Wang Cheng, raja mafia dunia bawah, mati dikhianati rekannya sendiri. Namun jiwanya bereinkarnasi ke dalam tubuh seorang tuan muda brengsek yang dibenci semua orang.
Tapi di balik reputasi buruk itu, Wang Cheng menemukan kenyataan mengejutkan—pemilik tubuh sebelumnya sebenarnya adalah pria baik hati yang dipaksa menjadi kejam oleh Sistem Dewa Jahat, sebuah sistem misterius yang hanya berkembang lewat kebencian.
Kini, Wang Cheng mengambil alih sistem itu bukan dengan belas kasihan, tapi dengan pengalaman, strategi, dan kekejaman seorang raja mafia. Jika dunia membencinya, maka dia akan menjadi dewa yang layak untuk dibenci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16 Pedang dan Tameng
Wang Shuren terdiam, wajahnya merah padam. Rahangnya mengeras, tapi tidak ada bantahan yang bisa keluar. Di era sekarang, kata-kata seperti itu bisa dianggap rasis dan berbahaya, apalagi jika sampai didengar oleh Duta Besar Ras Iblis yang sesekali datang berkunjung ke wilayah manusia.
Wang Cheng menyuapkan potongan terakhir daging ke mulutnya, lalu berdiri sambil merapikan jubah. Ia menatap Wang Shuren, matanya dingin seperti es musim salju utara.
“Shuren, kalau kau tak tahan tinggal satu atap dengan ‘budak setengah iblis’ yang kubeli,” ujarnya santai, “maka silakan pergi dari kediaman ini. Dunia ini luas. Aku tidak akan menahanmu.”
“Kau…!” Wang Shuren bangkit dari kursinya, wajahnya hampir memerah darah.
[Wang Shuren membencimu: +80 Poin Kebencian]
Notifikasi sistem kembali terdengar. Namun Wang Cheng sudah berjalan meninggalkan meja makan, tanpa menoleh lagi. Ia tidak tertarik memperpanjang drama keluarga pagi ini.
Suasana ruang makan menjadi dingin dan tegang. Madam Ruoyan menatap punggung putranya dengan tatapan lembut bercampur khawatir. Wang Feilu menahan wajah dengan tangannya, seolah tengah memperhatikan mainan yang disukainya.
Sementara Xianyi... entah apa yang ada di dalam kepala gadis pendiam itu...
....
Setelah menghabiskan sarapannya dengan penuh drama, langkah Wang Cheng berakhir di salah satu lorong paling sepi di kediaman utama keluarga Wang—area yang dikhususkan untuk pelayan dan pekerja.
Dindingnya dingin, tidak seindah ruang utama yang dipenuhi ukiran dan ornamen. Di depannya, pintu kayu sederhana terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Lishan yang baru saja keluar sambil membawa keranjang kosong.
Lishan terlihat terkejut saat melihat Wang Cheng berdiri di sana. Matanya membelalak sesaat, lalu buru-buru menunduk dengan dalam.
“Maafkan saya, Tuan Muda,” gumamnya cepat, suaranya bergetar pelan, tapi bukan karena ketakutan, melainkan rasa gugup dan malu. “Saya baru selesai membantu… dia.”
Wajahnya sedikit memerah, tak bisa menutupi rasa malu setelah kejadian semalam. Wang Cheng hanya mengangkat alis tanpa ekspresi yang terlalu dalam.
“Kau bekerja dengan baik, Lishan. Datanglah ke kamarku malam ini,” ucapnya pelan dan santai. “Kau punya tugas lain mulai sekarang.”
Lishan tersentak, lalu menunduk lebih dalam. “Sesuai perintah, Tuan Muda.”
Tanpa berani menatap, Lishan berbalik dan berjalan cepat, menyembunyikan rona merah yang masih mewarnai wajahnya.
Sedangkan Wang Cheng membuka pintu dan melangkah masuk. Udara di dalam ruangan sedikit pengap, namun bersih. Di sudut ruangan, gadis berambut merah itu duduk dengan tenang. Matanya—yang merah seperti bara api yang nyaris padam—menatapnya tanpa rasa takut, tapi juga tanpa hormat.
Rambutnya kini diikat rapi, tubuhnya sudah bersih dari debu dan kotoran. Ia mengenakan pakaian pelayan keluarga Wang, namun rantai tipis dari besi perak masih terpasang melingkari lehernya—tanda bahwa dia masihlah seorang budak.
“Jadi kau datang,” ujar Shuezan, datar. “Kau mau apa sekarang?”
Wang Cheng tidak langsung menjawab. Ia hanya berjalan pelan ke meja kecil di sudut ruangan dan menuangkan air ke gelas dari teko.
“Setidaknya panggil aku Tuan Muda, seperti orang beradab,” ujarnya sambil duduk di kursi seberang gadis itu.
“Kenapa?” balas Shuezan santai. “Kau tidak terlihat seperti tuan yang layak dihormati.”
Wang Cheng terkekeh kecil. “Lisanmu tajam, dan juga berani. Tapi bukan itu yang membuatmu istimewa.”
Shuezan mengerutkan kening. “Aku bukan pelayan. Aku juga tidak pernah membersihkan kamar. Kalau itu tujuanmu membeli budak sepertiku, maka kau bodoh.”
“Bagus,” ucap Wang Cheng sambil meneguk airnya. “Karena aku juga tidak membelimu untuk membersihkan kamar.”
Shuezan menatapnya curiga. “Kalau begitu, untuk apa? Kau pikir kau bisa menjadikanku pemuas nafsumu? Kalau iya, maka aku lebih baik bunuh diri!”
"Hah? Kau pikir tubuhmu itu bisa membuatku tertarik?" balas Wang Cheng dengan sedikit sarkas. "Kau bukan pelayan, juga bukan boneka seks, kau adalah senjata sekaligus tamengku. Kau akan membunuh musuh-musuhku dan mati karena melindungiku..."
Wang Cheng bangkit dari kursinya, langkahnya pelan dan mendominasi ketika menghampiri Shuezan yang masih terdiam.
Ia kemudian mengangkat dagu gadis itu dan menatap matanya dalam-dalam. "Itu jauh lebih baik daripada menjadi boneka seks, bukan?"
Shuezan tetap diam, tidak membantah, juga tidak menyetujui apa yang dikatakan oleh tuan barunya tersebut. Namun itu sudah cukup untuk Wang Cheng.
Wang Cheng melepaskan dagu gadis itu, kemudian membuka lemari kecil dan melemparkan selembar jubah hitam kepada Shuezan. “Pakai ini. Aku punya tugas pertama untukmu.”
...
Udara pagi di Kota Wanlong begitu segar. Cahaya matahari menari-nari di antara atap-atap rumah dan kios-kios pasar. Keramaian mulai memuncak, orang-orang lalu lalang dengan pakaian warna-warni. Namun dua sosok berjubah hitam yang berjalan menyusuri sisi jalan menarik perhatian tersendiri.
Wang Cheng dan Shuezan berjalan sejajar. Wajah mereka tertutup kerudung gelap, menyatu dengan bayang-bayang kota.
“Pertama kali berjalan di kota manusia?” tanya Wang Cheng pelan.
Shuezan menoleh sedikit, matanya mengintip dari balik kerudung. “Ya. Biasanya aku hanya melihat dari balik jeruji besi... atau ketika dibawa untuk dijual.”
Gadis itu tampak heran melihat anak kecil berlari-lari, pasangan muda tertawa, dan pedagang berseru menawarkan barang dagangan.
Suatu pemandangan yang tidak pernah ia temui dalam hidupnya sebagai manusia setengah iblis yang tidak diterima di sisi manapun.
“Kemana kita akan pergi?” tanyanya hati-hati.
“Keluar kota.”
“Untuk apa?”
“Latihan.”
Shuezan mengernyit. “Latihan?”
Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, mereka sudah tiba di gerbang kota. Dua penjaga yang berjaga memperhatikan mereka curiga. Salah satu dari mereka maju satu langkah.
“Berhenti. Perlihatkan identitas kalian—”
Namun Wang Cheng mengeluarkan sebuah lambang perak bergambar naga bersayap—lambang resmi keluarga Wang.
Penjaga itu langsung bungkam, lalu menunduk dalam-dalam. “Silakan lewat, Tuan Muda Wang.”
Tanpa sepatah kata pun, Wang Cheng berjalan melewati gerbang, dan Shuezan mengikutinya dari belakang. Dunia di luar kota terbentang luas—padang rumput bergelombang, angin lembut meniup rerumputan, dan langit biru yang seolah tak terbatas.
Shuezan menatap horizon, lalu berbalik menatap Wang Cheng. “Aku masih tidak mengerti. Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku? Jika untuk perlindungan, maka ada lebih banyak budak petarung yang lebih baik dariku.”
Wang Cheng menatap wajah Shuezan yang tertutup kerudung gelap itu. Meskipun matanya tidak terlihat, namun Wang Cheng tahu jika gadis itu sedang sedih dari caranya menggigit bawah bibirnya.
"Mereka semua sampah, tidak ada yang lebih baik darimu," ucap Wang Cheng pelan, saat itu juga ia mengaktifkan kemampuan Mata Penilai Takdir miliknya.
> [Status: Shuezan—Budak]
Kekuatan: Foundation Qi
Loyalitas: 40/100 (Hampir Netral)
Potensi: S (Setelah Iblis)
Kelemahan: Kebencian yang membara dapat menghancurkannya.
sering sering update Thor