Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.
Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Penyitaan
Luzern, Swiss – 03.17 dini hari
Hujan rintik jatuh membasahi jendela apartemen kecil itu. Di dalam, Natalie terduduk di sofa dengan wajah pucat, tangan gemetar memegangi liontin berpendar biru yang tergantung di lehernya.
"Eric," bisiknya, nyaris tak terdengar. "Aku rasa… kita seharusnya tidak mengunggah video itu."
Suaminya mendekat dari dapur, wajah tegang, masih mengenakan kaus lusuh dan celana tidur. "Komentarnya udah ribuan, Nat. Lihat ini…" Ia menunjukkan ponsel—ada email, pesan, dan notifikasi dari akun asing. Beberapa menawarkan uang, lainnya cuma kalimat ancaman yang bikin merinding.
Natalie menggeleng cepat. "Bukan cuma itu… Sejak video itu viral, aku merasa diawasi."
Suara ketukan keras membuat mereka sama-sama terlonjak.
Duk! Duk! Duk!
Mereka saling pandang. Ketukan lagi. Lebih keras.
"Aku yang buka," gumam Eric, menelan ludah.
Di balik pintu, dua pria berseragam berdiri. Satu dengan jas panjang hitam, satunya mengenakan rompi bertuliskan POLIZEI. Serius dan tanpa basa-basi.
"Ny. Natalie Hofmann?" tanya si pria jas hitam. Wajahnya kaku.
"I-ya?"
"Anda dalam bahaya. Kami perlu Anda ikut ke kantor polisi sekarang juga. Demi keselamatan Anda."
"Apa…? Apa ini tentang liontin itu?"
Polisi mengangguk. "Ada pihak-pihak dari jaringan internasional yang sedang memburu Anda. Kami baru saja menerima laporan aktivitas mencurigakan di sekitar gedung ini." Ia menunjuk ke tablet di tangannya—tampak potret CCTV, mobil tak dikenal, seseorang bersenjata yang bersembunyi di lorong parkir.
Natalie menutup mulutnya. Eric langsung merangkul bahunya. "Astaga…"
"Jika Anda tidak ikut kami sekarang, kami tidak bisa menjamin keselamatan Anda," ucap petugas satunya, tegas.
Natalie menatap liontin di lehernya. Cahaya biru itu masih menyala—tenang, namun seolah menertawakannya.
"Kenapa benda ini membuat semua orang gila?" lirihnya.
Ia belum tahu... bahwa dunia sedang berubah hanya karena satu tetes darah.
TOKYO – HOTEL MEWAH
Kanzaki membuka pintu kamar dengan langkah terukur. Di dalam, pria berkimon hitam masih duduk bersila di atas tatami, menatap layar tablet yang memantulkan cahaya kebiruan ke wajahnya.
"Pasukan kita sudah mencapai lantai sembilan saat polisi datang," lapor Kanzaki dalam bahasa Jepang, menunduk hormat. "Tapi mereka sudah lebih dulu di lokasi. Tiga menit lebih cepat dari prediksi."
Pria berkimon tetap tak bergerak. Pandangannya tajam, dingin.
“Kita terlalu lambat,” ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman.
Ia berdiri perlahan, merapikan lipatan kimono dengan ketelitian seorang samurai sebelum perang. Layar di hadapannya masih menampilkan wajah Natalie dalam video terakhir yang sempat diunggah sebelum disita.
“Pastikan tidak ada jejak. Dan jangan biarkan kesalahan ini terulang.”
Tanpa menoleh, ia melangkah keluar, meninggalkan Kanzaki yang kembali menunduk, lebih dalam dari sebelumnya.
PARIS – GALERI RAHASIA DI BAWAH TANAH
Pencahayaan redup membuat layar laptop menjadi satu-satunya sumber cahaya. Wanita bertopi rajut memandangi notifikasi yang baru saja muncul: “Item secured by international authorities.”
Kopi kaleng di tangannya bergetar. Ia meletakkannya dengan kasar, lalu membuka folder digital “WARDHANA FILES” yang kini dipenuhi tautan video, foto liontin, dan catatan perbandingan pola.
"Liontin itu seharusnya bukan milik publik..." bisiknya. "Bukan milik siapa pun..."
Dengan panik, ia menekan tombol tersembunyi di bawah meja. Layar kecil muncul dari dinding, menampilkan peta dunia. Satu titik merah berdenyut di atas kota Bern.
ALPEN SWISS – DALAM LIMUSIN HITAM
Salju mengguyur kaca jendela. Di dalam limusin, pria tua dengan tongkat berkepala naga menyipitkan mata ke arah layar di depannya. Video Natalie dihentikan. Di sudut layar, logo Interpol berpendar.
Pengawal muda di depannya menyampaikan kabar tanpa mengangkat kepala.
“Liontin telah diamankan. Wanita itu dalam perlindungan resmi.”
Pria bertongkat hanya tersenyum. Tidak hangat, tidak puas. Lebih seperti senyum seseorang yang sudah memikirkan seribu langkah ke depan.
“Mereka pikir itu kemenangan,” gumamnya, mengetukkan tongkat sekali ke lantai mobil.
“Biarkan mereka percaya.”
ISTANBUL – PERPUSTAKAAN TUA
Suara buku tebal ditutup membelah keheningan ruangan batu. Biarawan berjubah kusam menatap layar laptop yang kini gelap—video Natalie telah ditarik dari semua platform.
Di dinding, lukisan tua dengan warna memudar memperlihatkan liontin yang sama, tergantung di leher seorang ratu kuno dengan mata kosong.
"Cahaya biru… darah murni..." desis si biarawan. Ia menyentuh segel lilin yang baru saja ia buka. Di bawah segel itu: peta dunia dengan garis samar dan lambang yang serupa dengan liontin.
"Kita kehabisan waktu."
NEW YORK – KANTOR PUSAT BLACK NOVA
Ruang rapat telah kosong. Hanya sang CEO yang masih berdiri, menatap ke luar jendela pencakar langit. Kota di bawah seperti semut—sibuk, tak tahu bahwa dunia sedang bergeser.
Di belakangnya, layar besar menampilkan siaran berita: “Interpol dan Kepolisian Swiss mengamankan artefak kuno bercahaya. Misteri terus berlanjut.”
Ia menoleh sebentar, lalu menekan satu tombol. Dinding terbuka, memperlihatkan ruangan tersembunyi berisi peralatan tempur dan helm hitam berlogo bintang berduri.
“Biarkan mereka menjaganya,” katanya perlahan.
Ia menyeringai.
“Untuk sementara.”
LUZERN – DI DALAM MOBIL POLISI
Eric menggenggam tangan istrinya erat. Di dashboard, suara petugas berbicara lewat radio—bahasa Swiss-Jerman cepat dan penuh kode.
Layar ponsel Natalie menyala.
Video baru. Seorang pria dari Jepang meneteskan darah ke liontin. Cahaya. Pola. Peta.
"Eric…" bisik Natalie. "Itu liontin yang sama."
Muncul notifikasi lain.
Video dari Brasil. Jerman. Dubai.
Mereka semua melakukan hal yang sama: meneteskan darah ke liontin. Hasilnya? Cahaya biru, pola, dan garis peta pun muncul… tapi tak satu pun yang sama.
Natalie memalingkan wajah ke jendela, melihat pantulan wajahnya sendiri.
“Kalau semua terlihat asli… yang mana yang benar?”
Eric memeluknya erat. Mereka tak tahu—bahwa dari semua mata yang kini memerhatikan dunia, liontin itu hanyalah permulaan dari kekacauan yang jauh lebih besar.
Di belahan dunia lain, kegelisahan yang sama mulai menyebar.
"Kenapa petanya berbeda?" tanya seorang peneliti sejarah di Sydney, wajahnya pucat saat melihat layar ponsel.
Di Singapura, seorang kolektor barang antik mengernyit, membandingkan peta di liontinnya dengan gambar viral milik Natalie. "Ini tidak cocok… Tapi liontinku asli. Kupikir…"
Sementara di Amerika, seorang pria kaya yang membeli liontin dari pasar gelap menatap retak pertama di keyakinannya. "Jadi, ini duplikat?"
Keraguan tumbuh cepat. Para pemburu liontin mulai mempertanyakan segalanya. Mereka tahu hanya ada satu liontin milik Wardhana—satu-satunya yang asli.
Dan jika begitu… dari semua liontin bercahaya itu, yang mana yang asli?
Namun sebelum tanda tanya semua orang terjawab, kehebohan kembali terjadi di dunia Maya.
Tokyo, Jepang
Apartemen kecil, lampu neon dari luar memantul di jendela.
"Aku baru aja upload video liontin ini. Lima menit kemudian, dua polisi ngetuk pintu dan minta aku serahin barang itu. Gila! Aku pikir ini cuma barang antik biasa!"
Pria itu memegang kertas penyitaan sambil mengumpat dalam bahasa Jepang.
Munich, Jerman
Kafe sepi, wanita muda dengan ekspresi marah.
"Polisi datang, menyita liontin saya, bilang ini berhubungan dengan investigasi internasional. Lho? Saya cuma upload video doang, kok bisa sampai jadi buronan? Gila!"
Ia menutup video dengan menggeleng kesal.
Rio de Janeiro, Brasil
Gang sempit, wanita tua di kursi plastik.
"Kami kira itu jimat pelindung. Ternyata banyak yang nawar mahal. Tapi pagi ini, tentara bawa pergi. Katanya ini benda berbahaya. Berbahaya? Untuk siapa?"
Dubai, Uni Emirat Arab
Balkon mewah, pria muda dengan kacamata hitam.
"Orang pertama nawar liontin gue 5 juta dirham. Gue pikir rezeki nomplok. Tapi sekarang malah disita polisi. Padahal belum gue jual. Siapa yang ngatur semua ini, hah?"
Sementara itu orang-orang yang punya kedudukan pun tak luput dari polisi.
SINGAPURA
Di dalam apartemen mewah seorang kolektor antik.
"Aku tidak mencurinya! Aku menemukannya di lelang tertutup, sah!" seru pria paruh baya berkulit pucat saat dua petugas berpakaian sipil masuk tanpa banyak basa-basi.
Salah satu dari mereka menatap liontin yang tergeletak di atas meja kaca. Masih menyala redup, seperti menyimpan sisa darah.
"Mr. Lee, benda ini memancarkan pola aneh ketika bersentuhan dengan darah manusia," ujar petugas itu datar. "Pemerintah tak bisa mengabaikannya. Ini bukan urusan museum."
"Jadi... kalian akan menyitanya?"
"Resmi dan permanen. Demi keamanan nasional."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
untung semua data atau apa ya itu namanya simbol2 itu sudah masuk ke pikiran Aylin ya...
ternyata setelah dilewati Aylin dan Akay tiap ujian tidak balik seperti semula ya...jadi gampang dilewati...
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍