Mara, gadis yang terbaring koma berbulan-bulan, terpaksa harus menerima tawaran sesuatu yang disebut "sistem", yang di mana dia harus pergi ke dunia novel untuk meningkatkan nilai baik antagonis sebagai ganti tubuh aslinya tersembuhkan perlahan. Hanya saja, sang target merupakan orang sangat sulit didekati, paranoid, dan dibenci banyak orang.
______
Suatu hari, Mara menyelesaikan tugasnya dan akan pergi. Tapi tiba-tiba dia ditangkap pria menakutkan yang telah dia jinakkan.
"Jangan berpikir kamu bisa memanjat jurang gelap yang telanjur kamu lompati sesuka hati!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emosi Yang Meluap
Mara melihat dirinya melalui cermin dan menemukan memar di lehernya sudah memudar. Dia sudah sangat baik-baik saja, tapi ayahnya tetap menahannya di rumah sakit.
Dia merasa sangat bosan, dan tidak bisa bertemu Rahan sama sekali. Sudah hampir seminggu, tapi dia tidak mendapat hukuman sama sekali. Karena apa? Karena nilai target naik satu hampir setiap hari meskipun mereka tidak bertemu!
Mara merasa heran, namun ia juga merasa sangat senang. Lalu saat ini, nilai target berjumlah 34. Apa yang Rahan pikirkan tentangnya?
Saat Mara melamun sembari bercermin, tiba-tiba pintu terbuka dari luar, munculah seorang pria tinggi yang merupakan pengawal yang dibawa ayahnya. Lebih tepatnya mungkin dia adalah orang yang 'memastikan' agar dia tidak berkeliaran dan bertemu Rahan.
"Nona, Ibu dan Adik Anda datang berkunjung."
Mara memutar bola matanya malas. "Ya, bawa mereka masuk."
Dua orang ini selalu datang berkunjung, yang membuatnya sangat terganggu. Terlebih jika ada ayahnya, Luri selalu menumpahkan banyak perhatian padanya sampai Mara merasa muak.
Saat Luri masuk, dia langsung mendekat diikuti Melody dan bertanya prihatin."Mara, apa kamu sudah lebih baik?"
Mara mengangguk.
"Kak Mara, aku sangat merindukanmu dan merasa kesepian di rumah." Melody berkata sedih.
Jangan membuat ekspresi yang membuatku jijik, oke?
"Benarkah?" Mara tersenyum. Bilang saja kamu sangat senang saat aku tidak ada karena kamu bisa merasa bebas dan menerobos kamarku mengambil barang milikku.
Mara melihat Melody mengambil sebuah apel miliknya di samping, dan duduk di sofa tidak jauh dengan santai. Ia menggigit apel itu dan berkata nyeleneh. "Jika saja kak Mara tidak mengejar dan menyukai cowok aneh itu, pasti kakak tidak harus terluka."
"Kamu benar." Mara mengangguk setuju. Ia memikirkan sesuatu dan mengungkit masa lalu bermaksud membalas kekesalannya. "Jika saja kamu tidak merebut orang yang aku sukai saat SMP, pasti aku sudah menjadi pacarnya. Aku juga pasti tidak akan menyukai Rahan sampai terluka."
Ekspresi Melody membeku. "Aku tidak merebutnya, kak! Ezel memang menyukaiku!"
Reaksi Melody sangat tidak wajar dengan nada terlalu tinggi. Mara mengangkat sebelah alis penasaran.
Luri awalnya membiarkan perdebatan mereka, namun tiba-tiba ia melihat Wilson dari kaca kecil di pintu akan segera masuk. Ia langsung berdiri tegak untuk angkat bicara dengan nada hati-hati seolah agar tidak menyinggung Mara.
"Maafkan Adikmu karena telah mengambil orang yang kamu sukai, Mara. Tapi, Ibu sudah bertemu dengannya langsung dan Ibu langsung tahu kalau dia benar-benar sangat menyukai Melody. Kamu sendiri tahu bahwa Melody sangat sulit mendapatkan yang dia inginkan sedari kecil karena keadaan kami yang sulit. Sedangkan kamu mungkin sudah memiliki segalanya. Untuk ini saja, tolong jangan ambil Ezel dari Melody." Luri menutup mulutnya menahan sedih.
"Ada apa?" Suara Wilson menginterupsi. Keningnya sudah mengerut melihat suasana tiga orang keluarganya itu menegang lagi. Selalu tak mengenakkan. Ia sudah sangat familiar dengan situasi ini.
"Ayah ... mungkin kakak tidak memaafkanku karena orang yang kak Mara sukai telah menyukaiku. Aku sungguh tidak tahu harus bagaimana. Kakak menyalahkanku atas lukanya saat ini karena katanya jika saja aku tidak mengambil orang yang kakak sukai, mungkin kakak tidak akan menyukai anak aneh itu sampai terluka." Melody menunduk dengan suara sesak menahan tangis.
Wilson memegang keningnya merasa sakit kepala. Apa karena masalah cinta monyet sampai bersitegang seperti ini?
"Mara—"
"Ayah, aku ingin istirahat. Aku merasa semakin tercekik melihat Ibu dan Adikku datang hanya untuk membuat masalah." Mara sudah muak dengan drama murahan seperti ini dan menghentikan pembicaraan.
"Mara, Ibu tidak—!"
"Bibi, aku tidak pernah atau tidak akan merebut apapun dari putrimu. Katamu aku sudah memiliki segalanya bukan?"
"!!" Mereka bertiga kaget dengan panggilan Mara terhadap Luri yang tiba-tiba. Baru kali ini dia memanggilnya 'bibi', yang semakin menjauhkan jarak dan lebih asing.
"Mara, ada apa denganmu? Panggil dia Ibumu!" Bagi Wilson, ini menjadi kesalahan besar. Bagaimana pun dia menikahi Luri agar Mara bisa memanggilnya ibu dan nyaman dengannya.
"Ibu? Apa dia pernah menjadi 'ibuku'? Dia hanya menjadi Ibu untuk putrinya sendiri, Melody! Aku hanya punya satu ibu, Ayah! Ibu yang melahirkanku, dan Ibu yang menyayangiku!" Mara tanpa sadar terbawa emosi dan matanya memerah berkaca-kaca.
"TAMARA!!" Urat-urat biru menonjol di leher dan pelipisnya menunjukkan betapa marahnya Wilson.
"AYAH!!" Mara membentak kembali tidak ingin kalah. Air matanya sudah luruh. Tangannya gemetar menahan untuk tetap tenang. "Apakah Ayah tahu? Ayah menikahi orang ini bukan agar dia menjadi Ibuku! Tidak lain untuk menghancurkanku! Kapan Ayah melihatku bahagia setelah mereka masuk ke dalam keluarga kita?"
Jantung Wilson berdenyut sakit dan memikirkan saat-saat di mana Mara yang terdiam di pojok saat hari pernikahannya. Dan memang sejak dia menikah, putrinya menjadi lebih tertutup meskipun ia selalu menyaksikan Luri mendekatinya dan menghiburnya. Namun, Mara terlihat sangat tidak menyukai mereka dan selalu menghindar meski dalam ruang satu atap.
Apa semua ini gara-gara keputusannya yang salah?
"Bip—Nilai baik Luri menurun 3. Sisa Nilai: 50."
Mara menutup wajahnya yang menangis. Semua ingatan menyedihkan bukan miliknya mulai terlintas satu persatu sehingga emosinya pecah. "Aku muak Ayah. Aku muak karena harus disalahkan atas kesalahan yang tidak aku lakukan. Ayah selalu memarahiku hanya karena manipulasi mereka dan menuduh tanpa bukti. Ayah selalu sibuk dan tak pernah melihat betapa menderitanya aku sendirian. Ayah tidak tahu betapa sakitnya aku karena tatapan hina orang-orang di sekolah karena rumor buruk yang Melody sebarkan tentangku. Aku... rasanya aku ingin mati saja ...."
Semua ekspresi tiga orang di ruangan itu sangat pucat karena alasan yang berbeda.
ganteng, gapura kabupaten, tiang listrik, bisa masak wkwkwk