“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Sepulang kerja, Ara memilih pulang dari pada menuju ke hotel yang tertulis di pesan misterius itu. Dia tidak ingin membuang waktunya untuk meributkan, merebut—bahkan sekedar menunjukkan kekecewaan setelah dikhianati oleh sosok suami yang tak layak diperjuangkan.
Ara menatap nanar rumah mereka yang sunyi. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang paling aman dan nyaman, namun justru lebih banyak memberikan luka.
Ara tidak menangis, tak juga menjerit demi mengekspresikan rasa sakitnya. Dia hanya melipat satu per satu bajunya dengan rapi dan memasukkannya ke dalam koper dengan kondisi kedua tangan yang bergetar hebat. Munafik jika ia tak terguncang.
“Ku kira, kamu hanya laki-laki pecundang, Mas. Ternyata, kamu juga ... Bajingan Busuk!” lirihnya penuh akan kecewa.
Sambil mengemas sisa-sisa pakaiannya, wanita berparas ayu itu menoleh ke arah ponselnya yang bergetar di atas meja rias.
Sekilas ia mengabaikannya, tapi getaran itu tak kunjung berhenti. Akhirnya ia mengambil benda pipih itu, membuka layar yang menampilkan tiga pesan masuk dari tiga nomor berbeda.
Ara membuka pesan pertama, dari suaminya.
Harry : Pintu kunci saja dari dalam. Aku nggak pulang—mau pergi mancing. Aku terlalu muak untuk natap wajah orang yang udah nipu aku!
Ara tertawa hambar. “Mancing? Mancing atau berbagi lendir dengan sundal itu?” gumamnya seolah Harry ada di depan mata.
Satu pesan lagi Ara baca, pesan dari Wulan yang mengabarkan bahwa hari ini ia sudah mendapatkan kontrakan rumah murah. Teman curhat Ara juga mengirimkan foto tempat tinggalnya yang baru.
Wulan : Gue baru selesai pindahan nih, sini main. Dari pada lo diam doang di rumah.
Ara menghela napas pelan. Ada senyuman kecil di bibirnya melihat Wulan yang tak pernah ragu untuk melangkah.
“Aku juga pasti bisa seberani Wulan!” kata Ara penuh semangat. “Untuk apa punya suami kalau aku masih merasa seolah hidup seorang diri? Lebih baik, aku menjadi janda.”
Kemudian, Ara membuka pesan ketiga. Pesan dari kantor Harry yang berisi pesan singkat dan formal :
"Yth. Ibu Arawinda. Kami mengundang Anda untuk menghadiri pelantikan suami Anda, Bapak Harry Mujahidin. Acara akan dilaksanakan pada ...."
Ara menatap pesan itu cukup lama, sebelum akhirnya ia meletakkan ponselnya kembali.
Ia berdiri di tengah kamar, di depan meja rias. Mematut penampilannya yang sedikit berantakan.
Perlahan, senyuman terbit di bibirnya. Senyuman penuh maksud.
“Pelantikan, ya?” Gumamnya pelan, sambil meletakkan ponsel ke dalam tas. “Menarik!”
.
.
“Widihhhh, dateng-dateng bawa koper. Mau pindahan juga, lo? Udah sadar juga kayak gue?” Wulan tergelak kala melihat Ara berkunjung di kontrakannya sambil membawa dua koper merah menyala.
“Lo nggak habis mutilasi si Harry goblok bin bahlul itu kan?” Wulan melirik koper yang di bawa Ara. Koper merah yang sekarang sedang menjadi trending topik di sosial media akibat ditemukannya jasad termutilasi di dalamnya.
“Udah mulai kena nih syaraf lo kayaknya, Lan,” ejek Ara.
“Kalau itu mah udah dari dulu,” Wulan cengegesan. “Lo mau tinggal di sini juga?”
Ara mengangguk. “Pengennya sih balik ke rumah Ibu. Tapi, gue nggak mau kalau Harry sampai nyusul ke sana dan buat keributan. Kasian Ibu, Lan.”
“Jiaaah, Harry, udah nggak pake ‘Mas’ lagi nih, Ar?” goda Wulan.
“Sampai kiamat juga gue ogah!” sahut Ara cepat. Membuat Wulan terbahak-bahak.
“Kenapa? Ada masalah? Si goblok itu berulah? Udah celup-celup dia sama si lonte itu?” Wulan menaikan satu alisnya.
“Astagfirullah, mulut lo, Lan! Nggak boleh nyebut lonte begitu, dosa. Harusnya ‘Lonte Jahanam’, gitu ....”
Mereka tertawa kompak.
“Akhirnya ya, Tuhan. Temen gue ini ada kemajuan juga. Gitu kek dari kemarin!” Wulan menggeplak lengan Ara.
Ara balas menggeplak. “Sakit lho!”
Wulan meringis, mengusap pelan lengannya yang panas.
“Gue numpang taroh tas gue dulu ya. Lusa baru gue nginap di sini,” kata Ara.
“Aman-aman, santai aja. Perlu kuncinya sekarang nggak? Mana tau besok lo mau istirahat kemari, soalnya besok gue mau pergi—nggak tau pulangnya jam berapa,” jelas Wulan.
“Mau ke mana, lo?” kening Ara berkerut.
“Nyari kerja lah,” sahut Wulan cepat. “Lo lupa—gue calon janda? Anak yatim piatu pula. Siapa yang bakal nanggung biaya hidup gue kalau gue nggak kerja? —Kecuali, abis cerai gue langsung kawin sama apek-apek Singapore yang kaya raya, menang banyak gue.”
Ara menggeleng-geleng seraya tersenyum geli mendengar ucapan Wulan yang terkadang sering membuat orang lain istighfar.
...****************...
Lusa pun tiba.
Gedung tempat acara pelantikan menjulang megah, dipenuhi dekorasi formal bernuansa biru tua dan emas. Ruang auditorium kantor sudah dipenuhi rekan kerja, atasan, serta undangan penting lainnya.
Di barisan depan, spanduk bertuliskan “Pelantikan Jabatan Baru - Divisi Regional & Tim Strategi” membentang rapi. Musik instrumental mengalun pelan, membalut suasana yang tampak prestisius namun penuh basa-basi.
Ara melangkah masuk dengan anggun. Setelan hitam sederhana yang ia kenakan kontras dengan rona wajahnya yang tenang dan dingin.
Tatapan mata langsung mengarah padanya. Beberapa mengenalinya sebagai istri Harry. Beberapa lain hanya sekadar memuji penampilan serta wibawa tenangnya.
“Eh, itu istrinya Harry kan? Aku pernah lihat fotonya sesekali diposting Harry di story whatsapp. Cantik ya, lebih cantikan aslinya daripada yang di foto. Nggak perlu dandan tebal-tebal, tapi, udah secantik itu.”
“Iya ya, pakaiannya juga sederhana. Tapi, terlihat ... anggun. Definisi cewek cantik natural. Beruntung banget si Harry—apalagi, dia sering bangga-banggain ke kita kalau istrinya itu nggak pernah muluk-muluk.”
Bisik-bisik pun semakin terdengar. Harry turut membusungkan dada kala istrinya dipuji oleh rekan kantornya.
‘Untung Ara berpenampilan rapih. Dia beli baju baru ya? Boros banget sih! Tapi, ya, terserah sih, dari pada dia datang ke acara ini pakai baju kumal ... bisa malu aku!’ batin Harry.
Puspa yang berdiri tak jauh dari meja penyambutan menggertakkan giginya diam-diam. Jelas ia mengenali sosok itu meski tak pernah benar-benar duduk bersama. Ara—wanita yang selama ini disebut Harry ‘lusuh dan membosankan’—hari ini tampil seperti ancaman yang halus. Aura tenangnya memancing rasa tidak aman yang Puspa sendiri tak paham datangnya dari mana.
‘Sok cantik banget sih!’
PLAK!
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭