Di balik tawa yang menghiasi hari-hari, selalu ada luka yang diam-diam disimpan. Tak semua cinta datang di waktu yang tepat. Ada yang datang saat hati belum siap. Ada pula yang tumbuh di antara luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Namaku Cakra.
Aku anak dari seorang perempuan yang terlalu kuat untuk mengeluh dan terlalu sabar untuk marah. Aku juga anak dari seorang pria yang namanya selalu disebut dengan kebanggaan, namun hanya hidup dalam kenangan.
Sejak kecil aku tumbuh dalam bayang-bayang ayahku yang gugur sebelum sempat menggendongku. Ibuku membesarkanku sendiri, menyematkan namanya dan kenangan tentang ayah dalam setiap langkahku. Aku tumbuh dengan satu tujuan—menjadi seperti dia. Seorang perwira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Awal Kesibukan
Pagi masih gelap. Langit di luar jendela belum sepenuhnya terang, hanya semburat jingga samar mulai menyapu cakrawala. Di dalam kamar, bunyi ritsleting dan gemerisik kain memenuhi keheningan subuh. Cakra sedang memasukkan perlengkapannya ke dalam tas ransel hijau tua. Seragam dinasnya tergantung rapi di sisi lemari.
Shifa duduk di tepi ranjang, masih mengenakan daster tidur, rambutnya dikuncir seadanya. Ia memandangi punggung suaminya dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan—perpaduan antara bangga dan khawatir. Setelah beberapa saat, ia bangkit dan menghampiri Cakra, membantunya menggulung kaus kaki dan merapikan tali sepatu yang belum diikat.
“Aku bisa sendiri, Fi,” gumam Cakra sambil menoleh, tapi senyumnya lembut.
“Aku tahu. Tapi biarin, ya. Sekarang gantian aku yang bantu Abang siap,” jawab Shifa sambil menunduk.
Mereka tertawa pelan, tawa yang mengandung keheningan perpisahan sementara.
Cakra kemudian menatap istrinya, memperhatikan lingkar matanya yang sedikit sembab karena kurang tidur.
“Kamu juga mulai magang, kan, hari ini?” goda Cakra, “Gimana rasanya jadi 'Dokter' sungguhan?”
Shifa mendengus kecil, menyembunyikan kegugupan yang menyeruak di dadanya. “Biasa aja. Cuma deg-degan dikit. Nggak separah malam pertama, kok.”
Cakra terkekeh geli, lalu mendekat. Ia meraih bahu Shifa, lalu mencondongkan tubuh dan mengecup keningnya lembut. Aroma tubuh istrinya yang baru bangun, masih hangat dan akrab, membuatnya enggan beranjak.
“Jangan lupa makan siang. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Dunia medis itu keras, tapi kamu lebih kuat,” bisiknya.
Shifa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak di dada. Ia membalas pelukannya dengan erat, menyandarkan kepala di dada Cakra.
“Dan jangan nekat,” ucapnya lirih. “Nggak semua masalah harus diselesaikan dengan tenaga. Kadang... sabar lebih penting.”
Cakra tertawa pelan. “Ajaran istri tentara, nih?”
“Bukan. Ajaran dari istri yang nggak mau suaminya nekat kayak dulu lagi.”
Mereka terdiam sejenak. Lalu, dengan enggan, Shifa melepas pelukan dan membantu menyampirkan tas ke punggung suaminya.
Cakra memandang Shifa sekali lagi sebelum membuka pintu.
“Aku titip rumah, ya.”
“Aku titip hati Abang,” balas Shifa cepat, suaranya nyaris berbisik.
Pintu tertutup perlahan. Suara langkah kaki di teras semakin menjauh. Shifa berdiri di depan pintu beberapa saat, menatap langit subuh yang mulai terang. Di hatinya ada rindu yang belum sempat tumbuh, tapi sudah harus ditahan lagi.
Setelah mengantar kepergian Cakra, Shifa kembali ke kamar, menatap dirinya di depan cermin. Seragam putih gading magangnya sudah ia kenakan dengan rapi. Ia mengikat rambutnya ke belakang dan menambahkan pin kecil pemberian ibunya di sisi kanan—sentuhan kecil yang selalu membuatnya merasa lebih berani.
Di dalam mobil angkutan umum menuju rumah sakit, Shifa lebih banyak diam. Ia melihat keluar jendela, memikirkan suaminya yang kini mungkin sedang menerima pengarahan di markas baru. Hatinya terasa kosong namun juga penuh. Ia tahu, jalan mereka mulai bercabang lagi. Tapi keduanya tetap menuju tujuan yang sama—mengabdi.
Sesampainya di rumah sakit, udara pagi masih berbau antiseptik dan alkohol. Suasana sibuk mulai terasa. Beberapa pasien berjalan pelan di lorong, ditemani keluarga mereka. Dokter dan perawat tampak terburu-buru, tapi tetap ramah menyapa satu sama lain. Shifa menarik napas panjang. Ini dunia barunya.
Ia melapor ke ruang administrasi magang, di mana seorang dokter perempuan berusia sekitar empat puluhan—bernama dr. Sekar—menyambutnya dengan senyum tegas.
“Shifa, kan? Kamu akan ditempatkan di IGD untuk dua minggu pertama,” ujar dr. Sekar sambil menyerahkan berkas.
“Iya, Dok,” jawab Shifa dengan suara hampir bergetar, tapi senyum tetap merekah di wajahnya.
Di ruang ganti, ia mengenakan jas praktik berlabel namanya. Saat bercermin, ia merasa asing, namun juga bangga. Ia mengingat pesan Cakra tadi pagi—“Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Saat melangkah masuk ke ruang IGD, bunyi monitor detak jantung, langkah cepat, dan instruksi medis segera membanjiri pikirannya. Ini bukan lagi simulasi. Ini nyata.
Seorang perawat muda menoleh dan berkata, “Kamu anak magang baru, ya? Siap-siap, pasien datang nggak pakai aba-aba.”
Shifa tertawa kecil. “Siap. Semoga aku juga nggak pingsan duluan.”
Di balik senyumnya, ia tahu, hari ini akan panjang. Tapi satu hal yang pasti: dia sudah mengambil langkah pertamanya. Meski suaminya tidak di sisinya secara fisik, namun dukungannya terasa seperti pelindung yang membalut setiap geraknya.
Di sela-sela istirahat, Shifa duduk di taman rumah sakit, membuka ponsel dan mengetik pesan:
“Abang pasti lagi sibuk. Aku juga. Tapi kita sama-sama belajar bertahan, ya? Sampai ketemu nanti malam.”
Pesan itu tak dikirim. Ia hanya menyimpannya di draf. Karena ia tahu, cinta mereka tak butuh selalu dikirim—cukup dirasakan.
Di sela waktu istirahat, Shifa duduk sendiri di sudut kantin rumah sakit. Ramai, tapi terasa jauh. Suara obrolan para perawat, denting sendok, dan langkah-langkah tergesa tidak benar-benar masuk ke telinganya. Dia membuka bekal yang disiapkan Bu Lastri tadi pagi, tapi hanya sempat mencolek sedikit nasi. Bukan karena tidak enak—justru sebaliknya—tapi pikirannya masih penuh dengan pengalaman pertamanya hari ini: tangisan pasien, suara monitor, dan degup jantungnya sendiri yang seperti ikut berdetak di setiap ruangan.
Ia membuka ponselnya, sekadar ingin melihat jam. Namun sebuah pesan masuk lebih dulu.
Cakra:
“Gimana hari pertama, Dokter Shifa?”
Senyum kecil muncul di wajahnya. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menyusup di antara segala kelelahan. Jemarinya mengetik perlahan.
Shifa:
“Lelah. Tapi aku suka.”
Ia hampir menambahkan emoji, tapi mengurungkannya. Ia tahu, kalimat singkat itu sudah cukup untuk membuat Cakra paham.
Tak lama, balasan masuk lagi.
Cakra:
“Semangat! Tapi jangan lupa makan. Nggak boleh tumbang duluan.”
Shifa terkekeh pelan, membuat seorang perawat magang lain meliriknya sebentar. Ia hanya mengangguk sambil menutup ponselnya, lalu memaksa diri menyendokkan beberapa suap nasi ke mulut.
Di antara semua suara bising, hanya satu suara yang ia simpan paling dalam. Suara dari seseorang yang meski jauh secara fisik, selalu hadir di detak jantungnya: Cakra.
Dan hari itu, meski berat, ia tahu… ia tidak sendiri Malam merayap perlahan, membungkus rumah mereka dalam sunyi yang dalam. Tak ada suara langkah berat yang biasa terdengar di lantai, tak ada derit pintu yang dibuka tergesa oleh seseorang yang pulang dengan senyum lelah. Yang ada hanya lampu ruang tengah yang temaram, dan dentingan jam dinding yang terdengar lebih nyaring dari biasanya.
Pintu terbuka pelan. Shifa masuk sambil menahan napas, seolah tak ingin mengganggu ketenangan rumah yang kini terasa terlalu hening. Ia menurunkan tasnya di kursi dekat pintu, membuka hijab dengan gerakan lambat, lalu menyisir rambutnya dengan jari sebelum berjalan menuju kamar.
Di dalam, ia berganti pakaian—kaos rumah berwarna lembut menggantikan seragam magang yang kini terlipat rapi di kursi. Ia menarik napas panjang sambil berdiri sejenak di depan cermin. Tatapannya lelah, tapi di balik itu, ada binar kecil yang tak bisa disembunyikan. Ini memang hari pertama yang berat… tapi juga berarti.
Matanya menangkap sesuatu—baju dinas Cakra tergantung rapi di belakang pintu. Masih ada bekas setrikaan yang terlipat halus. Shifa melangkah pelan dan duduk di tepi ranjang, membiarkan tubuhnya tenggelam sebentar dalam keheningan yang baru.
Ia meraih ponsel. Layarnya menyala, ada satu voice note dari Cakra. Baru dikirim sekitar lima menit lalu.
Dengan jari yang sedikit gemetar, ia menekan tombol play.
Suara Cakra terdengar di seluruh ruangan, hangat dan akrab:
“Aku pulang telat, kamu tidur duluan aja. Kalau ada apa-apa kabari, ada Bu Lastri sama Ibu. Jangan begadang. Love you.”
Shifa tersenyum. Senyum yang muncul dari kerinduan, dari cinta yang tak selalu butuh pelukan untuk terasa nyata. Tapi perlahan, senyum itu meredup—tergantikan oleh air mata bening yang jatuh satu-satu di pipinya. Ia tak menangis keras, hanya diam, membiarkan rasa itu mengalir, menemani keheningan malam.
Ia menggenggam ponsel itu lebih erat, lalu berbaring sebentar, memeluk bantal tempat Cakra biasa tidur. Kehangatan pria itu memang tak ada malam ini, tapi jejaknya tetap tinggal. Di lipatan selimut. Di suara yang baru saja ia dengar.
Beberapa saat kemudian, ia bangkit. Melangkah pelan ke jendela dan membuka tirai. Di luar, langit hitam bertabur bintang. Tak ada suara kendaraan. Hanya angin yang membelai dedaunan.
Shifa menatap keluar, membiarkan dingin menyentuh pipinya yang masih basah oleh air mata.
Lalu ia berbisik pelan, suaranya nyaris tak terdengar:
“Kita lagi di kesibukan masing-masing, Bang… Tapi hati kita tetap pulang ke tempat yang sama.” Malam tetap sunyi. Tapi hatinya hangat—karena cinta mereka tahu caranya bertahan, bahkan dalam jarak dan diam.
Jarum jam menunjukkan pukul sebelas lewat lima. Udara malam mulai dingin, lampu teras masih menyala sendu, memantulkan cahaya temaram ke lantai keramik.
Terdengar suara kunci diputar dari luar.
Ceklek…
Pintu terbuka perlahan. Cakra masuk dengan langkah pelan, masih mengenakan seragam lengkap, wajahnya lelah, mata sedikit sembab karena terlalu banyak menahan kantuk di kantor.
Namun langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak seketika.
"Shifa?!"
Gadis itu tertidur di lantai depan pintu, kepala bersandar ke dinding, tubuhnya melingkar dengan selimut tipis yang entah sejak kapan ia bawa. Ponsel tergeletak di pangkuannya, layarnya sudah mati.
Cakra segera berjongkok, panik tapi juga terharu.
"Ya Allah, kenapa kamu di sini, sayang..."
Ia menyentuh pipi Shifa pelan, memastikan ia tidak demam atau sakit. Begitu memastikan napasnya tenang dan tubuhnya hangat, ia menarik napas lega.
Cakra perlahan mengangkat tubuh Shifa ke dalam gendongan, seperti menggendong pengantin. Meski tubuhnya sendiri lelah, tapi ia menahan semua rasa itu demi perempuan yang kini terlelap di pelukannya.
Ia membawanya masuk ke kamar, lalu meletakkannya hati-hati di atas ranjang. Selimut yang tadi dibawa Shifa ditarik menutupi tubuhnya.
Shifa mengerang kecil, kelopak matanya bergerak, lalu terbuka perlahan.
"Bang…?" gumamnya pelan, antara sadar dan tidak.
Cakra tersenyum sambil mengelus rambutnya. "Ssshh… udah, tidur aja. Maaf ya, Bang pulang telat..."
Shifa mengangguk pelan sebelum kembali tertidur.
Cakra duduk di tepi ranjang. Ia memandang wajah istrinya yang damai meski tadi menunggunya dalam dingin dan kantuk. Ia mencium keningnya lembut.
“Maaf... Abang selalu membuat mu khawatir,” bisiknya.
Lalu ia berdiri, mengganti bajunya dengan cepat, lalu kembali ke ranjang, membiarkan tubuhnya bersandar di sisi Shifa.
Malam itu, sunyi pun berubah menjadi hangat. Tanpa banyak kata, tanpa banyak peluk, mereka saling tahu: lelah itu lebih ringan saat ditanggung bersama.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf