Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggilan dari Langit Kekaisaran
Lorong-lorong bagian dalam dipenuhi cahaya lentera keemasan dan wangi rempah lembut. Di sinilah para selir tinggi tinggal—di tempat yang sunyi tapi penuh pengaruh. Yu Zhen dibawa ke sebuah paviliun elegan, berhiaskan tirai tipis dan lukisan bunga pipa salju di dinding kayunya.
Saat ia melangkah masuk, seorang wanita paruh baya sudah menunggunya. Rambutnya disanggul rapi, jubahnya lembut tapi jelas mahal. Wajahnya anggun namun tak bisa ditebak. Itulah Selir Xuan—ibu kandung dari Pangeran Keempat.
Yu Zhen berlutut sopan.
“Hormat hamba kepada Selir Agung.”
Selir Xuan mempersilakan duduk di atas bantalan. Ia menyiapkan teh dengan tangannya sendiri—sebuah gestur tidak biasa untuk seorang tamu tak bernama.
“Kau sudah banyak mengalami hari ini. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Tanpamu, mungkin kesalahpahaman dalam parade tidak akan terbuka secepat ini.”
Yu Zhen menunduk. “Hamba hanya kebetulan melihat. Semua kehormatan kembali kepada Yang Mulia.”
Selir Xuan tersenyum samar. “Tetap saja. Aku tahu siapa yang diam dan siapa yang bicara di waktu yang tepat.”
Ia memberi isyarat, dan seorang dayang datang membawa kotak kecil berukir giok, meletakkannya di dekat Yu Zhen.
“Hadiah kecil. Sedikit uang dan gelang keberuntungan dari batu darah. Ambillah. Tidak semua dayang mendapat kesempatan begini.”
Yu Zhen membungkuk dalam. “Hamba sangat berterima kasih atas kemurahan hati, Yang Mulia.”
Selir Xuan menatapnya lekat-lekat. Baru setelah keheningan panjang, ia berbicara lagi—suara yang sekarang lebih datar, lebih mengarah.
“Aku tidak memanggilmu hanya untuk berterima kasih.”
Yu Zhen tetap menunduk.
“Kau sudah menjadi sorotan. Aku yakin kau juga sadar. Sorotan itu... bisa sangat kejam, bahkan membunuh. Terutama jika menyentuh keluarga kerajaan.”
Yu Zhen tak menjawab. Tapi ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.
“Aku tahu anakku belum pernah menunjukkan ketertarikan kepada siapa pun sebelumnya. Itu membuatmu... mencolok. Terlalu mencolok.”
Selir Xuan mengambil cangkir tehnya, mengaduk perlahan.
“Kau belum melakukan kesalahan. Tapi jika hal ini terus berlanjut, kau akan menimbulkan rumor yang lebih serius. Dan aku tidak ingin anakku—yang belum menikah, yang menjadi sorotan politik dari semua pihak—dianggap... terlibat perasaan dengan seorang dayang tanpa nama.”
Yu Zhen mengangkat wajahnya sedikit, tapi tetap sopan. Tatapannya tidak menantang, hanya jernih.
Selir Xuan melanjutkan.
“Jadi... aku ingin menawarkan pilihan.”
Ia meletakkan cangkirnya, menatap Yu Zhen langsung untuk pertama kalinya.
“Aku bisa memberimu posisi yang lebih baik. Di dapur pribadi milikku, atau di bagian kain sutra untuk selir-selir agung. Atau uang. Cukup untuk hidup nyaman jika kau keluar dari istana sekalipun.”
Hening.
“Sebagai gantinya, kau hanya perlu... menjauhi anakku. Hindari interaksi. Jangan muncul di dekatnya bila tidak diperintah langsung. Aku punya rencana sendiri untuk masa depannya.”
Yu Zhen tidak langsung menjawab.
Tapi dalam diamnya, hatinya bergetar pelan.
Jadi ini yang disebut kekuasaan.
Datang dengan teh hangat dan hadiah mahal…
Tapi menyisakan dingin yang menusuk jauh lebih dalam.
Selir Xuan bersandar. “Aku tidak membencimu, Yu Zhen. Aku bahkan menyukaimu sedikit. Tapi aku tidak akan membiarkan rencana besar yang kususun selama bertahun-tahun rusak...”
Yu Zhen menunduk dalam. Tapi kali ini, bukan tunduk takut.
Lebih seperti seseorang yang sedang menimbang kebenaran dalam sunyi.
Yu Zhen menunduk lebih dalam.
“...maafkan hamba, tapi hamba tidak bisa menerima jabatan atau hadiah yang dimaksudkan untuk... menukar.”
Xuan sempat mengerutkan kening.
“Hamba masuk istana untuk bekerja. Bukan untuk mengejar siapa pun. Jika hari ini hamba diperhatikan, itu bukan karena niat hamba, tapi karena perintah dan keadaan. Hamba hanya ingin bekerja dengan tenang dan mengirim uang ke rumah.”
Diam sesaat.
“Hamba tidak ingin menukar prinsip dengan posisi. Bahkan jika itu berarti harus tetap jadi dayang biasa.”
Sunyi menggantung.
Lalu, Selir Xuan tertawa kecil.
Senyumnya kali ini... benar-benar tulus. “Kau benar-benar polos, ya?”
Ia bersandar ringan ke bantal di punggungnya. Suaranya melembut—dan ada sedikit kehangatan di sana, semacam... rasa kasihan yang bercampur kagum.
“Aku paham sekarang. Jangan khawatir,” katanya pelan. “Kalau begitu... kita tak perlu menyebut ini penukaran.”
Ia menatap Yu Zhen dalam-dalam.
“Cukup kau ikuti aku. Mulai besok, kau akan menjadi dayang bagian dalam di kediamanku. Kau tidak perlu berurusan dengan Jing Rui lagi, kecuali bila ia yang memanggil langsung. Dan kau tak perlu memilih atau menjawab. Karena ini... perintah.”
Ia tersenyum samar, kali ini dengan wibawa seorang ibu dari bangsawan tertinggi.
“Bahkan tanpa persetujuanmu pun, aku bisa memindahkanmu ke sini.”
Yu Zhen menunduk dalam, menelan kata-katanya. Tapi dalam diam itu, ada keteguhan.
Bukan karena ia takut.
Tapi karena ia tahu, ia baru saja diambil alih oleh kediaman kekaisaran. Dan kini... bukan lagi hanya Pangeran Keempat yang harus ia perhatikan, tapi juga ibunya.
Duh, ini makin indah dan dalam banget. Selir Xuan bukan antagonis, tapi potret perempuan istana yang tajam karena dunia memaksanya begitu. Ia penuh strategi, tapi bukan tanpa hati—dan satu-satunya hal yang benar-benar ia cintai adalah Jing Rui. Jadi ketika melihat perban di tangan Yu Zhen, hatinya goyah sejenak.
Yuk kita tambahkan penutup Bab 12 dengan semua elemen itu:
Niat awalnya hanya ingin mengembalikan Yu Zhen malam itu demi menjaga wibawa,
Respons emosional kecil saat melihat luka,
Pengakuan halus tentang caranya mencintai Jing Rui,
dan penegasan bahwa tindakannya bukan karena benci pada Zhen, tapi karena takut kehilangan anak satu-satunya di dunia istana yang kejam.
Selir Xuan diam beberapa saat. Matanya kembali pada Yu Zhen yang kini duduk tenang di depannya. Lalu pelan, ia berkata,
“Untuk malam ini... kembali saja ke barakmu.”
Yu Zhen mengangkat kepala sedikit, terkejut. Tapi ia menunduk sopan. “Hamba menurut.”
“Kalau kau bermalam di sini, besok akan muncul rumor baru. Seolah kau masuk lewat jalur belakang. Aku ingin kau datang sebagai penugasan resmi, bukan bisikan rahasia.”
Baru saat Yu Zhen hendak berdiri, lengan bajunya tergeser sedikit.
Mata Selir Xuan sempat menangkap seberkas putih yang berbercak merah di bawah kain—perban.
“Lukamu... belum pulih rupanya.”
Yu Zhen buru-buru menunduk. “Hamba sudah jauh lebih baik.”
Selir Xuan tidak berkata apa-apa. Tapi tatapannya berubah sejenak. Ada semacam... ketidaksenangan. Bukan pada Yu Zhen. Tapi pada kenyataan bahwa anaknya ternyata membiarkan gadis ini terluka dalam tugas yang membahayakan.
Ia bangkit dari duduknya, perlahan.
“Sudah terlalu lama aku hidup di istana ini,” ujarnya pelan. “Dan di tempat ini... kebaikan seringkali membuat orang lemah. Maka aku memilih jadi keras. Karena itu satu-satunya cara melindungi... apa yang masih bisa dipertahankan.”
Ia berhenti sejenak. Tatapannya jatuh pada lentera yang berayun pelan.
“Yang Mulia Kaisar punya banyak istri, banyak anak. Tapi aku...” ia menoleh pada Yu Zhen. “Aku hanya punya satu. Dan dia bukan sekadar penerus—dia satu-satunya alasan aku bertahan di tempat ini.”
Yu Zhen menunduk. Kali ini... bukan karena takut. Tapi karena ia bisa memahami—walau samar—rasa yang disimpan perempuan itu.
Xuan menarik napas.
“Jangan salah paham. Aku tidak membencimu. Justru karena aku melihat kekuatan dalam dirimu... aku tidak bisa membiarkanmu tumbuh tanpa kendali.”
Lalu dengan langkah tenang, ia berjalan mendekat, berdiri di sisi Yu Zhen. Suaranya pelan, tapi tegas:
"Mulai besok, datanglah ke kediamanku. Bukan karena kau menerima tawaran... tapi karena pilihanku.”
“Dan jika kau benar-benar ingin melindungi sesuatu, kau akan mengerti... mengapa seorang ibu harus mengambil keputusan sebelum anaknya terlanjur terlalu dekat.”
Yu Zhen tidak menjawab.
Tapi dalam hening itu, dua perempuan—dari dunia yang berbeda—berdiri di bawah cahaya lentera, menyadari bahwa mereka punya satu kesamaan:
Mereka sama-sama tidak ingin orang yang mereka sayangi... hancur oleh istana.