Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Cinta yang seharusnya menguatkan, justru menjadi luka yang menganga. Eva, perempuan dengan hati selembut embun, dikhianati oleh pria yang dulu ia sebut rumah.
"Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa." gumam Eva Alexia
Bagaimana takdir cinta Eva Alexia selanjutnya? Apakah dia akan tetap mempertahankan pernikahan nya atau mengakhiri semuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. "Pergi!"
Sejak tiba di rumah sakit, ponsel Ardian tidak henti-hentinya berdering. Getaran demi getaran membuat saku celananya terasa panas, seperti ada kegelisahan yang ingin meledak. Berkali-kali dia melirik layar, nama yang sama terus muncul: Lisna. Akhirnya, dengan gerakan cepat dan penuh kesal, Ardian mengubah ponselnya ke mode silent. Ia tidak ingin suara notifikasi atau dering yang berulang-ulang itu mengganggu ketenangan rumah sakit, terlebih lagi mengusik ketenangan Eva, perempuan yang saat ini tengah berjuang di balik pintu ruang VVIP.
Lisna bukan perempuan biasa dalam hidup Ardian. Dia adalah istri sirinya—perempuan yang mencintainya terlalu dalam, hingga berubah menjadi obsesi yang membelenggu. Sejak awal Ardian menyadari, Lisna ingin menguasai dirinya sepenuhnya. Dia ingin Ardian menjadi miliknya seutuhnya, tanpa celah, tanpa kompromi. Namun, Ardian tahu cintanya tak pernah utuh untuk Lisna. Ada seseorang yang jauh lebih berhak menerima isi hatinya. Eva. Perempuan yang telah mengisi hari-harinya sebelum semuanya menjadi rumit.
Satu getaran terakhir muncul, kali ini disertai pesan. Ardian membukanya dengan raut wajah lelah dan mata sayu. Namun matanya mendadak membelalak saat membaca isi pesan itu:
Lisna: "Mas, kamu angkat telepon dari aku atau aku akan sakiti Aiden?"
Jantung Ardian berdegup kencang. Dadanya terasa sesak. Rasa cemas dan amarah bercampur menjadi satu. Tanpa pikir panjang, dia melangkah cepat menjauh dari ruangan Eva. Tangannya gemetar saat menekan tombol panggilan ke nomor Lisna. Tidak butuh waktu lama, telepon langsung tersambung.
"Apa-apaan kamu, Lisna?!" bentak Ardian, suaranya tertahan tapi penuh tekanan. Dia mencoba tetap tenang meski emosinya hampir meledak.
Di ujung sana, suara Lisna terdengar tajam dan penuh kemarahan. "Kamu yang apa-apaan, Mas! Berpuluh-puluh kali aku menghubungi kamu, tapi kamu selalu saja menolak telepon dariku! Mau kamu apa, Mas? Kamu udah nggak sayang sama aku dan Aiden?!" Suaranya naik satu oktaf, menggema di telinga Ardian seperti gelombang amarah yang tak terbendung.
"Aku sedang sibuk bekerja, Lisna," jawab Ardian datar, mencoba menahan gejolak batinnya. Namun itu hanya alasan—kebohongan yang terpaksa dia ucapkan. Dia memang sengaja tidak memberi kabar kepulangannya ke kota ini. Ardian tahu betul, jika Lisna tahu dia kembali hanya untuk menjenguk Eva, pasti dia akan melarang, atau lebih buruk lagi, membuat kekacauan.
Dia bukan pria bodoh yang akan tunduk pada tekanan. Tapi malam ini, ancaman Lisna soal Aiden membuatnya harus berpikir ulang. Aiden, anak mereka yang masih kecil, tidak bersalah dalam pusaran hubungan rumit ini. Ardian menggertakkan gigi, mencoba menyusun kalimat berikutnya dengan kepala yang dingin.
"Kamu beneran sibuk kerja?" tanya Lisna dengan penuh kecurigaan. Nada suaranya terdengar dingin, nyaris seperti interogasi. Dia duduk di ujung ranjang, menggenggam ponsel erat-erat, sementara matanya menatap kosong ke dinding kamar. Ketakutan yang selama ini ia sembunyikan kembali muncul ke permukaan—takut Ardian kembali ke kota dan menemui Eva, wanita yang kini terbaring di rumah sakit. Akibat perbuatan orang lain yang dia suruh untuk mencelakai istri sah suaminya.
Dia tidak ingin hal itu terjadi. Tidak sekarang, tidak selamanya. Ardian adalah miliknya, dan Eva tidak berhak mendapatkan kasih sayang seorang suami yang sudah memilih Lisna sebagai pendamping hidupnya. Tidak boleh. Tidak akan dia biarkan.
"Iya," jawab Ardian, suaranya terdengar datar dan jauh, seperti tanpa emosi. "Memangnya kenapa?"
Lisna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai tak beraturan. Dia tahu, jika terlalu mendesak, Ardian justru bisa curiga. Maka dia mengubah nada suaranya, membuatnya terdengar lebih lembut, lebih hangat.
"Tidak apa-apa, aku dan Aiden hanya kangen sama kamu," ucapnya, kali ini dengan suara melunak. Ia mengelus perutnya yang kosong, merasa ada kehampaan yang tak bisa diisi hanya dengan kata-kata.
Di ujung telepon, terdengar keheningan beberapa detik sebelum Ardian kembali berbicara. "Apakah Aiden sudah tidur?"
"Baru saja dia tidur, Mas," jawab Lisna cepat, sambil tersenyum kecil seolah Ardian bisa melihatnya. "Sebelum tidur, dia sempat mencari kamu dan ingin bermain dengan kamu, Mas. Dia selalu bertanya kapan kamu pulang."
Ada jeda lagi sebelum Ardian menjawab. Suaranya kali ini terdengar sedikit lebih hangat, meski tetap singkat. "Besok pagi aku akan pulang dan menemui kalian."
Lisna menahan senyum puas. Rencananya berjalan sesuai harapan. "Aku dan Aiden menunggu kedatangan kamu, Mas," sahutnya dengan nada manja, mencoba membangkitkan kembali rasa cinta suaminya—atau setidaknya, membuatnya tetap bertahan di sisinya.
"Hemm…"
Itu saja yang keluar dari mulut Ardian. Gumaman yang tak bisa ditebak maknanya—bisa berarti lelah, bisa pula enggan. Tapi Lisna memilih untuk tidak ambil pusing. Baginya, yang penting Ardian tidak pergi ke tempat lain. Tidak ke rumah sakit. Tidak ke Eva.
Setelah itu, panggilan telepon berakhir. Keheningan kembali mengisi kamar. Lisna menatap layar ponselnya yang kini gelap, lalu memejamkan mata sejenak. Hatinya masih diliputi gelisah, tapi untuk malam ini, dia merasa menang.
Sementara itu, Ardian kembali duduk di bangku nya tadi. Dia menunggu kesadaran Eva dengan harap-harap cemas. Ardian yang masih duduk gelisah di bangku lorong rumah sakit itu, melirik dengan cemas ke arah seorang dokter yang tampak tergesa-gesa berlari menuju kamar inap istrinya. Jantungnya berdegup kencang, dadanya sesak oleh rasa khawatir yang tak bisa ia sembunyikan. Seketika, tanpa berpikir panjang, dia bangkit dari tempat duduknya, langkahnya terburu-buru menyusul sang dokter. Dalam benaknya hanya ada satu pikiran: jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi pada Eva.
Meski secara hukum mereka sedang dalam proses perceraian, hati Ardian tidak pernah benar-benar bisa melepaskan perempuan itu. Eva adalah sosok yang selama bertahun-tahun telah berada di sisinya, menemani dalam suka maupun duka, menyemangatinya saat terpuruk, dan membangkitkannya ketika ia hampir menyerah. Keputusan untuk menikah lagi, yang awalnya ia anggap sebagai jalan keluar dari konflik rumah tangga, kini justru menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya.
Dalam diam, Ardian berkali-kali menyalahkan dirinya sendiri. Ia menyadari betapa besar luka yang telah ia goreskan di hati Eva. Ia juga sadar bahwa wanita itu tak pernah benar-benar membalas dengan kebencian, hanya diam—diam yang menyakitkan. Diam yang membuat Ardian merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Ardian menatap istrinya yang telah siuman, dia mengucap syukur. Karena istrinya bisa selamat dan akhirnya sadar. Ardian tidak mampu mengontrol langkahnya untuk tidak mendekati perempuan yang masih sah menjadi istrinya itu.
"Eva..." panggilnya
Dokter telah selesai memeriksa keadaan Eva, dia pun segera berpamitan. Kini, tinggallah Eva bersama Julia dan Ardian.
"Bukankah sudah saya peringatkan kepada kamu, Ardian Wicaksana. Jangan pernah masuk ke dalam sini, karena kami tidak menerima kehadiranmu." sentak Julia dengan emosi yang tidak dapat dia tahan, sebab dia terlalu muak dengan laki-laki yang telah menyakiti sahabatnya itu.
"Saya ke sini ingin menemui Eva, walau bagaimana pun, dia masih istri saya." sahut Ardian dengan tatapan yang tidak pernah lepas dari Eva, istrinya.
Belum sempat Julia membalas perkataan Ardian, dia mendengar suara lirih Eva.
"Pergi....." Eva menatap Ardian dan mengatakan hal tersebut dengan ekspresi datar
"Kamu dengar kan, Eva tidak menerima kehadiranmu dan menyuruh mu untuk pergi. Pergi!" ucap Julia dengan nada mengejek ke arah Ardian.
"Eva, aku ke sini ingin menemui kamu, sayang. Aku sangat kangen sama kamu." ucap Ardian dengan wajah memelas
Julia berekspresi ingin muntah saat mendengar perkataan Ardian.
"Pergi!" pekik Eva, "Aku mohon." ucapnya lagi dengan ekspresi datar, terlihat dari tatapan nya yang lebih luka.
Ardian tersentak, dia ikut terluka melihat istrinya seperti itu. Akhirnya dia mengalah dan pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Sedangkan Eva, dia menekan dadanya yang terasa sakit sekali dengan kejadian barusan.
***
tapi kamu juga salah si Adrian ...
itu yg dirasakan Eva saat ia tau kamu selingkuh
saya suka