NovelToon NovelToon
Mengejar Cinta Gadis Bercadar Gamon

Mengejar Cinta Gadis Bercadar Gamon

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Duda / CEO / Cinta Paksa / Beda Usia
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Cengzz

KISAH PERJUANGAN SEORANG LAKI-LAKI MENGEJAR CINTA GADIS BERCADAR YANG BELUM MOVEON SAMA PRIA MASA LALUNYA.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4

Lucky dan Revan duduk di kursi besi di belakang mansion, di bawah pencahayaan lampu tiang yang temaram. langit mendung menggantung rendah, seolah ikut berduka.

"Lorian," ucap Lucky pelan memanggilnya. Biasanya Orang lain akan memanggilnya dengan sebutan 'Revan', namun beda dengan abangnya. lucky memanggilnya Lorian. Pasalnya Revan mempunyai nama lengkap Lorian Revantino Raze. Dan panggilan yang diujarkan, diambil dari nama depan Revan yaitu Lorian.

"Lo masih kepikiran Arhan, ya?"

Revan mengangguk pelan, pandangannya kosong. "Setiap hari."

Lucky manggut-manggut. Ia mengeluarkan bungkus rokok, mengapit satu batang disela-sela bibir, dengan gerakan tenang, ia menyalakan ujung rokok itu. Begitu Asap keluar, Langsung ditilep tipis mengepul diudara malam yang dingin.

"Nih rokok dulu!"

"Sok! Gue lagi gak mood ngerokok!" Jawab Revan menolak sambil menoleh dengan tatapan sayu.

Lucky tidak memaksa, paham betul bahwa suasana hati Revan sedang tidak baik-baik saja setelah ditinggal arhan. Seminggu kebelakang, memang sikap Revan berubah drastis, sering melamun, kehilangan semangat bahkan jarang bicara.

Adiknya yang baru ditemukan dalam kurun waktu seminggu ini, Revan. Seseorang yang Memiliki sikap konyol, asik, cerewet dan sering bercanda serta mudah berbaur itu tampak antusias sejak awal pertemuannya lewat takdir, selama 30 tahun lebih berpisah dengannya, momen itu menjadi titik terindah didalam hidup lucky.

Awalnya ia menyangka, jika keluarganya tidak ada lagi, hanya tersisa dia sendiri. Namun, saat takdir mempertemukannya dengan Revan lewat jalan yang tidak disangka-sangka—arhan putra Pratama. Disitu lucky menangis, bukan karena cengeng, tapi karena terharu dan bahagia. Ternyata masih ada, masih ada keluarganya. Meskipun hanya Revan saja.

Lucky menghela nafas, air mata mengenang dipelupuk matanya mengingat-ingat momen pertemuannya dengan Revan.

'kenapa Lo harus pergi sih, kawan..... Orang-orang baik, penyayang dan penolong seperti Lo, selalu aja hidupnya singkat..... Ah, mungkin tuhan sayang sama Lo (arhan).' batin lucky sendu.

"Bang!" Panggil Revan.

Lucky terperanjat. Ia berdehem kecil. "Apa?"

"Tumben ngajak kesini? Ada apa? Mau ngobrol sama gue?" Tanya Revan lirih.

Lucky menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya berucap. "Lor.... Kamu nggak ada niatan nerusin perusahaan bersama Abang? HM?"

Revan terdiam, tatapannya dingin. "Nggak mau! Abang aja yang ngurus perusahaan."

"Kenapa?"

"Gue pengen jadi asisten arhan aja..... Ini keputusan gue dari awal untuk setia sama dia. Prinsip gue, jalan hidup gue yang gue pilih sendiri..... Gue banyak hutang sama Budi sama dia.... Sebagai bentuk balas Budi, selamanya gue akan bekerja untuk dia.... Gue gak masalah tentang perusahaan keluarga. Abang ambil juga gak papa! Gue gak peduli. Abang berhak atas semuanya. Karena Abang yang ngurus! Gue nggak ngurus! Ambillah bang.... Gue gak butuh!" Kata Revan panjang lebar, terdengar pasrah namun tulus, ikhlas.

Lucky terenyuh, menggeleng cepat. "Kalau itu keputusan kamu, Abang gak akan halangi... Tapi soal perusahaan, itu bukan cuma tentang siapa yang ngurus, Van. Itu juga tentang siapa yang punya hak. Kamu tetap bagian dari keluarga ini. Jadi, kita bagi dua. Kamu berhak menerima itu... bukan karena kamu minta, tapi karena kamu layak."

Revan mengangkat wajahnya perlahan, menatap Lucky dengan mata yang mulai memerah. "Bang, gue nggak butuh itu… beneran. Yang gue cari bukan harta, bukan posisi. Gue cuma pengen tetap ada buat Arhan. Sampai kapan pun."

Lucky menghela nafas, mencoba tetap sabar. "Lor! Dengerin Abang." Ia meraih kedua bahunya. "Ini bukan soal posisi atau juga harta. Tapi ini tentang hak kamu.... Disitu ada hak kamu.... Perusahaan itu harta kamu dan juga Abang.... Kamu pantas menerimanya, jangan pernah menolak hak kamu.... Abang gak suka"

"Tap-"

"Harus! Setiap bulan! Penghasilan kita bagi dua, sama rata. Sejajar! Kita gak boleh egois..... Kamu bukan tipe orang yang ingin kaya dengan warisan. Dan Abang juga bukan tipe yang pengen kaya dengan menguasai warisan. Jadi kita harus saling berbagi, Abang punya kamu, kamu juga punya Abang. Abang kaya, kamu kaya! Fair!" Tegas lucky menepuk-nepuk pelan pipi Revan.

Revan berdecak pelan. "Terserah Abang aja.... Aku mah ikut aja.... Selagi itu baik, kalo jahat aku gak mau...."

"Mau minum?"

"Minum apa?"

"Wine mau?" Tawar lucky sembari mengeluarkan botol wine dari jasnya dengan gaya santai. Seolah habis berpesta.

"Ngucap bang! Ngucap!" Sahut Revan cepat, menatap lucky dan botol wine dengan eskpresi tak percaya. Bisa-bisanya abangnya ini mengajak dia mabok sehabis tahlilan.

Lucky tak menjawab. Ia membuka botol itu perlahan. Tanpa ragu ia menengaknya secara langsung. Revan yang melihatnya, hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Bang! Gak boleh gitu..... Ini tempat usai tahlil, habis berduka! Ngapa harus minum sih!" Kesal Revan nyaris berbisik, nadanya menekan.

"Kita semua berduka, lor. Tapi... kadang rasa kehilangan itu lebih berisik dari doa. Dan Abang ngelampiasin semuanya lewat minuman. Karena kalau nggak, abang bisa stress sendiri." ucapnya lirih, lalu menengak kembali. Setiap tegukan seperti membawa ketenangan, bukan yang menyembuhkan lebih seperti penenang, meskipun efeknya parah. Perlahan matanya mulai memerah, kepalanya berdenyut-denyut. Namun ia tetap diam, membiarkan otaknya ngeblank dengan beban pikiran yang keluar secara pelan-pelan.

"Abang tau nggak, alkohol itu merusak diri sendiri?" Tanya Revan.

"HM! Memang merusak! Setidaknya ia menenangkan diri... Walaupun merusak diri Abang. Yang terpenting dia ngerusak diri sendiri..... Bukan orang lain.." jawab lucky parau, keleyengan.

Revan hanya bisa menghela nafas, menasehati orang yang sedang mabuk, sangat percuma, sia-sia saja. Didengarkan tidak, dihiraukan iya.

"Lor! Bantuin gue deketin Bella...... Bantu gue ..... Gue pengen..... Kalau berhasil, Abang kasih kamu kompensasi nanti...." Lirih lucky terkekeh geli.

Sontak, Revan menoleh, menatap wajah sang abang. Jantungnya seolah berhenti berdetak kala melihat air mata lucky yang menetes, mengalir membasahi kedua pipinya.

"Bang, kamu kenapa nangis? Ada apa?" Tanya Revan khawatir. Tanpa pikir panjang, ia merebut botol tersebut dan membuangnya ke tong sampah. Tak peduli dengan lucky yang melantur, melarangnya.

"Ke-"

"Bang! Kamu nangis? Gara-gara alkohol?" Tanya Revan mengguncang bahunya.

"Nggak...."

"Terus?"

"Bantuin Abang deketin dia..... Kali ini aja Lor! Abang...." Lucky terkekeh geli, meracau tak jelas. Sementara air mata deres bagai air hujan.

Revan menangkup Pipi sang abang, menyeka air matanya lembut dengan perasaan campur aduk, antara sedih, kaget dan bingung.

"Lor!"

"Iya bang! Iya.... Nanti gue bantuin kok...." Revan menurutinya saja Tanpa banyak omong dan tidak bertanya lagi alasannya.

Hati Revan bak dihujam ribuan sembilu menyaksikan air mata abangnya yang terus mengalir. Revan tak sanggup, dengan gerakan lembut ia merengkuh, mendekap sang Abang yang sedang sedih. Tangannya menepuk-nepuk punggung, sementara yang satu mengusap kepalanya. Mata Revan terpejam, membiarkan kaosnya dibasahi air mata abangnya. Ia tidak peduli, yang terpenting bisa meredakan kesedihan lucky.

"G-gue sayang sama dia."

Deg!

Satu kalimat itu menyentak Revan. Matanya terbuka, pandangannya turun, menatap pucuk kepala sang abang. Bisa ia rasakan betapa gemetarnya tubuh lucky dipelukannya. Hal itu, semakin membuat Revan bingung sebingung- bingung-nya.

"Gue kangen dia, setiap saat."

Kalimat sederhana itu membuat Revan membeku dalam diam.

"Sayang? Kangen? Sama almarhum bini Lo, bang?" Tanya Revan pelan, memberanikan diri.

Lucky terdiam. Revan mengganguk pelan, tahu. Diamnya seseorang berarti membenarkan secara tidak langsung. Pikirnya.

Disela-sela keduanya berpelukan menenangkan luka yang tak terlihat. Suara langkah kaki ramai, disusul celetukan ngawur terlontar.

"Allahuakbar! Kalian ngapain peluk-pelukan disini? Lagi mesra-mesraan tah?" Tanya Kevin.

Lucky mendorong tubuh Revan pelan, pelukan terurai. Lucky mendengus pelan, mengusap air matanya secara kasar. Pengganggu umpatnya dalam hati.

"Kalian berduaan ditaman! Kayak orang pacaran aja! Mana keciduk habis pelukan. Mirip-mirip pasangan homo, apalagi kak Revan..... Kelihatan banget, ngusap-ngusap, dielus! Gak sekalian dikecup tuh kepalanya!" Ujar livy—kakak ipar Revan, berdecak kesal.

"Pacaran pala Lo peang! Gue.... Lagi menghayati, menumpahkan rindu sama Abang gue..." Karang Revan seadanya.

"Kamu gak mau peluk aku, kak? Aku kan istri kamu?" Tanya Eva cemberut.

Revan menggeleng cepat dengan eskpresi polos. Mereka menahan tawa kecuali lucky kala melihat Eva yang tampak bete.

"Kita dari tadi nyariin kalian berdua loh! Kirain kalian nyasar kemana! Gak taunya ada disini!" Ucap Bella lembut, menyunggingkan senyum manis dibalik cadar.

"Heheheh!" Lucky tertawa.

"Kamu kenapa ketawa?" Tanya Bella.

Lucky menggeleng, menatapnya dengan mata memerah.

"Mata kamu merah banget! Ada apa?" Tanya Bella heran.

"Tidak apa-apa...." Lucky bangkit dari duduknya. Ia melangkah pelan dengan tubuh terhuyung, sesekali meracau tak jelas, bahkan tertawa-tawa, mabok.

Mereka saling berpandangan dengan raut wajah penasaran dan bertanya-tanya.

"Bang!" Dengan sigap Revan menahan tubuh abangnya yang nyaris jatuh. "Ngeyel banget sih! Dibilangin jangan mabok!" Bisik Revan geram sendiri.

"Heheheh!" Lucky terkekeh kecil.

Revan menghela nafas berat, lalu bergerak cepat, memapah tubuh lucky dengan susah payah. Keringat mengucur deras dari pelipisnya. Nafasnya ngos-ngosan.

"Van! Lucky kenapa? Kok kayak orang mabok?" Tanya Raka serius.

"Gue cabut bentar! Mau nganter dia!" Kata Revan tidak mau menjawab pertanyaan.

"Mau kita bantu nggak?" Tanya Kevin.

Revan menggeleng cepat.

"Udeh! Sini gue bantu Van! Jangan sungkan!" Raka gercep, memapah tubuh lucky. Keduanya pamit dan berjalan sambil memapah lucky yang cekikikan, meracau tidak jelas. istilahnya melantur.

Mereka memerhatikan dengan eskpresi beraneka ragam. Khawatir, kepo, dan bingung.

"Dia seperti orang mabuk!" Ucap Bella lirih.

Aldo menoleh. "Memang mabuk, mbak. Saya tau gelagat-gelagat orang mabuk. Dan bang lucky keciri banget!"

"Seriusan dia mabok?" Tanya livy tak percaya.

Aldo mengganguk pelan dengan raut wajah serius.

"Astaghfirullah, berarti......" Lirih Bella tak menyangka. Tangannya terkepal erat, menahan gejolak dalam dadanya. Jelas, amarahnya, bukan amarah karena perasaan, tapi amarah dengan sikap lucky yang menurutnya kurang ajar.

"Ada-ada saja..... Kenapa dia bisa kepikiran mabok ya? Bawa botol dari mana dah?" Tanya Sean geleng-geleng kepala.

"Ini botolnya, bro!" Celetuk Aldo, mengangkat botol dari tong sampah yang baru ditemukan.

Mereka mendekatinya. Menatap botol itu lekat-lekat. Seketika mata mereka membulat, penuh kekagetan.

"Astaga! Ternyata Dia beneran mabok...." Livy menepuk jidatnya.

"Apa jangan-jangan suamiku ikut mabok ya, bersama kak lucky?" Tanya eva tak bisa positif thinking lagi.

"Nggak, kak. Bang Revan masih normal! Nggak minum! Nah mungkin botol minuman ini, dibuang sama bang Revan. Soalnya, masih banyak banget isinya!" Kata Aldo menunjuk-nunjuk botol dan membuangnya kembali.

"Dia kurang ajar!" Ucap Bella geram nyaris berbisik. "Mengotori rumah orang dengan maksiat! Astaghfirullah. ya Allah.... Ampuni dia....." Lanjut Bella pelan. Suaranya tak terdengar.

*

*

Yang mau liat visual cek : cengzez_7

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!