Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Dengan cara ini baru adil. Nggak ada yang menguasai tanah di depan."
"Iya, Bang. Hasilnya juga dibagi rata, jadi nggak ada yang dirugikan." senyum kepuasan tergambar di wajah Mumu dan Edi.
Semua karena mereka tidak menginginkan Iman yang menempati tanah paling depan. Untuk menukar atau meminta Iman pindah dari sana tentu saja mereka tidak bisa, karena itu akan ditentang keras oleh Hasby yang mengakui itu memang hak Iman.
Mereka takut pada Hasby. Kalau mereka menjual semua tanah ini, Hasby tidak dapat melarang mereka karena tidak ada bagian Hasby di dalamnya.
Tiba - tiba Nisa merasa sedih.
"Tapi ini peninggalan Nyak, Pah. Tempat Kamu lahir dan dibesarkan. Apa Kamu nggak sayang? Apa Kamu nggak nyesel nantinya?" cecar Nisa.
"Mau bagaimana lagi kalau semuanya sudah setuju?"
"Teh Yanah juga?"
"Ya."
Iman mengangguk.
"Kok Teh Yana bisa setuju? Bukannya kemarin Dia.."
"Bang Mumu dan Bang Edi berjanji akan membagi hasil penjualannya sama rata. Jadi Teh Yanah akan mendapatkan bagian yang sama."
Jadi karena itu. Kembali Nisa tidak habis pikir. Ia yang hanya menantu keluarga ini begitu menghargai tanah ini. Begitu mencintainya bahkan. Tapi mereka anak - anaknya justru ingin menjual tanah yang diwariskan orang tua mereka, bukan tanah yang mereka beli sendiri.
Nisa langsung menangis tersedu sedu.
"Kalian sama sekali nggak menghargai nilai sejarah tanah ini, Pah."
"Mau bagaimana lagi, Mah?"
"Emang Kita nggak bisa nolak, Pah?"
"Nggak bisa, Mah. Tanah Kita paling depan soalnya. Kalau Kita nggak mau jual, harga tanah mereka jadi sangat murah."
"Kita yang pindah ke belakang, kalau mereka mau jual tanah."
"Terus Kita mau jalan lewat mana?" Nisa terdiam. Airmatanya masih mengalir dengan deras. Ia mengingat ucapan Yanah yang dulu itu.
"Aku nggak bakal jual tanah peninggalan Nyak! Sampai kapanpun!"
Tapi sekarang..
Hanya karena pembagian yang sama rata? Jadi hanya karena itu?
Di rumah Yanah yang terletak paling belakang, Ijay tertawa terbahak bahak.
"Bener kan taktikku, Mah?"
Yanah mengangguk senang. Dulu Ijay memintanya untuk 'pura - pura' tidak ingin menjual tanah ini.
"Kalau waktu itu Kamu langsung setuju, Kamu cuma dapat setengah dari mereka!" Nyak dulu pernah bilang, anak laki - laki mendapat 2 bagian dan perempuan 1 bagian. Ia mengikuti hukum agama dalam membagi warisan. Menurut Ijay, itu sangat merugikan.
"Iya, Pah. Papah memang licik!"
Ijay berhenti tertawa. Ia menautkan alisnya.
"Kamu kok ngatain Aku licik, sih?" Ijay mendengus tanda tak terima. Menurutnya ia tidaklah jahat.
"Yang pinter taktiknya itu namanya apa?"
"Cerdik?!"
"Nah, itu. Aku kepeleset ngomongnya, Pah. Sama - sama ik." Yanah tertawa. Ijay kembali tertawa.
'Kamu emangnya licik, Pah. Selalu punya siasat jahat. Terutama sama Iman.' Yanah mengumpat dalam hatinya.
"Udah ada yang mau tanahnya, 'kan?"
Yanah mengangguk.
"Kata Bang Mumu sih begitu. Harganya masih nego."
Ijay mengangguk angguk senang. Dalam bayangannya sudah terbayang tumpukan uang yang sangat banyak.
"Sekarang Kita harus cari - cari rumah untuk tempat tinggal Kita yang baru, Mah."
"Ngapain buru - buru sih, Pah? Tanahnya juga belum terjual."
"Kalau nanti - nanti Kita jadi terburu - buru malah. Dapatnya nggak sesuai harapan." Ijay berkilah. Yanah mengangguk setuju.
"Kita cari deket rumah Tika, ya?" Tika baru saja menikah dan mengikuti suaminya.
"Boleh. Kita cari deket - deket Tika." Kini Ijay yang mengangguk setuju.
*********
Harapan Iman untuk membeli tanah empang bang Hasby sepertinya akan menjadi kenyataan.
"Kamu sekalian beli tanah di sini aja, Man. Biar nemenin Abang." tanah bang Hasby sangat luas. Berikut empang yang digunakan Iman, masih banyak tanah kosong yang membentang.
"Iya, Bang." angguk Iman patuh.
Nisa juga setuju saat Iman memberitahu tentang rencananya membeli tanah bang Hasby tepat di dekat empang.
"Kita jadi dekat sama pemancingan Kita." Iman dan Nisa kembali mempunyai harapan. Mereka akan memiliki tanah mereka sendiri. Tidak ada lagi yang akan menyebutnya tanah bersama.
"Alhamdulillah.." bisik Nisa. Ia mengira holdup mereka akan jauh dari masalah setelah keluarga mereka terpisah.
Yanah ingin mendekati Tika di daerah selatan, Edi ingin mencari tempat di daerah Timur dan Mumu akan mengikuti Edi.
Setahun kemudian...
"Tanahnya laku!" teriak Yanah. Ia berlari ke rumah Iman untuk memberitahu.
"Beneran, Teh?" tanya Iman antusias.
"Ada apa, Wak?" Nino yang baru pulang kuliah merasa heran melihat kehebohan Uwaknya.
"Nino! Kita akan pindah dari sini!"
"Pindah? Pindah kemana, Wak?" Deni yang sudah kelas 1 SMP merasa tidak senang. Ia betah di sini. Temannya banyak.
"Nanti rumah Kamu bagus, besar.. Nggak jelek kayak rumah Kamu sekarang ini." Yanah mendecih.
"Bener, Mah?" Deni menoleh pada Nisa yang dari tadi hanya diam.
Nisa tidak tau harus menjawab apa selain menganggukkan kepalanya.
"Laku berapa, Teh?" tanya Iman.
"Makanya Kamu ke sana. Kamu dipanggil bang Mumu."
Yanah dan Iman bergegas keluar.
Nisa diam merenung. Ia tidak tahu harus sedih atau bersyukur.
Sedih karena akhirnya ia akan merasa kehilangan. Di sini tempat ia pertama kali memadu kasih dengan Iman. Di sini tempat ia mengurus anak - anak mereka. Di sini..
"Aah.." Nisa mendesah. Tidak dipungkiri ia juga merasa lega. Akhirnya keinginannya untuk berpisah dengan saudara - saudara Iman itu akan segera menjadi kenyataan.
"Dekat dengan Bang Hasby aja." Ia tersenyum membayangkan hari - hari penuh kedamaian.
"Mah, kok Deni tanya nggak di jawab - jawab, sih?" dumel Deni. Doni juga menatapnya dengan mats bulatnya.
"Kita mau pindah kemana, Mah?"
Nisa tersenyum.
"Ayo duduk dulu." Nisa mengajak anak - anaknya untuk duduk.
"Kita mau pindah ke dekat empang." terang Nisa. Mata Deni membelalak.
"Asyik!" teriaknya senang. Ia memang sangat senang bermain di empang. Di sana ia juga banyak teman. Deni ini anak Nisa dan Iman yang paling gaul.
Doni ikut bersorak. Ia juga senang bermain di sana. Apalagi dekat dengan Hasby, uwak yang menurutnya paling baik karena sering memberinya uang jajan.
Nino hanya tertawa melihat kegembiraan adik - adiknya.
"Bagaimana, Pah?" tanya Nisa saat Iman sudah kembali ke rumah.
Iman memeluk Nisa.
"Mudah - mudahan setelah ini Kita nggak punya masalah lagi."
"Aamin." jawab Nisa seraya membalas pelukan suaminya.
Mamah sama Papah pacaran!" teriak Doni.
Hahaha..!
Kebahagian hanya singgah sebentar saja.
Tanpa dapat diduga sebelumnya,..
"Aku mau beli tanah Abang aja." begitu yang Mumu katakan.
"Aku juga." balas Edi.
Iman mengerutkan dahinya.
"Bukannya kalian mau cari yang di timur, ya?"
"Emang kenapa kalau Aku mau beli punya Abang aja?"
"Ya.. Nggak papa, sih?"
"Nggak boleh? Apa hak Kamu ngelarang - larang?"
"Siapa yang ngelarang sih, Bang?"
"Kenapa coba, nanya - nanya begitu?!" Mumu menyipitkan matanya. Telunjuknya diacungkan ke wajah Iman.
"Lah, Aku 'kan cuma nanya?" sergah Iman kesal. Beneran ngeselin mereka ini.
Mereka sendiri yang bilang akan mencar Rumah di daerah Timur, kok jadi berubah gitu? Mereka ingin membeli tanah bang Hasby juga? Kumpul lagi, dong?
******