seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
operasi pagar gelap
Dika sedang memimpin pengarahan terakhir sebelum operasi. Semua agen Interpol dan personel bersenjata lengkap mendengarkan dengan serius.
"Zen diperkirakan akan keluar dari dermaga ini sekitar pukul 03.00 dini hari dengan kapal cepat. Tidak ada tembakan kecuali jika diserang. Tim penyergapan dibagi dua jalur: laut dan darat," ucap Dika tegas.
Di tempat lain—beberapa meter dari dermaga—seorang wanita mengenakan jaket hitam dan topi lebar berbaur di keramaian nelayan. Tak ada yang tahu itu adalah Kapten Merlin, yang menyusup sebagai warga biasa. Di balik jaketnya, terselip pistol kecil dan radio komunikasi kecil.
"Aku kenal Zen. Dia nggak bakal kabur pakai jalur utama," gumam Merlin. "Pasti ada jalur lain... mungkin lewat saluran pembuangan dermaga atau kapal nelayan bodong."
Merlin menyelinap ke sisi timur pelabuhan, tempat kapal kecil bersandar. Dia mengaktifkan alat pemindai panas mini yang biasa digunakan untuk operasi malam.
"Gotcha," bisiknya saat melihat titik panas di bawah kapal kayu tua.
Sementara itu, Dika dan tim Interpol mulai mengepung kapal utama. Tapi semua tampak kosong. “Kok nggak ada pergerakan?” bisik Dika curiga.
Merlin mengirim pesan suara melalui frekuensi pribadi:
> “Mas… kamu salah target. Zen bukan di kapal utama. Dia coba kabur dari kapal nelayan timur. Aku sedang hadapi dia sekarang. Kirim back-up.”
“AINA?! Kamu di sini?!” Dika panik.
Merlin menendang pintu geladak bawah dan langsung membekuk salah satu anak buah Zen. “Terlambat, Kapten Merlin,” suara Zen terdengar dari balik lorong gelap. Tiba-tiba, sebuah granat asap dilempar ke arah Merlin. Dia terbatuk dan tersungkur sesaat.
“Zen!!” teriak Merlin, mengejar bayangan itu yang kabur ke arah kanal gelap.
Malam itu sunyi, angin laut menyelinap menusuk tulang. Gudang tua yang berada di pinggir pelabuhan Tarakan itu tampak biasa saja dari luar—tetapi bagi ketiga orang ini, tempat itu seperti sarang ular berbisa.
Di balik tembok dermaga, Merlin—dalam penyamaran lengkap—berjongkok di samping Reno dan Dika. Mereka mengenakan rompi hitam antipeluru tanpa logo resmi. Di belakang mereka, pasukan elit bergerak senyap, mengikuti aba-aba tangan Reno.
Reno berbisik:
“Gudang itu dijaga setidaknya 10 orang bersenjata lengkap. Intel kita bilang Zen ada di lantai dua. Dia nggak tahu kita sudah tahu.”
Dika:
“Kita bagi tiga tim. Aku pimpin penyergapan dari belakang, Reno dari samping kanan. Merlin dan dua agen lainnya masuk dari loteng. Fokus: hidup-hidup.”
Merlin tersenyum kecil:
“Akhirnya kita beraksi bareng lagi. Tapi ingat, ini bukan latihan. Zen licik, dia bisa saja menjadikan gudang itu perangkap.”
Reno:
“Bukan cuma licik. Dia bisa tembak siapa saja tanpa pikir dua kali.”
Dengan sinyal tangan Dika, mereka mulai bergerak. Di kejauhan, suara burung hantu bercampur gemerisik daun kering menambah suasana mencekam. Pasukan menyebar, menyusup senyap ke sekitar gudang.
Merlin bersama dua agen memanjat sisi kiri gudang dengan tali. Dari celah loteng, ia bisa melihat Zen sedang berbicara dengan seseorang lewat layar monitor besar.
> “Waktu kita tinggal sebentar. Barang harus dipindahkan sebelum besok pagi. Interpol sudah mulai gerak,” ujar Zen pada seseorang yang wajahnya tidak dikenali.
“Dan tentang Dika... aku sudah punya kejutan buatnya.”
Merlin menahan napas. Ia mengaktifkan komunikasi:
> “Target di lantai dua. Sedang komunikasi dengan pihak ketiga. Siap lakukan penyergapan dalam 60 detik.”
Dika menyiapkan granat kejut. Reno menarik pelatuk flashbang dari sisi gudang. Hitungan dimulai.
5… 4… 3… 2…
BOOM! Granat kejut dilempar. Pintu belakang digedor paksa. Tembakan peringatan meledak dari dalam. Teriakan terdengar.
Zen berlari!
Melompat keluar dari jendela lantai dua. Tapi sebelum sempat kabur jauh—BRAK!—Merlin menjatuhkannya dengan tendangan memutar.
“Berakhir sudah, Zen,” ucap Merlin, menodongkan pistol ke wajahnya.
Zen menatap Merlin dengan dingin. “Kau menang kali ini… tapi ini belum selesai, Kapten.”
Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Sebuah pesawat militer mendarat di landasan dengan pengawalan ketat. Di dalamnya, Komandan Zen duduk dengan tangan diborgol, wajahnya penuh luka memar akibat perlawanan terakhirnya di gudang.
Di luar pesawat, Kapten Merlin, Dika, dan Reno telah menunggu. Pasukan Interpol dan kepolisian bersenjata lengkap mengelilingi area bandara. Zen menatap Merlin tajam saat digiring turun.
“Selamat datang kembali di tanah air, Komandan. Waktunya bicara,” ucap Merlin dingin.
Zen tersenyum miring. “Akhirnya kita bisa ngobrol... tanpa senjata.”
Markas Besar Kepolisian, Ruang Interogasi Khusus.
Lampu menyala redup. Zen duduk di balik meja interogasi. Tangannya terborgol, wajahnya tetap tenang. Kapten Merlin, mengenakan seragam dinas, memasuki ruangan bersama Dika dan seorang jaksa dari Kejaksaan Tinggi.
Merlin:
“Kita tahu semua soal rekeningmu di Swiss, soal transaksi senjata ilegal, dan bahkan soal kematian penyelidik kita di Palembang.”
Zen tertawa kecil.
“Kalian baru menemukan permukaan. Aku hanya ujung pisau. Yang melempar pisau itu lebih dalam... dan lebih kuat dari kalian semua.”
Dika menatap tajam:
“Siapa mereka? Siapa otak di balik semua ini?”
Zen diam sejenak, lalu berkata pelan:
“Kalian pernah dengar nama Sibayangan?”
Merlin dan Dika saling pandang. Nama itu pernah muncul… samar… saat penyelidikan kasus lama yang ditutup secara misterius.
Zen melanjutkan:
“Sibayangan bukan orang. Dia jaringan. Dia legenda dalam dunia hitam. Kalau aku bicara, aku mati. Tapi kalau kalian ingin jawaban... kalian harus masuk ke dalam jaringan itu sendiri.”
Hari cerah, angin semilir masuk dari jendela terbuka. Restoran ditutup, tapi suara sapu dan perabotan yang digeser terdengar dari dalam. Pak Jaka mengelap meja, sementara Rendi membereskan kursi.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Laila muncul dengan seragam kasual, rambut dikuncir dua, ditemani seorang pengawal pribadi berbadan tegap.
Laila (ceria, tapi raut wajah sedikit kecewa):
“Pak Jaka... Om Rendi... jadi kita ke pantai cari batu karang ya? Sebenarnya aku maunya sama Ayah dan Bunda, tapi mereka belum juga pulang...”
Pengawal:
“Maaf, Non. Ayah dan Bunda masih bertugas. Mungkin malam baru pulang.”
Pak Jaka menatap Laila dengan lembut, paham betul perasaan anak itu. Ia menyeka tangannya dengan lap, lalu tersenyum hangat.
Pak Jaka:
“Kalau gitu, gimana kalau hari ini kita yang temani kamu? Sekalian nyari es kelapa muda di pinggir pantai.”
Rendi (angkat tangan penuh semangat):
“Siap jadi guide pribadi, Princess Laila!”
Laila tersenyum malu-malu, pipinya merona.
“Aku senang kok sama Kek Jaka... dan Om Rendi juga lucu.”
Pak Jaka tertawa:
“Ya udah, beresin dulu ini, abis itu kita jalan. Tapi kamu harus janji makan siang dulu sebelum main, ya?”
Laila (mengangguk cepat):
“Siap, Kapten Resto!”
Setelah Laila pamit ke dapur untuk ambil bekal kecil, Pak Jaka mengeluarkan ponsel dan segera menekan kontak Dika.
Pak Jaka (di telepon):
“Mas Dika, saya mau izin bawa Laila jalan-jalan sebentar ke pantai. Dia tadi nyebut kangen sama Ayah Bunda, tapi kayaknya sedih karena belum bisa bareng.”
Dika (suara di telepon):
“Wah... iya, Pak Jaka. Kami masih di markas untuk laporan terakhir. Gini aja, Laila boleh ikut, tapi harus ditemani pengawal pribadi dan pastikan dia nggak jauh-jauh dari kalian. Merlin juga denger kok.”
Merlin (menyela lewat speaker):
“Pak Jaka... tolong jaga dia seperti cucu sendiri ya. Aku tahu Laila anak kuat, tapi aku nggak tenang kalau dia jalan tanpa pengawasan.”
Pak Jaka (tenang):
“Siap, Kapten. Aman, pengawal juga ikut. Kami bertiga selalu dekat dengannya.”
Dika (tertawa pelan):
“Dan jangan lupa, kalau Laila mulai bawel... tinggal kasih es krim kelapa, pasti anteng!”
Pak Jaka:
“Hahaha, baik mas. Nanti sore saya kabarin lagi kalau sudah pulang.”
Di Mobil Menuju Pantai
Laila duduk manis di kursi belakang bersama Om Rendi, sementara pengawal duduk di depan bersama Pak Jaka yang menyetir.
Laila (sambil melihat keluar jendela):
“Enak ya bisa jalan bareng gini... Tapi tetap lebih seru kalau Ayah sama Bunda ikut.”
Rendi (menimpali):
“Nanti kalau Ayah pulang, kita ajak piknik bareng ya. Tapi sekarang kamu punya tiga bodyguard kece.”
Laila tertawa:
“Tiga? Oh iya! Om Rendi, Kek Jaka, dan si Mister Pengawal Diam...”
Pengawal (tersenyum malu):
“Yang penting Non Laila aman dan senang hari ini.”
Angin laut berembus pelan, debur ombak menari lembut di kaki kecil Laila. Dia duduk bersila di atas pasir putih, jemarinya cekatan menyusun kerang-kerang mungil yang ia kumpulkan sejak tadi siang. Di sampingnya, Om Rendi dan Pak Jaka duduk di atas tikar sambil mengawasi, sementara pengawal berdiri tak jauh dengan tatapan tajam menyapu sekeliling.
Laila (penuh semangat):
“Kalung ini buat Ayah. Kalau Ayah lagi dinas jauh... terus lihat ini, Ayah pasti ingat aku, kan?”
Rendi (tersenyum haru):
“Ayahmu pasti senang banget, Laila. Dia bangga punya kamu.”
Pak Jaka:
“Wah, ini bukan cuma kalung. Ini doa dari anak yang hebat.”
Laila (tersipu):
“Hihi, aku juga mau bikin satu buat Bunda, tapi kerangnya harus warna pink.”
Sementara itu...
Di balik rerimbunan pohon bakau tak jauh dari tempat mereka duduk, bayangan hitam tampak berdiri diam. Sosok tinggi dengan topi lebar menutupi sebagian wajahnya. Tangan kirinya menggenggam sesuatu... entah kamera kecil atau alat komunikasi.
Sosok Misterius (berbisik pelan melalui alat komunikasi):
“Target terlihat. Gadis kecil bersama dua pria dan satu pengawal bersenjata. Menunggu instruksi selanjutnya.”
Tak jauh dari kakinya, seekor burung camar yang bertengger tiba-tiba terbang panik.