Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Anwar Tersentuh
Radit duduk diam beberapa saat sebelum menyalakan mesin mobil. Tadi, emosinya meledak—tapi bukan karena benci, justru karena cinta yang sangat besar untuk Rumi. Ia membuka ponselnya, lalu menghubungi istrinya.
Rumi yang sedang merapikan buku-buku, terkejut saat layar ponselnya menyala dengan nama "Suami" terpampang di layar.
"Hallo, Mas?" suaranya lembut.
"Hai," jawab Radit, suara di ujung sana terdengar agak berat tapi hangat. "Kamu udah siap kerja?"
"Iya, ini baru mau masuk kelas," Rumi tersenyum kecil. "Mas Radit udah nyampe kantor?"
"Belum. Tadi mampir dulu ke rumah Mama."
Rumi langsung diam, wajahnya menegang. "Oh .…"
Radit menghela napas. "Aku udah bilang semuanya ke Mama. Tentang aku yang tahu soal kejadian kemarin. Tentang rasa sakit kamu. Tentang kamu yang masih berusaha tetap kuat walau digituin."
Rumi menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca.
"Aku minta maaf ya, karena selama ini kamu harus hadapi semua itu sendiri. Tapi mulai sekarang, kamu nggak sendirian lagi, Rum. Apa pun yang terjadi, aku di sini. Aku ada buat kamu."
"Mas …" suara Rumi lirih.
"Sayang," Radit menyahut pelan. "Aku sayang kamu banget. Jangan ngerasa harus kuat sendirian, ya. Kamu boleh lemah, boleh nangis. Aku peluk kamu selalu."
Rumi menarik napas gemetar. "Aku juga sayang Mas Radit."
"Sekarang, kamu fokus kerja dulu ya. Aku juga harus mulai kerja. Tapi kalau ada apa-apa, langsung bilang aku. Jangan simpan sendiri."
"Iya. Hati-hati di jalan, Suamiku," ucap Rumi dengan senyum kecil, hangat.
Radit pun balas tersenyum walau matanya masih sembab. "Siap, Istriku."
Setibanya di kantor, Radit langsung tenggelam dalam dokumen dan agenda-agenda kerja. Ada rapat penting, klien yang harus ditemui, dan laporan yang harus diperiksa. Tapi di sela kesibukannya, pikirannya masih sering melayang ke Rumi. Ia sesekali mengecek ponsel, memastikan tak ada pesan masuk dari istrinya.
Dan sekarang, Radit memasuki ruang rapat dengan langkah tegap, jas rapi menempel sempurna di tubuhnya. Suasana sudah tegang, para direksi dan manajer senior duduk menunggu dengan dokumen dan laptop terbuka.
Nauval juga ada di sana. Duduk paling dekat dengan posisi Radit. Ketika Radit membutuhkan sesuatu, Nauval langsung bergerak cepat.
"Selamat pagi semuanya," Radit membuka rapat dengan suara tegas tapi penuh kewibawaan.
"Agenda hari ini, kita harus membahas strategi ekspansi ke pasar internasional, khususnya Asia Tenggara dan Eropa. Target pertumbuhan tahun ini cukup ambisius, dan kita harus memastikan semua lini siap," katanya sambil membuka presentasi di layar besar.
Sesi diskusi berjalan intens. Radit mendengarkan masukan, memberikan arahan, dan kadang menyela dengan pertanyaan tajam agar semua pihak fokus pada solusi terbaik.
Tangan Nauval tak pernah berhenti mencatat poin penting. Wajahnya kadang menunjukkan tanda lelah, tapi matanya tetap tajam dan fokus.
Salah satu manajer berkata, "Pak Radit, apakah kita sudah mempertimbangkan risiko dari fluktuasi nilai tukar dan geopolitik di Eropa? Ini bisa berdampak besar pada biaya produksi dan distribusi."
Radit mengangguk serius. "Betul. Itulah kenapa kita harus menguatkan tim manajemen risiko dan juga memperkuat kerjasama lokal di tiap negara. Saya sudah minta tim riset untuk buat laporan mendalam minggu depan."
Rapat berlangsung hampir tiga jam. Setelahnya, Radit harus langsung melakukan panggilan video dengan mitra bisnis di luar negeri, sambil memantau perkembangan proyek baru dan mengatur jadwal pertemuan berikutnya.
Di balik semua itu, pikirannya tetap tertuju pada Rumi. Bagaimana kabarnya? Apakah dia baik-baik saja? Tapi sebagai CEO, tanggung jawabnya berat, dan tak boleh ada celah untuk lengah.
...****************...
Rumi sedang duduk di ruang guru, menatap tumpukan karya yang harus ia susun dalam map khusus. Suasana sekolah ramai dengan suara anak-anak yang sedang istirahat.
Novi masuk membawa dua gelas teh hangat, lalu duduk di samping Rumi. "Capek banget, ya, Rum? Lihat tuh, tugasmu banyak banget yang harus dirapiin."
Rumi menghela napas panjang, "Iya, Novi. Rasanya pengen cepet selesai biar bisa pulang dan istirahat."
Novi tersenyum menguatkan, "Kamu hebat, Rum. Aku selalu kagum sama dedikasimu buat anak-anak."
Rumi menatap Novi dengan senyum tipis, "Makasih, Nov. Kadang aku jadi mikir, ini semua usaha buat siapa ya? Kadang capek banget."
Novi menggenggam tangan Rumi dengan lembut, "Kamu nggak sendiri. Aku di sini, selalu."
Mereka berbicara sebentar soal rencana acara karnaval sekolah yang akan datang, sambil sesekali Rumi terlihat sedikit murung, tapi tetap berusaha kuat.
Di balik senyuman Rumi, Novi tahu ada beban berat yang dipendam sahabatnya itu.
...****************...
Rumi berdiri di depan pintu rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota. Hatinya berdebar, tapi dia coba menguatkan diri. Perlahan dia mengetuk pintu.
Pintu terbuka, muncul sosok bapaknya yang sudah agak mabuk. Tatapan Anwar dingin dan penuh kemarahan.
"Kenapa kamu datang? Apa nggak ada kerjaan lain? Kamu bawa sial ke rumah ini!" Suara bapaknya kasar dan menusuk hati Rumi.
Rumi menahan air mata, mencoba menjawab dengan suara bergetar, "Rumi cuma ingin pulang, Pak. Rumi rindu ...."
Anwar membentak lagi, "Jangan panggil aku ‘Pak’! Kamu anak pembawa sial! Jangan harap aku berubah!"
Rumi mundur beberapa langkah, napasnya tersengal. Tapi dia tetap berdiri tegak. "Rumi nggak akan pergi, Pak. Rumi ingin kita baik-baik saja."
Anwar tertawa sinis, lalu menutup pintu tanpa berkata apa-apa lagi.
Rumi berdiri terpaku, air mata mulai menetes pelan. Hatnya sakit. Tapi kali ini, ia tak akan menyerah begitu saja.
Rumi menolak pergi setelah pintu ditutup di wajahnya. Dengan suara gemetar tapi penuh tekad, ia memaksa membuka pintu kembali. "Pak, tolong dengarkan Rumi. Rumi cuma ingin kita baik-baik saja."
Anwar mengerutkan dahi, tapi ia tetap membiarkan Rumi masuk. Ia melangkah ke meja, mengambil botol minuman keras dan hendak menenggaknya.
Tapi Rumi cepat-cepat meraih botol itu, menariknya dari tangan bapaknya. "Pak, jangan lagi minum-minum! Ini hanya akan merusak kita semua."
Anwar terlihat marah sekali. Ia mendorong Rumi dengan keras hingga Rumi terhuyung ke belakang. "Lepaskan aku! Kamu anak merepotkan!"
Tiba-tiba pintu terbuka dan Radit masuk dengan cepat. Wajahnya tegang dan penuh kekhawatiran. "Sudah cukup, Pak. Jangan sakiti Rumi lagi!"
Radit berjalan cepat mendekati Anwar, mencoba menenangkannya. Rumi berdiri di belakang Radit, matanya berkaca-kaca tapi terlihat lega karena ada Radit.
Sebelumnya, Radit sebenarnya merasa gelisah sejak menerima pesan singkat dari Rumi yang bilang dia mau menjenguk bapaknya. Kekhawatiran itu membuatnya buru-buru menyusul Rumi ke sana.
Radit menatap Anwar dengan mata tajam, tapi suaranya tenang dan penuh wibawa. "Pak, saya tahu ini sulit, tapi Bapak sudah menyia-nyiakan anak sebaik Rumi. Anak yang sabar, yang tulus sayang sama Bapak."
Anwar terdiam, dadanya berdebar tak nyaman. Radit melanjutkan, "Suatu hari nanti, saat Rumi memilih pergi karena sudah lelah dengan semua ini, Bapak akan menyesal. Menyesal karena kehilangan seorang anak yang berharga."
Keheningan menyelimuti ruangan. Anwar menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca. Dalam hati, ia teringat akan mendiang istrinya, ibu Rumi, wanita yang paling dicintainya.
"Tolong jaga anak kita baik-baik, Bang ...."
Kalimat itu kembali berputar dalam ingatannya. Kalimat terakhir yang istrinya ucapkan, sebelum pergi untuk selama-lamanya.
Radit menatap Anwar dalam-dalam, lalu menggandeng tangan Rumi dengan lembut.
Anwar hanya terdiam, tubuhnya gemetar, pikiran dan hatinya bergolak dalam diam.
Radit memandangnya sekali lagi sebelum menuntun Rumi keluar rumah.
Mereka pergi meninggalkan Anwar yang masih termenung, memikirkan kata-kata Radit dan kenangan tentang mendiang istrinya.