Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Kepergian Sion
Sinar matahari pagi menyusup dari celah pepohonan Syrren, menyelimuti desa kecil itu dengan kehangatan yang lembut. Embun masih menggantung di ujung daun, dan aroma tanah basah masih terasa di udara—seperti memberi salam perpisahan.
Sion berdiri di depan rumah Krov, membawa ransel kulit sederhana berisi bekal, selimut gulung, dan pedang kayu yang selalu ia bawa ke mana pun. Pakaiannya sederhana, tapi bersih dan rapi. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan berat hati yang samar.
Krov menepuk pundaknya. “Jadi, kau benar-benar ingin melanjutkan perjalanan?”
Sion mengangguk mantap. “Sudah waktunya. Terlalu lama aku berdiam di satu tempat. Lagipula, naga bersayap tak akan turun ke desa hanya karena aku menunggu.”
Krov terkekeh, tapi sorot matanya menyimpan kekhawatiran seorang ayah. “Berhati-hatilah. Hutan di luar Syrren tidak seaman ladang anggur. Tapi… kurasa kau sudah cukup kuat untuk bertahan hidup.”
Sion tersenyum lebar. “Itu pujian, ‘kan?”
Krov mengangguk. “Setengah pujian, setengah peringatan.”
Tak jauh dari situ, Mimbo berdiri sambil memeluk tongkat latihannya. Sissel menuruni tangga rumah dengan langkah cepat, rambutnya masih sedikit berantakan oleh angin pagi. Matanya menatap Sion lekat-lekat.
“Kau benar-benar akan pergi?” tanyanya.
Sion menoleh. “Tentu. Bukankah ini yang kau tahu akan kulakukan sejak awal?”
Ada rasa berat di hati ketika menatap gadis itu. Ia menyukai Syrren, tempat yang membuatnya untuk pertama kali merasa memiliki keluarga. Akan tetapi, tujuannya bukan itu. Ia ingin kembali ke istana. Jadi… ia harus meneruskan perjalanannya.
Sissel menyilangkan tangan. “Dan kau tak takut… sendirian mencari naga yang konon bisa membuat apapun membeku seperti es?”
Sion mengangkat alis, tersenyum nakal. “Setelah berlatih bersama Ayahmu, aku rasa aku bisa mengalahkan seekor naga kecil. Dan kau…” ia menoleh sambil menunjuk Sissel dengan dagunya, “…masih harus banyak berlatih agar sihirmu tidak seperti percikan api dari tungku dapur.”
“APA?!” Sissel berseru, wajahnya memerah. Tapi Sion hanya tertawa dan berbalik.
“Tenang, aku hanya bercanda,” katanya sambil menoleh sekilas.
Lalu ia menatap Mimbo dan menjabat tangannya erat. “Jaga Sissel. Dia mungkin tidak akan bicara, tapi dia pasti menangis setelah aku pergi.”
Mimbo mengangkat dagunya dengan bangga. “Tenang saja. Aku akan menikahinya, jadi tak akan kubiarkan dia menangis.”
Ucapan itu menghantam dada Sion lebih keras dari yang ia harapkan. Tapi ia tetap tersenyum, meski senyumnya sedikit kaku.
“Oh? Kalau begitu… jangan harap aku datang ke pernikahan kalian. Aku terlalu sibuk mengembara.”
Sissel mendengus. “Jangan berharap akan ada undangan.”
“Bagus,” balas Sion, matanya bertemu dengan mata Sissel untuk sesaat. Ada sesuatu yang tak terucap di sana, sesuatu yang menggantung tanpa disimpulkan.
“Lalu…” suara Sissel melembut, “kau akan kembali ke Tallava?”
Sion menggeleng perlahan. “Aku tak tahu. Mungkin iya. Mungkin tidak. Saat ini, tujuanku hanya satu: mencari naga es. Aku harus tahu… apakah mereka benar-benar masih ada.”
Angin berembus pelan, mengibarkan rambut dan jubah ringan Sion. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah mengisi dadanya dengan semua kenangan selama sebulan di Syrren.
“Kalian telah memberiku tempat untuk tinggal… dan untuk mengenal diriku lebih jauh,” ucap Sion, suaranya sedikit serak tapi masih menahan senyum. “Terima kasih, Krov, atas latihan dan nasihatmu. Sissel… untuk makanan-makananmu yang luar biasa… dan untuk... segalanya.”
Matanya bertemu dengan mata Sissel, dan untuk sesaat, dunia seperti mengecil. Hanya ada mereka berdua. Namun tak ada kata tambahan—karena beberapa hal memang lebih baik disimpan dalam diam.
“Mimbo, terima kasih juga telah menjadi rekan latihanku yang setia… tapi payah.”
“Hey!” protes Mimbo sambil tertawa, “Kau mau menghina atau memuji?”
“Itu kenyataan, kan…” jawab Sion cepat sambil terkekeh, lalu menepuk pundak Mimbo dengan tulus.
Krov, yang sedari tadi hanya diam memandang, akhirnya melangkah maju. Ia membawa gulungan kain cokelat yang panjang dan berat, lalu meletakkannya perlahan di tangan Sion.
“Ini…” ucapnya pelan, “dua bilah pedangmu yang dulu kau gunakan saat latihan. Sudah aku perbaiki dan sempurnakan.”
Sion membuka kainnya perlahan. Di dalamnya terbaring dua bilah pedang ringan dari logam hitam keperakan—tajam, bersih, dan menyatu dengan gagang yang dililit kulit rusa.
“Bilah ini ringan, tapi seimbang. Ujungnya sudah kutajamkan ulang. Dan jika kau merawatnya baik-baik, mereka akan menjadi sahabatmu di medan mana pun,” lanjut Krov. “Aku tidak bisa selalu melindungimu. Tapi semoga ini bisa.”
Sion memandangi senjata itu lama. Matanya berkaca, tapi ia hanya mengangguk pelan. “Terima kasih, Krov. Aku akan menjaganya seperti menjaga hidupku sendiri.”
Krov menepuk bahunya dengan satu tangan. “Selamat jalan, Sion. Kami akan menunggumu kembali—dengan atau tanpa naga di punggungmu.”
Angin berembus lebih dingin saat bayangan Sion perlahan menghilang di balik kelokan jalan hutan. Daun-daun berguguran seolah ikut melepas langkahnya, dan suasana sekitar mendadak terasa hening—seperti ada sesuatu yang ikut pergi bersama pemuda itu.
Sissel masih berdiri mematung, memandang jalan kosong yang baru saja dilalui Sion. Jemarinya mengepal tanpa sadar. Senyumnya telah lama memudar. Dan akhirnya…
Setetes air jatuh dari sudut matanya.
Disusul tetes lain.
Sissel menyeka pipinya cepat-cepat, berusaha tersenyum walau air matanya tak juga berhenti. “Dasar… menyebalkan…” gumamnya lirih. “Benar-benar membuatku menangis, seperti yang dia bilang…”
Mimbo menoleh, tampak gelisah. Ia mendekat, mencoba tersenyum dan berkata dengan nada bercanda, “Hei, jangan menangis, nanti kukira kau benar-benar tidak bisa hidup tanpanya.”
Sissel menoleh cepat, memukul lengan Mimbo pelan. Tapi wajahnya masih sembab.
“Dia hanya pergi mencari naga, kan?” katanya, berusaha terdengar biasa. “Dia pasti kembali…”
Krov mendekat, berdiri di antara keduanya. “Tidak apa-apa, Sissel,” ujarnya dengan nada rendah dan bijak. “Dia memang anak yang punya tekad kuat untuk mencari naga. Mungkin setelah mendapatkannya, dia akan mampir ke sini.”
Sissel menunduk, lalu mengangguk pelan. Tapi hatinya terasa kosong. Seolah ada bagian darinya yang ikut dibawa pergi oleh Sion.
Krov menatap putrinya dalam diam. Dalam hatinya, ada desir getir yang tak bisa ia ucapkan. Maafkan ayah, Sissel, bisiknya dalam hati. Kau belum tahu apa-apa…
Pemuda yang kau anggap teman itu bukan seorang elf biasa… Dia putra Raja R’hu yang hilang. Akan lebih baik jika kalian tidak pernah bertemu lagi. Dia bukan sekedar pemuda yang tidur di lumbung perkebunan anggur... dia mungkin bukan hanya akan kembali sebagai pemuda, tapi sebagai badai yang akan mengguncang istana yang dulu menolaknya. Jalannya pasti akan sulit.
Krov menghela napas panjang. “Suatu hari… mungkin kita akan bertemu dengannya lagi,” katanya pelan.
Angin kembali bertiup, membawa bau tanah dan dedaunan yang basah embun.
Dan di kejauhan, langkah kaki Sion terus melaju—meninggalkan Syrren dan kenangan manisnya, menuju jalan sunyi yang menunggu takdir besar yang belum terungkap.