Sinopsis "Alien Dari Langit"
Zack adalah makhluk luar angkasa yang telah hidup selama ratusan tahun. Ia telah berkali-kali mengganti identitasnya untuk beradaptasi dengan dunia manusia. Kini, ia menjalani kehidupan sebagai seorang dokter muda berbakat berusia 28 tahun di sebuah rumah sakit ternama.
Namun, kehidupannya yang tenang berubah ketika ia bertemu dengan seorang pasien—seorang gadis kelas 3 SMA yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Gadis itu, yang awalnya hanya pasien biasa, mulai tertarik pada Zack. Dengan caranya sendiri, ia berusaha mendekati dokter misterius itu, tanpa mengetahui rahasia besar yang tersembunyi di balik sosok pria tampan tersebut.
Sementara itu, Zack mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—ketertarikan yang berbeda terhadap manusia. Di antara batas identitasnya sebagai makhluk luar angkasa dan kehidupan fana di bumi, Zack dihadapkan pada pilihan sulit: tetap menjalani perannya sebagai manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MZI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Pertemuan Selanjutnya
Keesokan harinya, Elly masih merasa panik. Seluruh tubuhnya terasa lemas, dan kepalanya penuh dengan bayangan betapa cemasnya dia menghadapi pertemuan mendatang dengan Zack. Ibunya semakin bersemangat, dan ayahnya kini semakin penasaran. Semua ini semakin membuat Elly merasa terperangkap.
Malam itu, saat makan malam, Elly berusaha untuk tetap tenang. Namun, tatapan kedua orang tuanya yang tak bisa dibohongi membuatnya semakin gelisah.
Ting tong!
Bel pintu berbunyi, dan Elly hampir menjatuhkan sendok yang dipegangnya. Ibunya langsung berdiri, wajahnya berseri-seri. “Itu pasti Zack,” kata ibunya, dengan nada yang sangat menggoda.
Elly menatap pintu, merasa seolah-olah waktunya untuk menghadapi mimpi buruk itu sudah tiba. Dengan langkah terpaksa, dia berjalan menuju pintu.
Saat pintu dibuka, di depan mereka berdiri Zack yang tampak seperti biasa—tenang, bahkan agak cuek, mengenakan pakaian kasual yang nyaman. Elly bisa melihat senyum tipis di wajahnya, yang seakan mengatakan dia tahu betapa cemasnya Elly.
“Selamat malam, Bu,” sapa Zack dengan suara rendah namun sopan.
Ibunya menyambutnya dengan antusias. “Selamat datang, Zack! Ayo masuk!”
Zack masuk ke dalam rumah, dan Elly hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong. Rasanya seperti berlari di atas pasir yang bergerak, di mana setiap langkah membawanya ke dalam jurang yang lebih dalam.
Elly menunggu di meja makan, mencoba untuk tidak tampak cemas. Zack duduk di seberangnya, tenang seolah-olah tidak ada yang luar biasa terjadi.
Ayah Elly yang biasanya lebih pendiam, kini menatap Zack dengan seksama. “Jadi, anak ini temanmu, Elly?” tanyanya sambil memandangi Zack.
Zack mengangguk. “Iya, Pak. Kami sekelas.”
Ibunya langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Elly hampir terjatuh dari kursinya. “Jadi, Zack, kau suka Elly?”
Elly hampir menjerit. "Ibu! Kenapa langsung tanya begitu sih?!"
Zack tersenyum kecil, dan Elly bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Zack tetap tenang. “Kami hanya teman, Bu. Tidak lebih dari itu.”
Elly ingin menghela napas lega, tetapi ibunya malah tidak berhenti bertanya. “Apa yang menarik dari Elly? Apa yang membuatmu begitu perhatian padanya?”
Zack menatap Elly sejenak sebelum menjawab, “Elly selalu membuat hari-hariku lebih berwarna. Tidak banyak orang yang bisa mengubah rutinitasku seperti dia.”
Elly merasa wajahnya memerah. Apakah Zack baru saja memberikan pujian seperti itu? Mengapa dia bisa begitu tenang?
Ayah Elly menyeringai. “Tentu saja, Elly punya kemampuan untuk membuat orang lain tertarik padanya.”
Elly hampir ingin melarikan diri ke kamar. Begitu banyak komentar dan pertanyaan yang mengarah kepadanya, membuatnya merasa seperti pusat perhatian yang tidak diinginkan.
Selama makan malam, Zack sepertinya menikmati suasana yang tercipta. Dia berbicara dengan penuh rasa humor, terkadang mengolok-olok Elly dengan hal-hal kecil yang hanya mereka berdua mengerti. Setiap kali ia berkata sesuatu yang memalukan tentang Elly, ibunya tertawa terbahak-bahak, sementara Elly hanya bisa menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan.
Di sisi lain, ayah Elly tampaknya semakin tertarik. “Zack, kalau kau betul teman Elly, pasti kau tahu hal-hal lain tentangnya, kan?” tanya ayahnya dengan nada serius.
Zack menjawab dengan tenang. “Tentu, Pak. Elly kadang agak pelupa, seperti waktu dia ke perpustakaan dan dia membawa bukunya ke toilet. Tapi dia juga orang yang selalu bisa diandalkan.”
Elly langsung memukul meja. “Zack, itu tidak lucu!”
Ibunya tertawa. “Oh, ini semakin menarik! Cerita-cerita lucu seperti ini yang membuat Elly begitu spesial.”
Malam itu, Elly merasa seperti seseorang yang sedang diseret ke pusat perhatian. Setiap pertanyaan dari orang tuanya hanya semakin memperburuk situasi. Dan Zack, dengan ketenangannya, semakin membuat Elly merasa seperti orang yang tidak bisa keluar dari perangkap ini.
---
Akhirnya, setelah makan malam selesai, Zack berpamitan dengan sopan. “Terima kasih atas makan malamnya, Pak dan Bu. Saya permisi dulu.”
Elly menghela napas panjang saat pintu ditutup, tetapi itu belum berakhir. Ibunya menatapnya dengan senyum penuh arti. “Kau lihat, kan? Zack itu anak yang baik. Aku suka dia.”
Elly menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku bisa mati karena malu…”
Ayah Elly hanya mengangkat alis. “Aku ingin melihat anak ini lebih jauh. Jangan-jangan, dia benar-benar cocok dengan Elly.”
Elly ingin berteriak. “TIDAK ADA YANG COCOK! Dia cuma teman!”
Namun ibunya malah tertawa puas. “Kalau begitu, aku akan mengundangnya lagi. Minggu depan.”
Elly hampir pingsan mendengarnya.
---
Elly merasa seluruh dunia berkonspirasi melawannya. Bagaimana mungkin ibunya bisa seantusias ini? Kenapa Zack harus datang ke rumahnya? Dan yang lebih parah lagi—kenapa dia seolah-olah menikmati situasi ini?
Malam itu, setelah memastikan pintu kamarnya terkunci, Elly merebahkan diri di atas tempat tidur dan memeluk bantal dengan frustasi.
“Aku tidak bisa hidup seperti ini…” gumamnya, menatap langit-langit.
Bayangan makan malam tadi kembali berputar di kepalanya. Tatapan Zack yang santai, cara dia menjawab pertanyaan ibunya dengan mudah, serta… pujiannya yang membuat pipinya masih terasa panas.
"Elly selalu membuat hari-hariku lebih berwarna."
Elly menggigit bibir. Apa maksud Zack dengan mengatakan itu? Apa dia hanya asal bicara agar orang tuanya senang? Atau—tidak! Jangan pikirkan hal-hal aneh!
Dia menepuk-nepuk pipinya sendiri. "Sudahlah, Elly! Dia hanya teman. Teman yang sangat menyebalkan!"
Tapi tetap saja, rasa malu tidak bisa hilang begitu saja.
---
Keesokan harinya, di sekolah, Elly sengaja datang lebih awal dan mencari Rina. Begitu menemukannya di depan kelas, dia langsung menarik lengan sahabatnya ke sudut yang lebih sepi.
Rina mengerjap. "Eh? Ada apa, Elly? Kenapa wajahmu kayak tomat?"
Elly menghela napas panjang. "Zack datang ke rumahku tadi malam."
Rina langsung terbelalak. "APA?! BAGAIMANA BISA?!"
"IBUku mengundangnya!" Elly nyaris berteriak. "Dan yang lebih buruk, mereka menginterogasi dia seolah-olah dia calon menantu!"
Rina langsung menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa. "Astaga! Ini terlalu bagus! Aku bisa bayangkan betapa malunya kau!"
Elly merintih. "Ini tidak lucu, Rin! Aku benar-benar malu! Ibu bertanya apakah Zack menyukaiku! Di depan AYAH!"
Rina akhirnya tertawa terbahak-bahak. "Dan bagaimana reaksinya?"
"Dia dengan santai bilang kami cuma teman," gumam Elly, masih merasa frustasi.
Rina tersenyum jahil. "Tapi itu belum tentu artinya dia tidak tertarik, kan?"
Elly menatapnya tajam. "Jangan mulai, Rina!"
Rina hanya mengangkat bahu. "Aku hanya bilang, Zack itu sulit ditebak. Dan dari cara kau panik seperti ini… aku rasa kau mulai memikirkannya lebih dari yang seharusnya?"
Elly membelalakkan mata. "T-Tidak mungkin! Aku cuma panik karena orang tuaku terlalu berlebihan!"
Tapi Rina tidak tampak percaya. "Yakin?"
Elly langsung memalingkan wajah, sementara Rina tersenyum penuh kemenangan.
Tiba-tiba, suara familiar terdengar dari belakang mereka.
"Kalian sedang membicarakanku?"
Elly dan Rina menoleh bersamaan. Zack berdiri di sana dengan ekspresi santainya, tangan dimasukkan ke dalam saku, dan senyum kecil di wajahnya.
Elly langsung tersentak. "Z-Zack?! Sejak kapan kau di sana?"
Zack mengangkat bahu. "Cukup lama untuk mendengar namaku disebut-sebut."
Elly merasa ingin menghilang ke dalam tanah.
Rina hanya terkikik. "Kami sedang membahas kunjunganmu ke rumah Elly tadi malam."
Zack menatap Elly, matanya menyipit sedikit dengan ekspresi main-main. "Oh? Jadi kau begitu terganggu dengan kehadiranku?"
Elly mengepalkan tangannya. "Kau! Kenapa kau begitu santai?! Mereka menginterogasimu, tahu?!"
Zack tersenyum samar. "Aku sudah sering menghadapi situasi lebih buruk dari itu."
Elly mendecak. "Kau benar-benar menyebalkan…"
Zack mencondongkan tubuh sedikit ke arahnya. "Tapi kau tetap tidak bisa berhenti membicarakanku, kan?"
Wajah Elly semakin merah. Rina tertawa keras di sampingnya.
Elly hanya bisa mengutuk dalam hati.
---
Elly ingin melarikan diri. Tidak, dia ingin hilang saja dari dunia ini! Bagaimana bisa Zack datang di saat yang paling tidak tepat?!
Rina masih tertawa sambil menepuk bahu Elly. "Jadi, Zack, gimana rasanya makan malam dengan calon mertu—"
"RINA!" Elly langsung menutup mulut sahabatnya sebelum kalimat itu selesai. Tapi terlambat, Zack sudah mendengar semuanya.
Dan yang lebih buruk—dia tersenyum.
SENYUM ITU.
Senyum yang membuat Elly langsung tahu bahwa Zack tidak akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja.
"Calon mertua, ya?" Zack mengangkat alis, tatapannya mengarah ke Elly yang masih panik. "Aku suka kedengarannya."
Elly hampir tersedak udara. "KAU SUKA APA?!"
Zack tetap memasang ekspresi santainya. "Ya, kan aku harus sering-sering datang ke rumah calon istriku. Supaya lebih akrab dengan keluarganya."
Elly ingin menampar meja, tapi mereka sedang berdiri di luar kelas. "ZACK! Hentikan omong kosongmu!"
Tapi bukannya berhenti, Zack malah menambahkan, "Lagipula, orang tuamu sangat ramah. Aku merasa sangat disambut. Mungkin aku harus datang setiap minggu?"
Elly hampir roboh. "TIDAK! Tidak boleh! Jangan datang lagi!"
Tapi Zack malah mengangguk santai, seolah-olah Elly baru saja memberinya izin. "Baiklah, kalau begitu, setiap hari Minggu aku akan mampir. Aku juga bisa membawa hadiah kecil untuk calon mertuaku."
Elly sudah kehabisan napas. "KAU TIDAK DIIIZIN—"
Tapi sebelum Elly bisa menyelesaikan protesnya, suara kecil terdengar di samping mereka.
"Ehem… Aku…"
Elly menoleh.
Rina.
Dan yang mengejutkan—sahabatnya itu terlihat SALTING!
Pipi Rina sedikit merah, dan dia berpura-pura batuk, mengalihkan pandangan ke mana-mana seperti seseorang yang baru saja dikejutkan oleh momen romantis.
Elly mengerutkan kening. "Lah, Rina? Kok KAMU yang salting?!"
Rina langsung menoleh dengan ekspresi panik. "Eh? A-aku?! Enggak, enggak! Aku cuma… udara di sini agak panas ya?"
Elly memicingkan mata. "Tunggu… kau beneran—"
Tapi sebelum dia bisa menginterogasi sahabatnya, Zack malah menambahkan dengan senyum jahil, "Ah, jadi Rina juga mendukung aku jadi calon suami Elly?"
Rina yang tadi masih berusaha santai, langsung memegangi wajahnya sendiri. "Aduh, aku… aku jadi ikutan malu!"
Elly nyaris menjerit. "RINA! SEJAK KAPAN KAU ADA DI PIHAKNYA?!"
Rina langsung menggeleng dengan cepat. "T-tidak! Aku cuma… uh, ya… ehehehe…"
Zack tampak sangat menikmati kekacauan ini. "Kalau kau juga mendukungku, Rina, mungkin kau bisa bantu aku membujuk Elly?"
Elly menatap Zack dengan penuh kemarahan. "KAU! JANGAN MENJERUMUSKAN SAHABATKU!"
Zack hanya mengangkat bahu santai. "Terlambat, kayaknya dia sudah setuju."
Rina yang masih menutupi wajah dengan kedua tangan hanya bisa tertawa canggung. "Aduh… ya, kan Zack baik… dan dia cocok sama Elly… ehehe…"
Elly langsung menutup wajahnya sendiri.
Hidupnya resmi hancur.
Bersambung...