Plak!
" Percuma aku menikahi mu, tapi sampai sekarang kamu belum juga memiliki anak. Kamu sibuk dengan anak orang lain itu!"
" Itu pekerjaanku, Mas. Kamu tahu aku ini baby sitter. Memang mengurus anak orang lain adalah pekerjaanku."
Lagi dan lagi, Raina mendapatkan cap lima jari dari Rusman di pipinya. Dan yang dibahas adalah hal yang sama yakni kenapa dia tak kunjung bisa hamil padahal pernikahan mereka sudah berjalan 3 tahun lamanya.
Raina Puspita, usianya 25 tahun sekarang. Dia menikah dengan Rusman Pambudi, pria yang dulu lembut namun kini berubah setelah mereka menikah.
Pernikahan yang ia harap menjadi sebuah rumah baginya, nyatanya menjadi sebuah gubuk derita. Beruntung hari-harinya diwarnai oleh wajah lucu dan tingkah menggemaskan dari Chandran Akash Dwiangga.
" Sus, abis nanis ya? Janan sedih Sus, kalau ada yang nakal sama Sus, nanti Chan bilang ke Yayah. Bial Yayah yang ulus."
Bagaimana nasib pernikahan Raina kedepannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baby Sitter 03
" Mbak, bagi duit dong. Besok harus bayar uang kuliah."
Baru saja menginjakkan kaki di rumah, Raina sudah ditodong oleh adik iparnya. Lagi-lagi meminta uang. Dalam satu minggu ini sudah berapa kali Ida ataupun Ningsih meminta uang padanya.
"Aku sekarang nggak ada, Da."
"Laah terus aku gimana dong, aku bisa di DO kalau nggak bayar."
Ida memekik, ekspresi wajahnya kesal bercampur akan menangis. Gadis itu bahkan menghentak-hentakkan kakinya. Merengek, ya seperti itu lah yang dilakukan oleh adik ipar Raina sekarang ini.
"Apaan sih ini, magrib-magrib ribut!"
"Bu, aku kalau di DO gimana. Aku harus bayar uang kuliah. Mbak Raina katanya nggak punya."
Raina membuang nafasnya kasar. Di bukannya sama sekali tidak punya uang, tapi dia juga butuh memiliki simpanan uang untuk dirinya sendiri.
Tiga tahun menjadi bagian dari keluarga ini, semua ia lakukan sendiri. Hanya untuk sekedar membeli makanan yang dia sukai saja rasanya begitu sulit. Maka dari itu Raina menyisihkan uangnya dan ia simpan tanpa sepengetahuan suaminya. Uang yang dari Rusman full diberikan kepada ibunya. Dengan dalih Raina bisa mencari uang sendiri, dan ibunya memang merupakan tanggungannya, Raina pun selama ini mengalah.
" Masa sih kamu nggak punya, jangan bohong. Gajimu kan gede. Masa iya kerja jadi baby sitter di lingkup orang gedongan nggak punya uang, padahal baru seminggu gajian."
" Bu, aku beneran nggak ada. Kan uang aku juga tahu kemana saja keluarnya. Kenapa Ida nggak minta ke Mas Rusman aja. Selama ini kan gaji dia semua ke Ibu dan Ida, aku sama sekali nggak pernah dikasih kalau Mas Rusman gajian."
Plak!
" Berani ya kamu ngelawan sekarang. Dasar anak nggak jelas asal-usulnya. Gini nih kalau orang hidup nggak punya orang tua."
Tes
Air mata Raina luruh. Bukan sakit karena mendapat tamparan, air mata Raina terjun bebas membasahi pipi karena ucapan dari Ningsih yang begitu menyakiti hatinya.
Jika boleh meminta, dia pun tidak ingin dilahirkan jika harus hidup terlunta-lunta. Dia juga tidak mau lahir tanpa memiliki orang tua, sungguh dia tidak mau.
" Terserah apa yang mau ibu katakan. Yang jelas, aku sama sekali nggak punya uang. Ida mau di DO atau tidak, itu bukan urusanku sama sekali."
Dengan langkah cepat, Raina masuk ke dalam kamar melewati Ningsih yang terlihat masih sangat marah.
" Dasar wanita sialan, menantu kurang ajar! Beraninya bicara seperti itu kamu hah! Pantas dulu aku nggak setuju Rusman nikah sama kamu, pada akhirnya sekarang kelihatan aslinya juga kamu."
Sesampainya dia di laman kamar, Raina menutup kedua telinganya dengan tangan. Ia mencoba untuk tidak mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Ningsih. Akan tetapi tetap saja itu sulit. Suara Ningsih begitu menggema.
Hiks hiks hiks
Aaaaaah hiks hiks
" Ya Allah, aku capek."
Tangis Raina semakin keras. Dia bahkan menarik paksa jilbabnya lalu mengacak rambutnya dengan kasar. Sungguh, dia tidak ingin menjalani hidup seperti ini untuk selamanya. Dia tidak mau hidup tanpa ada satu pun orang yang memihaknya.
Drtzzzz
Ponsel Raina berbunyi, awalnya dia ingin mengacuhkannya namun saat melihat siapa yang menelpon, mau tidak mau dia angkat juga.
" Iya waalaikum salam, ada apa ya Pak."
" Sus, maaf sekali. Aku beneran minta maaf, tapi malam ini juga aku harus kembali ke kantor. Apa bisa Sus kembali ke rumah? Kedua orang tua ku sekarang juga sedang tidak ada di rumah jadi aku nggak bisa nitipin Chan ke mereka. Jadi bisakah~"
" Oh bisa Pak, tidak masalah. Saya akan ke sana. Sampaikan saja ke Chan kalau saya akan menemaninya malam ini."
Seperti sebuah oase, Raina senang sekali mendapat telpon dari majikannya. Setiap ia merasakan sedih seperti ini, Chan merupakan pelipur lara di hatinya.
" Terimakasih kalau gitu ya Sus."
Raina langsung berganti pakaian. Dia tidak perlu memakai seragamnya malam ini, dan secara cepat keluar lagi dari kamarnya.
" Heh, mau kemana lagi kamu hah!"
" Aku ada lembur buat jaga Chan. Ayahnya lagi dinas luar kota. Aku pergi dulu."
Tanpa menolehkan wajahnya ke arah sang ibu mertua, Raina pergi begitu saja. Ia memakai helmnya lalu menyalakan motornya.
Brummm
Raina sepeti terburu-buru, dia benar-benar ingin segera pergi meninggalkan rumah itu malam ini juga.
" Haah, rasanya lega banget. Kadang aku ngerasa, apa lebih baik hidup sendiri seperti dulu. Karena nyatanya punya keluarga tidak seindah yang aku bayangin."
Sepanjang jalan menuju ke rumah Bagus dan Chan, Raina memikirkan segala hal tentang pernikahan dan juga kehidupannya bersama keluarga suaminya. Terbesit keinginan untuk berpisah. Rasanya dia sungguh sudah tidak sanggup menghadapi kehidupan pernikahan yang tiap hari selalu diwarnai pertengkaran.
" Apa benar cerai adalah jalan terbaik?"
Sreeet
gredeeek
" Ah pas banget, kamu udah sampai. Chan baru aja selesai makan. Tapi dia belum mau tidur, tolong ya Sus. Aku soalnya buru-buru banget."
" Baik Pak."
Bagus menaiki sendiri mobilnya, dia memang enggan memaki supir. Supir yang ada di rumah hanya ia khususkan untuk dia pergi bersama Chan. Atau juga kalau Raina dan Bik Yah butuh pergi untuk keperluan Chan.
" Mbak Ai, padahal baru aja sampai rumah kan pasti. Maaf ya Mbak, soalnya kalau cuma sama Bibi, Den Chan nggak mau."
" Nggak apa-apa Bik, ya udah aku nemuin Chan dulu ya."
" Mbak, kalau mau makan langsung ke dapur ya. Tadi Bapak bilang Mbak Ai suruh makan dulu."
Raina mengangguk, ia lalu menemui Chan yang sedang main di kamar.
" Halo ganteng."
" Sus Aiiii, uh Yayah peldi kelja ladi. Chan nda suka deh kalau Yayah kebanyakan kelja."
Raina hanya tersenyum, terkadang pekerjaan memang tidak bisa ditebak. Seperti dirinya sekarang ini, tiba-tiba harus kembali ke rumah sang majikan.
" Doain Yayah aja ya biar kerjaannya cepet selesai."
Chan mengangguk, bocah itu lalu kembai sibuk dengan mainan-mainannya. Raina hanya menatap Chan penuh dengan rasa haru. Ia kemudian memegang perutnya sendiri.
" Apakah kalau aku benar-benar hamil, Mas Rusman akan berubah? Apakah Ibu juga akan menerimaku dengan baik. Apakah kalau aku punya anak, kehidupan ku akan berubah?"
Raina bicara pada dirinya sendiri. Wanita mana yang sudah menikah, tidak menginginkan anak. Dia juga sama dengan yang lainnya, ingin merasakan gerakan bayi dalam perutnya. Dia juga ingin seperti yang lain ingin mendengarkan tangis bayi nya sendiri.
" Ya Allah, apakah aku memang tidak bisa hamil atau memang belum saja?"
Kemelut dalam kepala Raina semakin besar. Ia menjadi berkecil hati dan beranggapan mungkin saja ucapan Ningsih benar bahwa dirinya mandul.
TBC