Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jaga Jarak
Keesokan harinya, Lily bangun dengan perasaan yang masih belum sepenuhnya jelas. Namun, ia memutuskan untuk tetap fokus pada tugas dan tanggung jawab kuliahnya yang mulai menumpuk. Di dapur, ia bertemu dengan ibunya yang sedang menyiapkan sarapan.
“Pagi, Sayang. Kamu kelihatan lebih segar hari ini,” kata ibunya sambil tersenyum.
Lily tersenyum kecil. “Iya, Bu. Aku sudah mulai memikirkan semuanya. Aku harus lebih fokus sama kuliah.”
Sang ibu mengangguk setuju. “Bagus, Nak. Jangan terlalu terbawa perasaan, ya. Yang penting sekarang kamu fokus sama masa depanmu.”
Mendengar nasihat ibunya, Lily semakin yakin bahwa ia harus mengutamakan dirinya sendiri. Namun, dalam hati, perasaan terhadap Ezra mulai mengusik. Ia tidak tahu apakah perasaan ini hanya sementara karena perhatian yang Ezra berikan malam itu, atau memang ada sesuatu yang lebih dalam.
Beberapa hari berlalu, dan Lily mencoba menjaga jarak dari Radit. Ia masih merasa sayang, tapi mulai sadar bahwa hubungannya dengan Radit tidak seimbang. Radit jarang memberikan dukungan yang ia butuhkan, sementara Ezra justru hadir di saat-saat penting, dengan kehadiran yang terasa lebih hangat dan tulus.
Pada suatu sore, saat Lily sedang duduk di halaman rumahnya sambil membaca buku, Ezra datang menghampirinya. Dengan senyum ramah, ia duduk di sebelah Lily.
“Lagi sibuk apa?” tanya Ezra santai.
Lily menoleh, menatap Ezra dengan senyum tipis. “Nggak terlalu sibuk, Kak. Cuma baca-baca buat persiapan kuliah aja.”
Ezra mengangguk sambil memandang Lily dengan perhatian. “Bagus kalau kamu sudah mulai fokus lagi sama kuliah. Aku tahu kemarin berat buat kamu.”
Lily tersenyum, meski dalam hatinya perasaannya masih bergejolak. “Iya, aku coba bangkit lagi, Kak. Mikirin apa yang bener buat aku.”
Ezra menatapnya dalam-dalam, dan sejenak suasana di antara mereka menjadi hening. Lily merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ada kehangatan dalam tatapan Ezra, sesuatu yang membuat hatinya kembali goyah.
“Lil, aku senang lihat kamu mulai mikirin dirimu sendiri. Kamu layak dapat yang terbaik,” kata Ezra pelan, namun dengan ketulusan yang dalam.
Lily menunduk, merasa canggung dengan apa yang ia rasakan. “Makasih, Kak. Kamu udah banyak bantuin aku.”
Ezra tersenyum lembut, lalu dengan nada pelan ia berkata, “Aku selalu ada buat kamu, Lil. Dari dulu sampai sekarang.”
Kata-kata itu membuat hati Lily bergetar. Ia teringat masa kecilnya, bagaimana Ezra selalu menjadi sosok yang ia kagumi, dan kini, saat dewasa, perasaan itu seakan tumbuh kembali. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berpikir apakah mungkin perasaannya terhadap Ezra bukan hanya sebatas kekaguman masa kecil.
***
Hari-hari berlalu, dan hubungan Lily dengan Radit semakin tidak menentu. Lily mulai merasakan jarak yang semakin besar antara dirinya dan Radit, sementara perasaannya terhadap Ezra kian menguat. Setiap kali Ezra memberikan perhatian kecil, seperti memastikan Lily baik-baik saja atau menanyakan kabar kuliahnya, Lily merasakan debaran di hatinya. Di sisi lain, Melisa, yang selalu dekat dengan Lily, mulai menangkap perubahan sikap sahabatnya.
Suatu malam, setelah menghabiskan waktu bersama di rumah Melisa, Melisa menyadari bahwa Lily sering terlihat gugup setiap kali Ezra ada di dekat mereka. Mata Lily selalu mencari Ezra, dan senyuman kecil yang ia sembunyikan tidak luput dari perhatian Melisa. Ini membuat Melisa curiga bahwa perasaan Lily terhadap kakaknya tidak lagi sebatas kekaguman masa kecil.
Ketika mereka sedang menonton film di ruang keluarga, Melisa memutuskan untuk memulai pembicaraan yang sudah lama mengganggu pikirannya. Saat Ezra pergi ke dapur untuk mengambil camilan, Melisa mendekatkan diri ke Lily, mengurangi volume suara TV, dan menatapnya dengan tatapan serius.
"Lil, aku mau nanya sesuatu," ucap Melisa sambil memperhatikan reaksi Lily.
Lily yang sedang fokus pada layar TV menoleh, lalu mengerutkan kening, bingung dengan nada serius Melisa. "Nanya apa, Mel?"
Melisa terdiam sejenak sebelum mengeluarkan pertanyaannya. "Kamu... ada perasaan sama Kak Ezra, ya?"
Pertanyaan itu membuat Lily terdiam. Wajahnya seketika memerah, dan dadanya berdebar kencang. Ia tahu cepat atau lambat Melisa akan menangkap sinyal-sinyal yang ia coba sembunyikan, tapi ia tidak menyangka momen itu akan datang secepat ini. Lily menunduk, mencoba menghindari tatapan Melisa.
"Mel... aku..." Lily tergagap, bingung harus berkata apa.
Melisa menatap sahabatnya lebih dalam, memastikan bahwa Lily tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. "Jujur aja, Lil. Aku kan sahabat kamu. Kalau memang kamu ada perasaan sama Kak Ezra, kamu harus bilang."
Lily menghela napas panjang, merasa tidak lagi bisa menyembunyikan apa yang selama ini ia pendam. "Iya, Mel... aku rasa aku mulai suka sama Kak Ezra. Tapi aku nggak tahu harus gimana."
Melisa menghela napas, memandang sahabatnya dengan tatapan penuh pengertian. “Kak Ezra memang orangnya perhatian ke semua orang, Lil. Bukan cuma ke kamu. Dia memang sifatnya seperti itu, ramah, suka menolong, dan peduli sama orang-orang di sekitarnya. Aku nggak mau kamu salah paham dan terlalu berharap.”
Lily terdiam, mendengar kata-kata Melisa membuatnya sedikit tersentak. Benar, Ezra selalu ramah dan perhatian, bahkan sejak mereka kecil. Namun, perhatian yang Ezra berikan padanya belakangan ini terasa lebih istimewa. Ataukah itu hanya perasaannya saja?
Melisa melanjutkan dengan nada hati-hati, “Aku bilang ini karena aku nggak mau kamu terluka, Lil. Kak Ezra memang kelihatan sangat dekat sama kamu, tapi kamu juga harus ingat... dia deket banget sama Nadia belakangan ini.”
Pernyataan itu membuat hati Lily mencelos. Meski ia sering melihat Ezra dan Nadia bersama, ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Namun, sekarang Melisa menyebutkan hal itu dengan jelas, Lily merasa semakin tak nyaman. “Kak Ezra sama Nadia... mereka pacaran?” tanyanya pelan, dengan suara yang bergetar.
Melisa menggeleng pelan. "Aku nggak tahu pasti, tapi mereka emang sering bareng. Kalau pun bukan pacaran, mereka jelas punya hubungan yang dekat. Jadi aku cuma mau kamu hati-hati, Lil. Jangan sampai kamu terlalu dalam terjebak dalam perasaan ini."
Lily menunduk, merasakan campuran antara kecewa dan bingung. Selama ini, ia memang merasakan kedekatan dengan Ezra, tapi ternyata kedekatan itu bisa jadi bukan sesuatu yang istimewa. Mungkin Ezra hanya bersikap seperti biasa—ramah dan perhatian pada semua orang, termasuk dirinya. Namun, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Perasaan yang ia rasakan pada Ezra lebih dari sekadar kagum.
"Aku ngerti maksud kamu, Mel," jawab Lily pelan. "Aku juga bingung sama perasaan aku sendiri. Aku sayang sama Radit, tapi sekarang... aku ngerasa lebih nyaman sama Kak Ezra. Tapi aku nggak tahu, apa itu cuma karena dia baik, atau aku yang terlalu baper."
Melisa mengangguk, meraih tangan Lily dengan lembut. “Aku ngerti, Lil. Aku tahu perasaan itu nggak gampang. Tapi aku cuma mau kamu tetap waspada, apalagi dengan Nadia yang sering ada di sekitar Kak Ezra. Aku nggak mau kamu berharap lebih kalau ternyata Kak Ezra punya perasaan lain.”
Lily tersenyum kecil, meski hatinya terasa berat. Ia tahu Melisa benar. Perasaan yang ia pendam terhadap Ezra mungkin hanya ilusinya sendiri. Jika Ezra memang hanya bersikap baik tanpa maksud apa-apa, Lily tak mau merusak persahabatan yang sudah ia jaga sejak kecil.
“Terima kasih udah ngingetin aku, Mel. Aku butuh denger ini, walaupun rasanya nggak mudah,” ucap Lily dengan suara lirih.
Melisa tersenyum hangat, menepuk tangan Lily. “Aku nggak mau kamu terluka, Lil. Kamu sahabat aku, dan aku bakal selalu ada buat kamu.”
Mereka berdua duduk dalam diam untuk beberapa saat, menikmati kebersamaan tanpa kata-kata. Lily masih merenungkan apa yang Melisa katakan, mencoba untuk menenangkan hatinya yang terasa goyah. Meski sulit, ia tahu ia harus lebih hati-hati dengan perasaannya terhadap Ezra. Tidak adil jika ia menaruh harapan lebih pada seseorang yang mungkin tidak merasakan hal yang sama.
Namun, di balik semua keraguannya, perasaan itu tetap tumbuh, entah bagaimana caranya. Lily tahu ia harus menghadapinya, meski belum tahu kapan atau bagaimana ia akan menemukan jawabannya.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪