Di sebuah kota di negara maju, hiduplah seorang play boy stadium akhir yang menikahi empat wanita dalam kurun waktu satu tahun. Dalam hidupnya hanya ada slogan hidup empat sehat lima sempurna dan wanita.
Kebiasaan buruk ini justru mendapatkan dukungan penuh dari kedua orang tuanya dan keluar besarnya, hingga suatu saat ia berencana untuk menikahi seorang gadis barbar dari kota tetangga, kebiasaan buruknya itu pun mendapatkan banyak cekaman dari gadis tersebut.
Akankah gadis itu berhasil dinikahi oleh play boy tingkat dewa ini? Ayo.... baca kelanjutan ceritanya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askararia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Nadia dan Austin duduk bersama di sebuah kafe yang berdekatan dengan kampus mereka, raut wajah gadis itu menunjukkan kekesalan yang begitu besar saat menatap Austin yang tengah tersenyum sembari memesan minuman yang akan mereka nikmati selanjutnya. Sambil berpangku tangan, Nadia memutar bola matanya dengan malas karena rasanya ia ingin sekali memalingkan wajahnya dari Austin namun Laura terus saja memperhatikannya dari jauh.
"Austin, kau ini apa?" Tanya Nadia tiba-tiba.
Mendengar itu Austin langsung tertawa kecil lalu mencubit gemas kedua pipi Nadia, ketakutan di hati lelaki ini tampaknya berangsur menghilang karena Nadia tidak meledakkan emosinya mengingat kekacauan yang dibuat Laura kemarin.
"Kenapa kamu nanya kayak gitu? Memangnya aku ini terlihat seperti apa?" Tanya Austin.
Nadia mengedarkan pandangannya ke sekitar serta memperhatikan setiap pola gerak-gerik Laura yang semakin lama semakin kesal melihat kedekatan mereka.
"Lupakan saja, aku mau ke toilet sebentar. Tolong pesan makanan juga, aku sangat lapar!" Ucap Nadia, ia berdiri dari tempat duduknya dan meninggalkan Austin yang duduk diam menatap kepergiannya.
Dalam hati Nadia, ia sudah menebak kalau Laura akan segera menyusulnya ke kamar kecil itu, dimana kebetulan saat itu hanya ada beberapa orang didalam sana yang mungkin baru saja keluar dari bilik toilet dan bergegas mencuci tangan pada wastafel didepan cermin besar itu. Nadia menatap cermin dihadapannya sambil tersenyum, tak lama mantan sahabat lamanya itu datang dari arah belakang sambil melipat kedua tangannya didada.
"Kamu, memuakkan ya, Nadia!" Ucap Laura, ia menaikkan sudut bibirnya sembari melangkah dan berdiri di samping Nadia.
Tanpa menoleh pada Laura, Nadia mencuci tangannya dengan santai, tak sekalipun ia merespon tatapan tajam dan kesal yang ditujukan Laura padanya. Merasa gadis disampingnya kini tak merespon ucapannya, Laura kembali bertingkah dengan menyalakan keran dan sengaja mengarahkan airnya pada Nadia.
"Aaahkk!" Pekik Nadia menutupi wajahnya.
"Kamu... "
"Nadia, kau tidak benar-benar menganggap semua ucapkan ku padamu selama ini benar kan? Jujur saja, aku mau berteman denganmu karena kau bisa dimanfaatkan, kau juga terlalu polos dan terlalu berbaik hati. Hidup didunia seperti ini tak perlu bersikap terlalu baik karena kamu tidak akan pernah bertemu dengan orang baik juga. Semua orang didunia ini munafik, termasuk kamu!"
"Huffff!" Nadia membuang nafas panjang, diraihnya tisu disampingnya lalu mengeringkan wajah dan rambutnya dari percikan air tadi.
"Tenang saja, itu aku yang dulu. Sekarang ku pastikan kalau berbanding terbalik dengan apa yang kamu katakan barusan. Ahhhhk, iya.... aku lupa, kamu bilang apa tadi? Semua orang munafik? Hahahaha, iya.... termasuk kedua orang tuamu bukan?"
"Kenapa kamu membawa-bawa orang tua kedalam masalah ini?"
"Oh my god!" Ucap Nadia menutup mulutnya dengan centil.
"Kenapa kamu marah? Aku bicara sesuai fakta, bukannya Mama kamu selalu bilang kalau kamu ini anak yang pintar, cantik dan berwibawa? Beliau juga pernah mengatakan kalau kamu ini gadis yang baik, ahkkkk tidak disangka kamu malah mengatakan kalau semua orang didunia ini munafik dan tidak orang baik. Jadi, kesimpulannya, kamu menelan ludah.... ohhh bukan.... kamu menelan muntahan mu sendiri.... hueekkk!" Ujar Nadia kemudian berlalu pergi meninggalkan Laura didalam sana.
Nadia menghampiri Austin, keduanya sempat berbincang-bincang sebelum akhirnya mereka meninggalkan kafe yang ramai itu, hiruk pikuk kota menjadi saksi perjalanan mereka hari itu tanpa tujuan yang jelas. Austin menatap wajah Nadia yang tampak murung sejak tadi.
"Apa kamu memikirkan sesuatu?" Tanya Austin.
Pikiran Nadia melayang pada kedua adik kembarnya, ia memeriksa sisa saldo yang dimilikinya di ponselnya yang hanya tersisa beberapa juta saja, sementara ia berencana untuk tinggal di sebuah kos-kosan di tengah kota, namun mengingat kedua orang tuanya pasti tengah kesusahan membayar biaya rumah sakit Arda dan Ardi, terpaksa ia mengurungkan niatnya untuk pindah dalam beberapa bulan kedepan.
"Sayang!" Panggilnya.
"Iya, kenapa sayang?"
"Aku sepertinya butuh beberapa perhiasan emas, bisakah kau membelikannya untukku? Sebagai tanda permintaan maafmu!" Ucap Nadia, sejenak Austin terdiam sambil menatap jalanan, mungkin dalam benaknya ia berfikir kalau kali ini Nadia terlihat aneh sebab selama ini gadis itu tak pernah meminta atau menuntut apapun padanya.
"Kenapa dia masih diam? Kenapa? Apa dia tidak mau membelikan emas untukku?" Batin gadis ini menebak-nebak.
"Ahh, kalau kamu tidak mau, juga tidak apa-apa!" Ucap Laura memanyunkan bibirnya, namun dalam hati ia kesal sebab selama ini ia sudah banyak mengeluarkan uang untuk Austin.
"Bukan begitu, aku bisa membelikan mu emas, tapi apa kamu benar-benar menginginkannya? Maksudku selama ini kamu tidak pernah memakai barang-barang seperti itu!" Balas Austin yang mulai curiga dengan permintaan tak biasa Nadia.
Nadia menggigit bibirnya, tak pernah terpikirkan olehnya kalau Austin akan berkata demikian, sambil terus memutar otak untuk mencari jawaban atas pertanyaan Austin, tiba-tiba ia teringat akan Laura.
"Owhhh tadi, Laura bilang kalau kau berpaling dariku karena aku tidak pernah bergantung padamu, katanya lelaki suka direpotkan dan dirugikan sama pasangannya. Aku hanya ingin kamu tidak berpaling lagi dariku!" Jawab Nadia, tentu saja dengan senyuman palsu disudut bibirnya.
"Dia bilang begitu?" Tanya Austin dijawab anggukan pelan oleh Nadia.
Lelaki ini mengerutkan keningnya.
"Dasar, Laura. Kenapa dia suka sekali mencari masalah? Awas saja kalau dia memberitahu Nadia kalau aku sudah menikahinya, akan ku madu dia!" Batin Austin yang juga membalas senyuman palsu Nadia.
Sambil menggoyang-goyangkan tubuh dan kakinya, Nadia juga memanyunkan bibirnya pada Austin, lelaki itu segera mengacak lembut pucuk kepalanya seperti saat-saat sebelum Nadia mengetahui kabar perselingkuhannya dengan Laura.
"Laura juga bilang kalau perhiasan yang dia pakai itu, kamu yang belikan. Ayolah sayang, aku tidak mau ketinggalan darinya, belikan aku masing-masing perhiasan itu sebanyak lima, oke!"
Mendengar Nadia yang merengek mengatakan kata 'lima' mata Austin mendadak segar, setelah beberapa hari ini ia tak pernah menyebut atau mendengar angka favoritnya tersebut. Dengan cepat ia meraih dompetnya dari dalam saku, dengan salah satu tangan memutar setir, tangannya yang lain mengeluarkan kartu ATMnya dari dalam dompet kulit itu. Sambil tersenyum ia menyerahkan benda pipih itu pada gadis disampingnya.
"Apa ini untukku?"
"Iya, sayang. Kamu bisa beli apa saja pake kartu ini, kamu mau lima? Beli saja, aku masih punya banyak uang!"
"Aaahkkk sudah kuduga, Laura.... Laura..... semakin kamu membenci ku, semakin aku bertingkah di depan mu!"
***
Harry duduk termenung di kursi rumah sakit menemani Rina, sejak kemarin wanita itu menunggu kedua anaknya sadar dari tidur panjangnya. Sesekali Harry memeriksa ponselnya, sepulang dari kampus tadi Nadia mengatakan kalau ia hanya akan pergi sebentar dengan Austin.
"Harry!"
"Iya, Tante!"
"Kenapa kamu nggak pulang sama Nadia? Apa Nadia jadi ngontrak hari ini?" Tanya Rina membuka pembicaraan agar Harry tak merasa bosan.
"Kurang tahu juga, Tante. Nadia belum bilang apa-apa!" Jawab Harry berbohong.
Rina hanya dapat menganggukkan kepalanya, tak lama seorang perawat datang menghampiri mereka dan dibelakang perawat itu ada Andre dan Arda yang kini akan dipindahkan ke bangsal.
Rina segera berdiri dari tempat duduknya untuk melihat kedua anak itu, Harry membuka matanya perlahan sambil tersenyum menatap Rina yang sekilas dilewatinya.
"Keadaan kedua pasien sudah semakin membaik, jadi kami memindahkan mereka ke bangsal. Tapi, apa pasien bernama Andre ini anak anda juga?"
"Owhhh bukan, Suster. Dia teman dekat anak saya, kebetulan dia sudah yatim piatu!" Jawab Rina, Harry menoleh kearah Rina yang berbohong tentang orang tua Andre. Setelah perawat itu pergi, Harry mengikuti langkah kaki Rina menuju ruangan dimana Arda berada saat ini.
"Tante, Andre kan masih punya keluarga. Papanya masih hidup dan.... "
"Kalau hanya wujudnya yang ada, apa gunanya? Katakan saja sudah meninggal kalau tidak punya peran untuk anaknya!" Potong Rina. Harry terdiam beberapa saat, ia teringat akan kedua orangtuanya yang masih hidup namun tak pernah memperdulikannya.
Dretttt
Suara ponsel berdering, Harry meraih benda pipih itu dari dalam saku celananya lalu bergegas keluar dari ruangan tersebut.
"Harry, apa Mama sudah pulang?" Tanya Nadia sambil memilih beberapa perhiasan emas yang akan dibelinya menggunakan uang Austin.
"Belum, ini masih ada. Arda sama Andre baru dipindahkan dari ruang ICU. Ngomong-ngomong kamu dimana?"
"Aku lagi di toko emas!" Jawab Nadia tersenyum lebar sembari menunjuk beberapa perhiasan yang ia pilih sebelumnya, sang penjaga toko segera menyiapkan aksesoris tersebut lalu memasukannya kedalam kotak perhiasan.
Nadia mengeluarkan kartunya untuk membayar semua perhiasan itu sambil terus berbicara dengan Harry.
"Aku sudah memutuskan untuk bergantung pada Austin beberapa bulan ini, aku akan menguras semua isi kantong dan kartunya. Apa kau sudah makan? Biar ku traktir!"
"Tidak perlu!" Tolak Harry menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Katakan saja, kau mau makan apa?" Tanya Nadia sekali lagi.
"Tidak, aku belum lapar!"
"Kalau kau mengatakan makanan apa yang ingin kau maka, aku akan jadi pacarmu!"
Harry membuka kedua matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang hingga ia dapat mendengarnya, pikirannya membuatnya merasa seolah melayang dilangit.
"Halooooo"
"Harry, kau mendengar ku?" Tanya Nadia dari balik telepon itu.
Sambil tersenyum, Harry memegangi jantungnya yang semakin lama semakin berdegup kencang hingga akhirnya ia jatuh pingsan dalam keadaan tersenyum. Beberapa orang di lorong itu segera mengerumuni Harry, melihat ekspresi wajahnya membuat mereka ikut tertawa sebab bibir Harry bergerak, seolah sedang menari mengikuti sebuah irama musik yang penuh semangat.
"Ada yang pingsan, tolongggg"
"Disini ada yang pingsan...... " teriak orang-orang disana sambil menahan tawa mereka, sedangkan Nadia terus memanggil nama lelaki yang telah berbaring diatas lantai itu.
"Halo....., Harry..... apa kau masih disana?"
"Halo...... "