria yang termasuk tipe si Ruby Rose?
Dia lalu memalingkan wajah, menatap ke luar jendela. Sementara, Ruby Rose menyahut. "Permisi, Pak Adriel, apa saya bisa angkat telepon?" dia minta izin dulu, dia menumpang di mobil pria itu soalnya.
"Go on," sahut Adriel singkat.
Ruby akhirnya mengusap ikon telepon hijau di layar.
"Halo, Kak," kata Ruby pelan, hapenya di tahan di antara bahu dan telinganya. Jemarinya lanjut menari di atas keyboard, mengetik cepat.
"Naskah featurenya mana Ruby! Ini sudah jam berapa!?" bentak Rion di sebelah sana. Telinga Adriel bisa mendengar suara itu. Ternyata atasan Ruby yang menelepon.
"Ummm, iya, Kak, sementara saya kerjakan, sedikit lagi selesai."
"Kamu berangkat dari tadi siang, harusnya naskah kamu sudah ada sejak dua jam yang lalu!" omel Rion.
"Maaf, Kak, sepulang liputan, saya ada sedikit kendala jadi saya telat menyusun hasil wawancaranya." Ruby bisa mendengar desahan kasar Rion di seberang sana.
"Saya tidak butuh alasan apapun, sekarang selesaikan naskahnya!"
"5 menit lagi kalau naskahnya tidak ada, kamu harus meliput di waktu libur kamu besok!"
"Baik, K–,"
Tut…
Telepon itu ditutup sepihak. Lantas Ruby meletakkan hapenya, lalu lanjut mengetik dan menyusun naskahnya di layar laptop. Dia mau menikmati weekend besok sambil hunting kue cokelat. Maka dari itu dia harus menyelesaikan naskah itu segera.
Adriel menatap pantulan Ruby di kaca di sampingnya. Wanita itu begitu berdedikasi pada pekerjaannya. Dan, yang membuat Adriel sedikit terkejut. Ruby tidak membeberkan soal penculikan Narell pada GMG.
Entah kenapa, Adriel merasakan jantungnya berdebar, menatap garis wajah wanita yang sangat mirip dengan mendiang istrinya itu.
Sial. Kenapa Ruby Rose justru semakin menarik perhatian Adriel!?