Malam itu, Gwen seorang gadis remaja tidak sengaja memergoki cowok yang dia kejar selama ini sedang melakukan pembunuhan.
Rasa takut tiba-tiba merayap dalam tubuhnya, sekaligus bimbang antara terus mengejarnya atau memilih menyerah, Karena jujur Gwen sangat takut mengetahui sosok yang dia puja selama ini ternyata seorang pria yang sangat berbahaya, yaitu Arsenio.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Arsenio memasuki ruang kerja ayahnya, Vincent, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Mata pemuda itu langsung disuguhi pemandangan yang tidak dia inginkan—ayahnya dan ibunya, Ellie, sedang asyik berciuman.
"Udah tua masih saja bucin, bikin mami kewalahan lagi," ejek Arsenio dengan nada tinggi dan tatapan sinis.
Vincent yang mendengar suara anaknya langsung terkejut dan dengan cepat melepaskan ciumannya. Raut wajahnya berubah menjadi kecewa sekaligus marah karena momen romantisnya terganggu.
Sejenak, dia merasa ingin membunuh orang yang telah mengganggu, namun ketika melihat Arsenio, rasa itu hilang karena di depannya berdiri anaknya sendiri, yang sayangnya sangat mirip dengannya dalam segala sisi.
"Bocah ingusan, ganggu aja lo!" kesal Vincent sambil duduk tegap kembali. Dia meraih iPad-nya dan mencoba kembali fokus pada pekerjaan yang sempat terhenti.
Arsenio hanya mendengus kesal dan duduk di hadapan orang tuanya. "Awas aja kalo Mami hamil lagi, akan ku potong anunya Papi. Enak aja Nio udah sebesar ini punya adek"
Ellie terbahak mendengar candaan sang anak, seraya memandang wajah Vincent yang tampak kesal.
"Kalau papi mau, udah dari dulu ngasih kamu adek. Masalahnya mami kamu selalu nolak," ujar Vincent sambil melirik istrinya dengan tatapan menyindir.
"Ck, itu sih enaknya kamu. Aku mah harus merenggang nyawa buat nyelametin mereka," balas Ellery, tak terima.
Vincent menghela napas, mencoba meredakan ketegangan yang muncul. "Iya sayang, udah cukup kita punya anak pembangkang kayak tuh bocah ingusan," katanya, mencoba meraih tangan Ellie yang langsung ditariknya lagi.
"Yang kamu bilang bocah ingusan, dia anak kamu, bahkan liat wajahnya, duplikat banget dengan kamu," sahutnya, matanya tajam menatap Vincent.
"Iya sayang iya, dia emang darah daging ku, bahkan pas kamu lahirin dia, aku sampe nangis terharu," Desah Vincent.
Arsenio tersenyum sinis ke arah ayahnya, Vincent, yang duduk di hadapannya.
"Papi, Nio pengen lamar seorang gadis," ujar Arsenio dengan nada yang mencoba terdengar santai.
Vincent, yang sedang menyesap kopi, tersedak mendengar pernyataan anaknya itu. Dia menatap Arsenio dengan mata terbelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terdengar dari mulut anaknya sendiri.
"Begitu?" kata Vincent, masih mencoba mencerna informasi. "Papi mau tahu, siapa gadis yang tidak beruntung itu, yang menyukai anak kacungku?"
Arsenio memutar bola matanya, merasa kesal dengan cara ayahnya menyebut dirinya.
"Anak om Darren," jawab Arsenio tanpa ragu, menatap langsung ke mata ayahnya.
Wajah Vincent berubah, dari ekspresi terkejut menjadi serius. Mendengar nama Darren, sahabatnya, membuat situasi ini menjadi lebih rumit.
Ellie tampak bersemangat saat berkata, "Mami benar-benar setuju kamu bersama anak om Darren, sayang!"
Semenjak Arsenio menunjukkan foto gadis pujaannya kepadanya, dia terus mencoba mengingat mirip siapa gadis itu. Gadis yang ternyata sangat mirip dengan sahabatnya yang telah tiada.
"Mau atau tidak?" tanya Arsenio menuntun.
Vincent menghela nafas berat, meletakkan ipad-nya ke meja, menunjukkan keengganannya atas ide yang dianggap konyol itu.
Vincent menjadi serius, "Adek, anak om Darren masih SMA, om Darren juga sangat posesif sama dia. Apalagi setelah dia hampir mengalami pelecehan, sulit, dek."
Ellie terkejut, "Dia hampir dilecehkan? Kapan itu? Kasihan banget calon mantu mami."
"Dia hampir dilecehkan waktu Nio masih SMA," jawab Arsenio datar.
"Oh ya? waktu itu dia masih kecil. Kok kamu bisa tahu, dek?" tanya Ellie, penasaran.
"Karena Nio yang bantu pada saat itu, mi," Kata Arsenio.
Vincent menatap bungsunya dengan tatapan penasaran, sambil bercanda dia ingin melihat reaksi anaknya. " Tapi, Papi udah jodohin kamu dengan keluarga Harrison, Maudy namanya," ledeknya.
Wajah Arsenio berubah, matanya menyipit, rahangnya mengeras. "Papi, jangan main-main. Aku tidak suka perempuan itu, aku tidak suka dijodohkan, aku lebih suka membuat pilihan sendiri," ucapnya dengan suara yang tegas.
"Iya nih, main putusin sendiri. Apalagi gadis itu caper banget, Aku ga like" Ujar Ellie.
Vincent hanya bisa tertawa terbahak-bahak melihat keheranan yang tergambar jelas pada wajah istri dan anaknya.
"Becanda sayang, Papi tidak akan menjodohkan kamu dengan seseorang yang tidak kamu suka," tutur Vincent sambil menenangkan. "Tapi masalahnya, Papi juga tidak bisa membantu kamu tentang melamar Gwen , Om Darren itu keras kepala sekali, jadi jangan harapkan bantuan dari Papi," lanjutnya.
Arsenio tampak frustasi, matanya berkilat tajam. "Pokoknya, aku hanya ingin dia. Jika Papi tidak membantu, aku akan menghancurkan markas gangster Papi," ancamnya dengan suara penuh determinasi.
Vincent terlihat kesal saat melihat Arsenio tak peduli dengan peringatannya. "Eh, kamu pikir markas ini cuma punya papi? Ini juga milik om Darren," ujar Vincent dengan nada tinggi.
Arsenio duduk tegap, menjawab tanpa rasa takut, "Aku ga peduli, aku tetap maunya Gwen, titik."
Vincent memijat pelipisnya, raut wajahnya menggambarkan frustrasi mendalam. "Kamu pikir melamar anak gadis itu seperti membeli permen? dasar!" serunya.
Namun, Arsenio tetap pada pendiriannya, "Ga, Nio ga mau mikir, Nio tetap maunya Gwen."
Ellie cepat menimpali, "Ya ampun, anak siapa sih ini?" Wanita itu melirik sang suami dengan tatapan mengejek.
Vincent mendengus, tatapannya datar pada Arsenio. "Papi tetap ga bisa, kamu harus menaklukkan hati om Darren dengan baik jika ingin bersama Gwen. Om Darren ga semudah itu percaya untuk serahkan anaknya kepada lelaki lain."
Dengan nada yang lebih tegas, Arsenio balas, "Aku akan buat om Darren percaya sama aku. Aku hanya butuh bantuan papi untuk bicara dengan om Darren. Nio sangat menyukai anak om Darren itu," tuturnya dengan tekad yang bulat.
Vincent duduk di samping Ellie, sorot matanya menunjukkan kebingungan yang mendalam. "Sayang, apa kamu punya ide untuk memenuhi permintaan konyol kacungku ini?" tanyanya dengan nada berharap.
Ellie memejamkan mata sejenak, seolah mengumpulkan gagasan, sebelum wajahnya berseri dengan senyum penuh keyakinan.
"Bagaimana kalau kamu minta bantuan grandpa, Dek? Om Darren selalu dengarin setiap perkataan grandpa sejak dulu," usul Ellie.
"Grandpa?" Arsenio terdengar ragu.
"Iya, sayang. Semua kata-kata grandpa selalu diikuti Om Darren. Kamu patut coba, apalagi kamu cucu kesayangan grandpa, pasti dia bakal mau," kata Ellie meyakinkan.
"Aku akan coba," ujar Arsenio sembari beranjak, pamit kepada kedua orang tuanya.
Vincent menatap punggung anaknya yang telah hilang di balik pintu, menghela napas panjang, "Dia benar-benar keturunan kita, keras kepala," gumamnya dengan nada frustrasi.
"Siapa suruh kamu keras kepala dulunya," cecar Ellie ringan.
Vincent tertawa kecil, "Sayang, setahuku, kamu lebih keras kepala dari pada aku."
"Iya, kita sama-sama keras kepala," balas Ellie, sambil tersenyum memandang suaminya.