Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 DBAP
"Kamu jangan memfitnah tanpa bukti," ucap Dito tegas, saat ia melihat Arsen masih diam menunggu jawaban dari Nisa.
Nisa tertawa kecil, hambar. Berusaha kembali ke sikap biasa, seolah semuanya baik-baik saja. Padahal, dia tahu dia sudah kelewat batas. Seharusnya semua ini cukup jadi rahasia antara dirinya dan Naya. Tapi kekesalannya sudah terlalu besar.
Terlebih saat ia bisa menebak jika saat ini Naya sedang sendiri di rumah sakit, sementara Arsen justru duduk santai di restoran ini, hanya memesan kopi, padahal menurut Naya, Arsen adalah sosok pria baik yang katanya membantu sahabatnya itu.
"Ah... iya, aku hanya asal bicara. Si… silakan nikmati kopi pahitnya. Eh, benar ya, di sini chicken kentaki menu best seller, mau coba?" tanya Nisa, mencoba alihkan pembicaraan, meskipun jelas nadanya tak natural.
Tapi Arsen tetap menatapnya tajam. Siapa yang bisa percaya begitu saja pada perubahan sikap yang terlalu cepat?
"Kamu bisa jelaskan maksud ucapanmu tadi? Atau kamu mau kehilangan pekerjaan ini?" tanya Arsen dengan nada datar namun menekan.
Nisa mendesah pelan. "Aku cuma asal bicara, Dokter Arsen. Mau dipecat? Ya, terserah. Aku sih antara butuh dan nggak butuh kerjaan ini. Jadi kalau emang harus keluar, ya aku terima," katanya pelan, tapi matanya menatap lurus, tanpa takut.
Jawaban itu justru membuat Arsen semakin yakin, meskipun ia tidak langsung menunjukkannya.
"Aku mengerti," ucapnya pendek, membuat Nisa mengernyit bingung—apa yang dia pahami?
Dito, yang sejak tadi hanya memperhatikan, buru-buru ikut campur, "Ar, jangan dengarkan dia."
Arsen menoleh sekilas ke arah Dito, lalu menghela napas berat.
"Bodoh." Suaranya pelan, dingin, tapi penuh tekanan.
Dito refleks menoleh ke Nisa. "Aku bilang apa, kamu bodoh!" ucapnya cepat, seolah ingin menunjukkan kalau dia sejak awal sudah benar.
Nisa terkejut, matanya membulat, nyaris ingin membalas. Tapi Arsen langsung memotong, nadanya tajam.
"Dit, aku nggak ngerti… kadang-kadang otakmu itu nggak bisa dipakai di saat yang tepat."
Seketika Dito membeku. Arsen mengeluarkan uang dari sakunya, meletakkannya di meja tanpa berkata lagi, lalu bangkit dan pergi begitu saja.
Dito terpaku, menunjuk dirinya sendiri, "Jadi… barusan itu aku yang bodoh?" gumamnya pelan.
"Siiiiit…"
Nisa menahan tawa, menutup mulutnya, tapi nyaris meledak.
Dito melirik kesal, "Jangan ketawa! Kamu juga bodoh!"
Ia segera berlari mengejar Arsen dengan rasa malunya.
***
Di sisi lain, Zayan kembali menikmati hidupnya yang serba nyaman, seolah dunia berjalan sesuai kehendaknya. Setelah lebih dari sebulan berlibur ke luar negeri bersama kekasihnya—Sonya, menghamburkan sebagian kecil harta orang tuanya, ia kini rebahan santai di sofa rumah, jari-jarinya sibuk membalas pesan-pesan manja dari perempuan itu. Tawa kecil sesekali keluar dari mulutnya, menandakan betapa ringan beban hidupnya saat ini.
Sebagai satu-satunya calon pewaris keluarga Alastair, Zayan tahu persis bagaimana memanfaatkan posisinya. Di hadapan Puput dan Roki—orang tua yang nyaris memujanya tanpa syarat—ia selalu tampil sebagai anak manis, sopan, lembut, dan penurut. Tapi di balik wajah itu, tersembunyi sisi lain yang tak banyak diketahui orang. Sisi manipulatif, egois, dan penuh perhitungan. Sisi yang terbentuk dari limpahan kasih sayang yang buta sejak kecil.
Namun di tengah keasyikannya bersama Sonya, satu nama kembali muncul dan mengusik pikirannya, Naya.
Zayan mendesah panjang, ponsel ia letakkan di atas perutnya. Pandangannya menatap langit-langit, namun pikirannya terbang ke arah lain.
"Zayan, kenapa kamu bisa santai seperti ini? Bagaimana kalau Naya buka mulut ke Paman tentang apa yang sebenarnya terjadi malam itu?" gumamnya lirih.
Ingatannya menyeretnya kembali ke restoran tempo hari—ke momen ketika mata Naya menatapnya dengan penuh kebencian, seolah ingin menelanjangi seluruh topengnya di depan semua orang.
"Aku seperti ini karena ulahmu, Zayan Alastair! Jika ada kehidupan setelah ini, aku berharap tidak akan pernah mengenalmu, apalagi menyukaimu!"
Suara Naya masih terngiang jelas di benaknya. Kalimat itu menusuk, menampar harga dirinya, dan lebih dari itu—meninggalkan rasa takut.
Wajah Zayan yang semula dipenuhi senyum kini berubah pucat. Napasnya mengendur, bahkan ponsel di dadanya nyaris terjatuh.
"Dari temperamennya, dia pasti nggak akan diam. Naya pasti akan cari pembelaan... Argh!" Ia meremas rambutnya sendiri. "Kenapa sih harus nunggu sembilan minggu buat hasil tes DNA?! Dan sekarang Paman mulai kelihatan perhatian banget ke dia. Kalau sampai Paman tahu..."
Zayan bangkit dari sofa. Wajahnya tegang. Pikirannya kacau.
"Kalau sampai Paman tahu aku yang menjebaknya malam itu… habislah aku. Dia pasti paksa aku tanggung jawab."
Kemudian ia tertawa pelan, miris, menertawakan ketakutannya sendiri.
"Tapi anak itu bukan anakku... Nggak mungkin. Meskipun... ya, aku yang bikin Naya seperti ini. Tapi tetap saja, bukan tanggung jawabku. Nggak boleh."
Zayan menunduk, kedua tangannya mengepal erat. Panik mulai merayap pelan, menghimpit logikanya yang mulai retak.
"Aku harus lakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat."
Belum sempat Zayan melangkah dari ruang tamu, suara bel terdengar nyaring, menggema ke seluruh penjuru rumah. Zayan terdiam. Dahinya berkerut. Siapa yang datang malam-malam begini?
Ia melangkah malas menuju pintu, sempat menoleh ke cermin di dinding dan merapikan rambutnya dengan satu sapuan tangan. Namun, begitu pintu terbuka, tubuhnya refleks menegang.
“Paman...?” gumamnya, nyaris tercekat.
“Ke mana kakak?” tanya Arsen, memastikan keadaan. Karena jika Puput atau Roki ada di rumah, sudah pasti Zayan akan melakukan tindakan pembelaan. Arsen sangat mengenal sifat keponakannya itu, tapi ia memilih diam, tidak ingin menciptakan keributan dengan Puput.
“Oh, Ibu sama Ayah lagi keluar. Dinner, biasa, Paman—katanya buat memupuk cinta mereka,” jawab Zayan dengan nada cengengesan. “Masuk, Paman.” Pandangannya beralih ke sosok di belakang. “Itu dokter Dito, ya? Teman Paman? Nggak disuruh masuk?”
“Tidak perlu. Aku ke sini karena ada yang ingin kutanyakan padamu,” ucap Arsen dengan nada dingin dan tatapan tajam.
Zayan menelan ludahnya seketika saat menangkap sorot mata dingin dari sang paman. Sorot yang tak lagi bisa dia baca seperti dulu.
“A... ada apa, Paman?” tanyanya, mencoba terdengar tenang. Tapi nada bergetar di ujung suaranya mengkhianati rasa takut yang mulai merayap.
“Masalah di rumah sakit kemarin belum selesai,” ucap Arsen datar. “Masalah Naya.”
Zayan buru-buru melangkah mundur, seolah ingin menjaga jarak. “Pa... Paman, kalau Paman tidak percaya, aku rela dipukul. Tapi sungguh, aku bukan ayah dari anak yang dikandung Naya. Bukankah Paman sendiri yang menyetujui tes DNA? Kita tinggal tunggu hasilnya, kan?”
Arsen menatapnya dalam diam, pandangannya tak goyah sedikit pun. Sorot mata itu seperti menelanjangi kebohongan yang berusaha Zayan tutupi.
“Hmm... Zayan,” gumam Arsen pelan namun tajam, “aku rasa ada yang tidak beres. Naya terlihat sangat terpukul, tapi juga sangat yakin pada satu hal... dan itu bukan soal anak.”
“Paman, tolong percaya padaku, bukan padanya. Wanita itu hanya ingin memaksaku bertanggung jawab. Dia pasti bicara yang bukan-bukan agar aku tak bisa lepas darinya,” ucap Zayan cepat, kalimatnya terdengar seperti senjata terakhir.
Tapi ekspresi Arsen tetap dingin. Tekanan itu makin kuat, hingga Zayan kalap. Napasnya memburu, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Ia tahu, jika Naya sudah bicara, maka hanya soal waktu sampai semuanya terbongkar.
Dan akhirnya, dengan suara tercekat, Zayan membuka mulut. “Paman... aku akui. Aku memang yang memberikan minuman itu. Tapi aku bersumpah, aku tidak pernah menyentuh Naya. Anak itu... bukan anakku. Aku tidak pernah menyentuhnya.”
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih