Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba Menerima
Rencana meeting sekaligus liburan itu tidak mulus sesuai dugaanku. Malam harinya kami bertengkar karena kecemburuan Riko. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting, selalu dilontarkan dengan emosi. Mulai dari siapa yang duduk di sebelahku, sampai kepala cabang yang katanya terlihat menyukaiku. Tubuh yang tadinya ingin beristirahat, dipaksa tetap tegak menanggapi ocehan Riko yang selalu sama.
Rasanya, berkali-kali aku sudah membicarakan soal kepercayaan. Bahwa dasar dari sebuah hubungan adalah kepercayaan. Tapi Riko menjadi sosok yang bebal. Ungkapan hatiku selama ini tidak juga dia renungkan.
Sejak pandemi melanda Indonesia, aku bekerja dari rumah. Semua materi dan sosialisasi program kulakukan secara daring. Untunglah internet di rumah masih lancar. Sejak itu, aku sudah tidak pernah berkumpul lagi bersama teman-teman kantor. Rencana awal untuk berkumpul besama Ibu dan Aksa, otomatis gagal. Tentu saja Aksa sedih, semua yang ia harapkan tidak menjadi kenyataan.
Aku semakin jauh dengan Aksa. Riko, tidak juga menyediakan waktu untuk mengantarku. Sedangkan setiap kali aku ingin pergi sendiri, Riko selalu keberatan. Berbagai alasan ia ciptakan. Mulai dari pekerjaan dan lain-lain.
“Gini aja Mas, kamu kan sibuk, jadi aku cukup di antar ke rumah Ibu. Minggu depan kamu bisa jemput aku lagi kan?”
“Gak bisa. Ya sudah kamu mau berapa hari di sana? Tiga hari cukup? aku tutup saja tokonya.”
Dengan mudahnya Riko meliburkan usahanya demi mengantarku ke Bogor dan ikut menginap di sana. Dia tidak berpikir jika dia tidak buka toko, maka tidak akan ada penghasilan. Dan seperti biasa, aku yang harus menanggung kebutuhan kami. Alhasil, aku kembali mengalah dengan tetap diam di rumah. Lebih baik kutransfer sisa uang yang kumiliki untuk biaya hidup Ibu dan Aksa.
“Jadi gimana Eyang? Masa saya harus pindah?”
Suara Riko begitu menggelegar sampai ke kamar tidur. Sepertinya ia sedang berbicara dengan ibunya melalui telepon. Berbicara soal suara, perlu diketahui, sepanjang hidup Riko, mungkin hanya beberapa bulan saja dia berbicara santun. Sebelum menikah denganku tentunya. Selebihnya, suara Riko seperti luapan amarah dan kekesalan. Bentakan dan teriakan tidak pernah padam di rumah ini. Lambat laun, aku juga tertular dengan kebiasaannya itu.
“Ya terus gimana? Rumah saya? Kemarin sudah selesai yang ngontrak. Ga usah disewakan lagi, nanti rumahnya rusak!”
Terdengar suara Riko dari dapur. Lalu pecahan asbak dan gelas, semakin meramaikan suasana rumah malam itu. Untungnya, pemukiman ini sangat individual, dan mungkin juga suara kami tidak pernah terdengar sampai ke tetangga sebelah.
“Rainaa!” Tidak lama Riko berteriak, seakan terjadi gempa bumi dan badai tsunami. Aku menghampirinya dengan santai. Semakin hari, aku semakin menikmati setiap penderitaan yang Riko alami.
“Kenapa? Tanyaku sambil membersihkan pecahan kaca dan mencuci gelas yang kotor. Di rumah ini, sejak dulu, sebelum penghuninya hanya tinggal kami bertiga, semua anggota keluarga memiliki satu kebiasaan sama. Mengambil gelas baru setiap kali minum. Dan hari itu, seperti biasa aku menjadi upik abu sambil menunggu sang suami mengeluhkan sesuatu.
“Eyang bilang dia sudah tidak sanggup menyewa ruko untuk usaha aku. Minggu depan ruko itu habis dan aku terpaksa buka usaha di garasi depan.”
“Terus?” Tanyaku sambil membersihkan abu rokok yang tercecer di lantai.
“Karyawan juga harus diberhentikan. Lalu rumahku harus disewakan lagi untuk membayar cicilan pinjaman ke Bank. Kalaupun disewakan, paling uangnya cukup untuk empat kali cicilan.”
“Ya enggak apa-apa dong Mas. Baguslah, berarti sudah saatnya kita mandiri. Jangan menggantungkan hidup pada orangtua.”
Riko terdiam lalu berlalu ke kamar dan membanting pintu. Tidak dipikirkannya Arkana yang sedang tidur. Aku tersenyum dalam hati, sudah lama aku menantikan hal seperti ini. Aku ingin menggali kemampuan Riko menyelesaikan masalah tanpa bantuan dari orangtuanya.
Sementara itu, hari-hari berlalu begitu cepat. Arkana, Aksa, dan Alka semakin besar. Aku tetap disibukkan dengan pekerjaan. Di sela-sela kerewelan Arkana, sebisa mungkin aku tetap bertahan dengan pekerjaanku. Kalau aku menyerah, aku tidak akan memiliki pegangan sama sekali. Meskipun gaji yang diberikan jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, tapi aku sangat bersyukur dengan pekerjaan ini.
Dalam rutinitas yang terasa semakin lelah, sesekali aku mencari tahu soal Krisna. Aku membaca beberapa berita soal kematiannya. Aku juga menghubungi Dini dan mengabarkan kejadian lalu, bahwa aku tidak menemukan kuburan Krisna. Tapi Dini semakin menghindar ketika aku bertanya soal Krisna. Aku merasa semakin aneh dan meragukan kematian Krisna. Aku hanya bisa mengenang Krisna dalam mimpi-mimpiku.
Begitulah hidup, terkadang manusia harus berdiri di antara mimpi dan realita. Seperti kenyataan pernikahanku yang lambat laun kuterima.
Setelah usaha Riko pindah di depan rumah, ia menjual mobil dan beberapa motor yang sebelumnya dipajang di ruko itu. Riko memutuskan untuk melanjutkan bisnis jual-beli motor dan sparepart. Ditatanya dua buah etalase dan beberapa perlengkapan lain di carpot depan. Sedangkan barang-barang yang tidak terpakai, ditaruhnya di dalam garasi yang cukup menampung satu mobil itu.
Tentu saja rumah yang kami tempati menjadi sempit dan tak beraturan. Setiap aku menyarankan untuk menjual barang-barang yang tidak terpakai, Riko selalu marah. Dia pikir, etalase bobrok dan besi-besi di garasi itu akan berubah menjadi emas. Riko sering menaruh barang-barang secara sembarangan. Helm-helm bertebaran di setiap ruangan. Dua buah di teras, dua buah di dapur, tiga buah di lantai atas. Aku sendiri bingung, untuk apa helm yang butut itu dipajang-pajang.
Pertama kali Riko membawaku ke rumah ini, teras depan adalah tempat favoritku. Dari kursi rotan itu, aku bisa duduk sambil menunggu buah mangga jatuh. Halamannya begitu asri, dengan tanaman hias berwarna-warni. Tentu saja, dulu masih ada pembantu, halaman itu selalu bersih meski daun-daunnya sering gugur tertiup angina dan hujan. Namun berbeda dengan hari ini. Teras rumah itu sudah menjadi sarang tikus. Dan memang binatang itu seperti betah bersembunyi di antara tumpukan ban, selang, dan sepeda motor.
“Kenapa sih enggak diberesin biar rapi?” tanya Ria setiap kali berkunjung ke rumah dan mengeluh karena susah memarkirkan motornya.
“Jangankan diberesin, nggak boleh disentuh!” jawabku sambil tertawa.
Faktanya memang begitu. Setiap kali aku menawarkan diri untuk bebenah garasi atau carpot, Riko selalu menolak dan marah. Di matanya, benda-benda usahanya itu seperti berlian yang tak boleh disentuh.
Setiap pagi, aku selalu menyapu halaman dan membuang puntung rokok yang dilempar ke dalam pot. Padahal, aku sudah menyediakan asbak di samping kursi rotan. Tetapi puntung rokok itu seolah menemukan tempat paling nyaman di dalam pot bunga. Bukan sekali aku memngingatkan soal puntung rokok yang membuatku darah tinggi. Tapi Riko memiliki kata-kata ampuh yang diulang-ulang setiap kali aku marah.
“Maafin aku, janji, ini yang terakhir!”