Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32 - Kencan pertama.
Steve datang menjemputku di saat jam tepat menunjukkan pukul tujuh malam. Karena terlalu bersemangat, ia sampai lupa kalau orang tuaku juga ada di dalam rumah sekarang. Untung saja mereka semua tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Mom sedang mencuci piring di dapur sementara Dad masih asyik membersihkan stik golf yang akan ia gunakan untuk olahraga favoritnya ketika menjelang musim semi nanti.
Sebenarnya, tadi sore Dad sempat bertanya padaku: Siapa yang mengajakmu pergi nonton bioskop malam ini?
Aku langsung menjawab pertanyaannya detik itu juga. Namun, ia malah menunjukkan respon curiga ketika aku menyebutkan kata teman. Hei, apa yang salah? Steve memanglah temanku, cuma teman biasa. Bukan teman kencan, apalagi pacar. Jadi, tidak ada yang patut dicurigai, oke?
Sebelum kecurigaannya itu menular pada Mom, aku pun cepat-cepat turun ke bawah. Pintu depan masih terkunci rapat. Rupanya, cowok itu paham dengan maksudku—isyarat menempatkan jari telunjuk di bibir—waktu aku melihatnya datang dari jendela kamarku yang berada di lantai dua.
“Mom, Dad, aku pergi dulu!” pamitku seraya memasukkan ponsel ke dalam tas berkelir salem yang kudapatkan waktu liburan musim panas kemarin.
Mom menyahut dari dapur. “Ya, tapi ingat ... jangan pulang terlalu larut malam. Kau tahu ayahmu pasti akan menyusul kalau kau sampai pulang terlambat.”
“Yeah! Aku akan kembali tepat waktu,” balasku meyakinkan.
“Well, jangan lupa juga pastikan ponselmu tetap menyala!” sambung Dad. Suaranya terdengar samar-samar lantaran ia kini sedang berada di gudang belakang, dekat tangga basement.
Aku memutar bola mata dan mengiyakan pesannya. Lalu, menutup pintu kembali.
Di depan rumah yang berarsitektur kontemporer ini, Steve terlihat sudah menungguku dengan gaya casual-nya yang selalu terkesan modis. Mobil sport mewahnya tampak terparkir manis di tepi jalan yang sama lebarnya dengan kaki melangkah. Mobil itu seperti baru keluar dari showroom. Benar-benar mulus dan juga mengkilap menyilaukan mata.
“Maaf, kalau aku sudah membuatmu menunggu lama. Kuharap kau bisa maklum,” kataku berusaha mengapresiasi kesabarannya.
“Ya, tidak masalah. Kau tidak perlu meminta maaf padaku. Lagi pula, kita masih punya cukup banyak waktu malam ini,” balasnya dengan wajah berseri-seri. Ia kemudian membukakan pintu mobilnya, mempersilakanku masuk.
Hawa sejuk nan disertai harum semerbak pun langsung merambah keluar memanjakan rongga hidungku. Aku berdecak kagum melihat warna cokelat elegan yang mendominasi kabin mobil ini. Sandaran jok berbahan kulitnya juga sungguh terasa empuk. Mungkin lebih empuk daripada kasurku sendiri.
Steve lalu menyusul masuk dan segera menyalakan mesin mobilnya. Suara gerungan yang biasa kudengar ketika Dad menonton siaran balapan di televisi ternyata memanglah sekeren itu.
“Jadi, sekarang kita akan pergi ke mana dulu?” tanyaku menginginkan kepastian. Cowok berambut cokelat keemasan ini tadinya menyebutkan dua lokasi yang hendak kami kunjungi—bioskop dan tempat makan.
“Sepertinya, aku lupa memberitahumu kalau kita memiliki satu rencana tambahan.”
“Rencana tambahan? Kau ingin mengajakku pergi ke mana lagi? Kupikir nonton bioskop dan makan malam saja sudah cukup. Kita tidak bisa pulang sampai larut malam dan kau juga tahu itu.”
“Ya, aku mengerti maksudmu. Tapi, kurasa kau tidak perlu khawatir karena ini tidak akan memakan waktu lama,” balasnya. “So, apa kau masih keberatan?”
Aku memandang ke luar jendela sambil menghela napas ringan. “Terserah kau saja. Kalau menurutmu memang begitu, apa boleh buat.”
Steve tersenyum padaku. Aku paham betapa girangnya cowok itu saat ini. Jelas sekali dari gestur tubuhnya yang tampak bersemangat bak habis menenggak sekardus kaleng energy drink sekaligus.
Selama dalam perjalanan, kami ditemani oleh alunan musik R&B yang diputar secara bergantian dengan musik Jazz kesukaannya. Selera kami agak berbeda. Aku lebih menyukai lagu Pop Asia Timur yang sekarang tengah ramai digandrungi oleh banyak kalangan, termasuk aku serta para remaja Amerika lainnya.
Tak lama setelah musik-musik tadi selesai diputar, sebuah bangunan bertajuk Royale dengan pelataran parkir yang terisi penuh mulai tersorot jelas oleh kedua pupil mataku. Lampu warna-warni yang memercik keluar dari celah-celah jendela membuatku terkesiap melihatnya. Meskipun belum pernah masuk ke sana, aku tahu betul tempat macam apa itu. Steve langsung berganti haluan, memarkirkan mobilnya di samping Jeep Wrangler.
“Tunggu, kenapa kau malah membawaku kemari?” protesku panik.
“Ada apa?” tanyanya heran karena melihat reaksiku yang mendadak gelisah. “Aku sedang berusaha menepati janjiku. Kau sendiri yang bilang kalau aku harus menepatinya, bukan?”
Sudut mataku berkerut. “Tapi kenapa harus di sini? Aku takkan segan-segan untuk menelepon polisi kalau kau berani macam-macam denganku, Steve!” ancamku.
Ia terkekeh dan malah menganggap peringatanku tadi sebagai lelucon. “Aku suka selera humormu, Kathleen. Bagus sekali ....”
“Hei, aku tidak main-main! Kau pikir ini lucu?” balasku dengan wajah merah padam.
Cowok itu melepaskan sabuk pengamannya dan tidak mengindahkan kata-kataku lagi. Alih-alih mengajak berkencan, ia malah membawaku ke klub malam—salah satu tempat yang paling enggan kudatangi. Dad bisa membunuhku jika ia tahu kalau sekarang aku ada di sini bersama seorang cowok.
“Kau tidak mau turun? Apa aku harus menggendongmu dulu agar kita berdua bisa segera masuk ke dalam?” Ia memberikan senyuman nakal.
“Tidak usah. Terima kasih! Aku bisa sendiri,” jawabku ketus seraya bergegas melangkah keluar sebelum ia betul-betul nekat menggendongku.
Sungguh menjengkelkan! Kupastikan ini adalah kali pertama dan terakhirku berkencan dengannya.
Embusan angin langsung membelai lembut sekitaran wajahku ketika kami menginjakkan kaki di kawasan parkir yang terbilang cukup luas. Aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Sebongkah pintu putar otomatis berukuran raksasa yang terbuat dari kaca terlihat begitu solid menghadap jalan raya.
Bagiku, berada di tempat liar seperti ini adalah hal yang tabu. Mom dan Dad sudah secara gamblang melarangku untuk masuk ke sana sebelum usiaku genap dua puluh tahun. Ditambah lagi, aku juga memang tidak menyukai tempat ini. Dentuman suara musik menghentak dan bau alkohol yang menyengat membuat kepalaku jadi pening seketika.
Steve berjalan mendahuluiku ke meja bar untuk memesan minuman. “Kau tenang saja. Kita tidak akan menghabiskan waktu semalaman di sini,” katanya yang masih berusaha menghentikan kekhawatiranku. “Ayo, Kathleen. Duduklah! Kau menghalangi pintu masuk.”
Aku memicingkan mata kemudian meraba benda-benda yang ada di sekitarku dengan ekstra hati-hati. Tempat ini sangat minim pencahayaan. Hanya ada lampu merah biru keunguan yang berkelap-kelip tak beraturan.
“Apa kau sering membawa wanita lain bersenang-senang di tempat seperti ini?” tanyaku dengan sangat polosnya.
Ia menggeleng. “Tidak. Tempat ini kurang menyenangkan.”
“Lalu?”
“Hotel bintang lima di seberang jauh lebih menyenangkan.”
Aku menelan ludah sembari mencengkeram pahaku dengan panik. Bulu kudukku langsung meremang. Cowok ini memanglah sudah tidak waras!
“Daripada mengajakku kemari, bagaimana kalau kita pergi ke psikiater saja sekarang? Aku akan dengan sangat senang hati menemanimu di sana sampai kau benar-benar sehat, Steve!” anjurku yang diikuti sekelumit sindiran.
Ia tertawa lepas. “Aku hanya bercanda, Baby. Percayalah, aku tidak senakal itu.”
“Puft! Entahlah, yang kau katakan sebelumnya terdengar lebih masuk akal. Seperti ... sebuah pengakuan,” sahutku bersikap skeptis.
“Oh, yeah?” Cowok bermata biru safir ini mencondongkan badannya ke depan. Kemudian, melirik ke arah pintu masuk dan mendengkus. “Lihatlah, ternyata bocah itu datang tepat waktu.”
Aku memutar badan ke belakang dan mendapati William yang berdiri mematung di pojok ruangan. Mata kelabunya berkilat menatapku dan Steve dengan sorot penuh pertanyaan. Semoga saja ia tidak berpikir yang aneh-aneh tentang pemandangan ini.
Ia lalu menarik langkahnya mendekati kami. “Aku tidak ingin mengganggu waktu kalian dengan berlama-lama di sini,” ucapnya bernada datar.
Steve beranjak dari tempat duduknya dan menyuguhkan segelas minuman yang barusan ia beli. “Bersabarlah sedikit. Kenapa sih kau selalu buru-buru? Paling tidak duduk dan cicipilah satu menu favorit di sini bersama kami.”
Will melengos. “Kau saja. Aku tidak minum.”
“Hei, ayolah. Jangan berlebihan. Yang kupesan ini cuma segelas minuman bersoda biasa. Aku tidak mungkin minum minuman beralkohol karena harus membawa kendaraan dan juga dua nyawa sekaligus. Benar begitu, Kathleen?”
Aku menganggukkan kepala, membenarkan ucapannya. Kulihat dari sudut lain ada seorang wanita berumur kurang lebih 23 tahunan jalan terhuyung-huyung menghampiri kami. Saking mabuknya, ia hampir saja menabrak bartender yang sedang ripuh menyiapkan beberapa minuman cocktail di gelas khusus.
“Hai, Steve!” sapanya sembari meringis pelan. “Ada keperluan apa kau sampai tiba-tiba ingin menemuiku di sini?”
Aku beringsut mundur dan menutup hidungku karena tidak tahan dengan bau alkohol yang tersembul dari mulutnya. Melihat responku, wanita itu pun langsung mengendus gaun pendek yang dikenakannya.
“Ah, sori. Pasti aroma tubuhku ini sangat mengganggumu,” ujarnya dengan mata yang terkantuk-kantuk. Pelafalan kalimatnya juga kurang jelas, seperti orang sedang berkumur.
“Dia siapa, Steve?” Aku berbisik pelan.
“Sepupuku.”
“Oh, kukira pacar barumu.”
Ia mendelik. “No! Aku tidak mungkin selingkuh darimu, Baby.”
“Huh? Halusinasimu itu terlalu berlebihan! Berhentilah memanggilku baby. Kau membuatku geli.”
“Lalu aku harus memanggilmu apa? Darling?”
Aku melotot. “Silakan! Coba saja panggil sebutan konyol itu di depan ayahku. Setelah itu jangan lupa siapkan asuransi jiwamu juga karena dia pasti akan langsung melayangkan kepalan tinjunya ke wajahmu.”
“Wow! Kau benar. Itu berbahaya. Ketampananku bisa berkurang nantinya.”
Kuhembuskan napasku keras-keras. “Kau terlalu narsis!” Lalu, melirik William yang kelihatannya sudah muak dengan semua obrolan tak berguna ini.
“Come on, Guys! Kalian dari tadi malah mengabaikanku. Aku masih ingin berpesta bersama teman-temanku di dalam.” Wanita itu menggerutu.
“Well, tunggu sebentar, Nancy. Aku datang kemari karena ingin menanyakan tentang liontin yang pernah kutitipkan padamu tempo lalu. Apa kau masih ingat?” lanjut Steve bertanya.
“Liontin?” Kedua alisnya terangkat dan saling bertautan. “Ah, liontin kristal yang kau berikan padaku? Ya, tentu saja aku masih mengingatnya. Liontin itu sangat cantik. Aku benar-benar menyukainya.”
“Tapi, aku minta maaf. Sepertinya kau tidak bisa memiliki benda itu lagi karena aku harus mengembalikan kepada pemiliknya sekarang.”
“Uh, sayang sekali ....” Ia mengerucutkan bibir tebalnya yang berona merah cabai. “Apa kau tidak bisa membujuk pemiliknya agar memberikan liontin itu padaku? Aku pasti akan membayar berapa pun yang dia minta asalkan aku masih tetap bisa memilikinya.”
Mendengar hal tersebut, Will pun langsung melangkah maju. “TIDAK! Aku sama sekali tidak berniat menjualnya pada siapa pun,” tukasnya dengan mata membelalak lebar.