Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?
Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.
...
Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran
"Safira, ada kak Gavin di luar." Ester datang ke mejanya.
Sekarang jam istirahat dan hanya mereka berempat yang ada di kelas.
"Aku lagi ngerjain tugas ini dulu. Lain kali aja." Safira menunjuk laptop-nya, dan pandangannya tidak lepas menatap benda itu. Padahal itu tugas untuk dikumpulkan minggu depan.
"Safira, please, jangan kaya gini. Kita harus bicara." Gavin menerobos masuk ke dalam kelas.
"Kak, Safira gak mau diganggu." Lisa bersama Frisca menahan tubuh Gavin sebelum lelaki itu berhasil mencapai meja Safira.
"Tapi dia kaya gini berbulan-bulan, Lisa. Aku harus ngomong sama dia, sekali aja, please." Gavin tentu saja sangat frustasi.
Frisca menatap Lisa meminta keputusan. Jujur ia kasihan, lelaki yang biasanya kalem dan manis kini jauh dari kata itu. Dan Lisa pun menggeleng. Mereka harus menghormati keputusan Safira.
"Maaf, kak. Nanti kita bantu bicara sama Safira."
Gavin melirik ke dalam cukup lama. "Tolong, ya. Aku cuma bisa ngandelin kalian sekarang. Kasih tahu Safira kalau aku kangen banget sama dia."
Suara Gavin cukup keras hingga terdengar ke dalam. Safira mengetik dengan air mata yang beruraian. Terhitung sudah tiga bulan sejak ia selamat dari operasinya, sejak itu pula ia enggan bertemu Gavin. Di rumah mungkin gampang saja dengan melarang siapa pun membuka pintu untuk Gavin, tapi seminggu ini di sekolah sulit menahan lelaki itu datang menemuinya. Gavin selalu saja ke kelas, bahkan ia tidak pergi ke ruangan pribadinya takut lelaki itu juga ada di sana. Safira sangat sedih tentu saja, tapi hatinya masih belum siap.
Ketiga temannya berdiri di samping-nya seraya memberikan usapan lembut di punggungnya. Hal itu semakin membuat Safira menangis.
"Udah, dong, Saf. Semakin kamu nangis gini, aku makin pengen ngelabrak itu cewek." Lisa berucap dengan wajah yang ingin ikut menangis.
"Kamu jangan bikin Safira tambah inget sama dia." Ester memperingatkan.
"Kamu tenang aja, kita bakal jagain kamu dari mereka." Ketiganya mengangguk setuju dengan perkataan Frisca.
.
.
Untuk pertama kalinya di tahun ini, Safira diminta makan malam bersama kedua orang tuanya. Harusnya ia bahagia, ini hari yang selalu dimimpikan. Tapi dengan status hubungannya bersama Gavin saat ini, ia tidak bisa bahagia seutuhnya.
"Tumben dia gak main ke sini. Ada apa?" Ibunya bertanya setelah menyesap segelas wine.
"Kak Gavin sibuk belajar," jawab Safira bohong.
"Ya, ada bagusnya juga kalau dia lebih fokus." Ayahnya berkata.
"Sekarang kamu sudah sembuh. Kamu bisa menyingkirkan dia kalau mau. Pria yang mau sama kamu itu banyak Safira, Ibu akan kenalkan mereka nanti." Ibunya tersenyum penuh antusias dengan semua rencananya.
Ini pertama kali Ibunya tersenyum ketika membicarakannya, tapi semata karna perjodohan. Safira tersenyum getir lantas berkata, "operasinya 'kan bisa jadi gagal, kalau Ibu lupa. Lagian, apa Ibu rela aku menikah dengan lelaki yang tidak kucintai? Gimana kalau dia gak cinta sama Safira? Gimana kalau dia cuma mau harta keluarga Halim? Ibu gak masalah dengan itu?"
Kedua orang tuanya terdiam mendengar luapan emosi Safira. Sekarang Ibunya tersenyum ejek. "Kamu pikir apa bedanya lelaki yang Ibu kenalkan dengan Gavin yang kamu puja itu? Mereka cuma butuh uang keluarga Halim. Setidaknya, mereka bukan tukang selingkuh. Latar belakang mereka baik-baik. Ibu sudah pastikan, clear."
Safira tanpa sadar terisak mendengar kalimat dari Ibunya. Semuanya benar kenyataan, tapi perasaan cintanya untuk Gavin bukanlah kebohongan.
"Ibu kamu benar. Kamu bisa pertimbangkan kembali, atau membuat semuanya jadi jelas. Keluarga kita tidak bisa selamanya main halus." Ayahnya seakan memberinya penekanan.
"Kamu tenang aja, Ibu akan pastikan operasi kamu bukan kegagalan." Setelah berkata demikian Ibunya pergi disusul Ayahnya.
Safira terus menangis di meja makan. Kenapa keluarganya berbeda? Tidak ada pelukan hangat atau sekedar perkataan manis dari kedua orang tuanya.
.
.
Gavin membuka pintu rumahnya yang disambut dengan Mamanya bermuka masam. Mamanya berkacak pinggang berdiri di ruang tamu.
"Ma," sapa Gavin sekenanya.
"Tumben inget pulang, biasanya juga selingkuh mulu di tempat baru kamu." Perkataan jutek Mamanya membuat Gavin urung menaiki tangga.
"Ma, ini 'tuh salah paham."
"Apa perlu Mama yang urus cewek itu?"
"Jangan! Mama gak akan berani."
Mamanya melotot. "Kamu nantangin Mama, ya?"
Gavin menarik napas. "Bukan, Ma. Karna kalian itu salah paham. Jangan libatkan orang lain, please!"
"Kamu lihat Safira sekarang. Dia gak mau ketemu sama kamu karna kelakuan menjijikkan itu," Mamanya menunjuk Gavin, "semuanya gara-gara kamu kalau sampai Safira memilih orang lain."
Gavin terdiam. "M-maksud Mama?"
"Ibunya ada telepon Mama, dia omongin semua kelakuan kamu. Katanya karna Safira sudah sembuh, jadi mereka gak butuh kamu lagi. Mungkin mereka akan cari kandidat lain."
"Jadi Mama lebih milih percaya omongan orang lain daripada tanya langsung sama Gavin?"
"'kan gara-gara kamu yang udah sembunyiin banyak hal dari Mama."
"Itu karna Mama dan Papa gak pernah nanya perasaan aku. Kalian seolah gak peduli." Gavin keluar dari rumahnya meninggalkan Mamanya yang berteriak memanggil namanya.
Gavin masuk ke mobil lantas memukul setir sekerasnya diikuti umpatan kasar. Pikirannya dipenuhi dengan kemungkinan Safira akan pergi lagi. Sudah cukup waktu itu ia panik kala operasinya, sekarang Safira akan menjauh lagi.
.
.
Sore ini Safira ingin menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah, jadi ia putuskan pergi ke ruangan pribadinya. Mungkin Gavin sibuk hari ini, sejak pagi ia tidak mendapati lelaki itu berusaha menemuinya lagi. Ia jadi lega dan agak sedih. Tapi itu tidak terlalu penting sekarang.
Safira baru saja memasuki ruangannya saat seseorang tetiba menariknya lantas menutup pintu dari dalam. Ia hendak berteriak tapi mulutnya dibekap si pelaku. Tubuhnya pun ditahan ke pintu saat ia terus berniat melawan.
"Ssstt... ini aku, sayang." Safira menatap nyalang si pelaku yang ternyata Gavin.
Gavin melepaskan tangannya setelah melihat Safira mulai tenang.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Tanya Safira bingung.
"Sebenarnya aku punya kunci cadangan." Safira pun hendak membuka pintu tapi kali ini kedua tangannya ditahan Gavin.
"Safira, please, kita butuh bicara." Gavin memohon.
"Kamu yang butuh, aku enggak. Lepasin gak!"
"Safira kamu harus dengerin aku dulu. Aku bisa jelasin masalah ciuman yang selama ini kamu salah pahami."
"Ini bukan cuma masalah ciuman itu, sialan!"
Gavin sontak memundurkan langkahnya. Ia terkejut dengan teriakan Safira yang pertama kalinya ini.
Safira kembali melanjutkan, "kamu menganggap sepele masalah ini, padahal kamu gak tahu apa artinya buat aku. Laki-laki yang selama ini aku cintai, yang aku jaga dengan baik, gimana bisa diambil orang lain? Apa kamu gak mikirin gimana perasaan aku, hah?!"
Safira mulai menangis dan jam tangannya berbunyi. Gavin pun panik. "Hey, kamu gak apa-apa 'kan? Tarik napas, sayang."
Safira mengikuti arahan Gavin hingga detak jantungnya kembali stabil, meski mustahil dalam situasi yang membuatnya emosi sekarang ini.
Gavin membawa Safira dalam pelukannya. "Maaf, aku gak bermaksud bikin kamu sakit. Safira, kalau yang kamu permasalahkan itu ciuman, sebenarnya orang pertama bagiku itu kamu."
"A-apa?"
"Sebenarnya aku berniat merahasiakan ini sampai kita menikah, atau paling cepat saat pertunangan kita nanti. Tapi mengingat situasi saat ini aku harus jujur sekarang sama kamu."
"J-jujur apa?"
Gavin semakin mengeratkan pelukannya, menahan Safira yang pasti ingin menatapnya. "Kita udah pernah ciuman."
"C-ciuman? T-tapi aku gak..."
"Lebih tepatnya aku yang cium kamu. Beberapa bulan lalu sore hari di ruang belajar. A-aku juga punya fotonya," Gavin menghela napas. "Harusnya aku jujur sejak awal. Waktu itu kamu tidur jadi kupikir ciumanku tidak akan termasuk hitungan kita. Maaf, aku gak minta izin dulu."
Safira kehilangan kata-kata. Kenapa jadi begini? Lalu untuk apa sikapnya kemarin-kemarin? Tadinya ia pikir dirinya kalah dari Maura. Ia kira Gavin perlahan berpaling.
"Bodoh," gumam Safira.
"Iya, aku minta maaf."
"Bukan kakak, tapi aku."
"Syukur kalau gitu."
.
.
Mereka menghabiskan waktu di ruang belajar rumah Safira hingga langit perlahan merubah warnanya. Safira bersandar di bahu Gavin yang sedang membaca data perusahaan di iPad miliknya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak merasakan bahu lelaki itu. Betapa ia merindukan kebersamaan mereka seperti ini lagi. Ternyata selama ini dirinya lah yang bersikap bodoh. Betapa memalukannya itu.
"Kak," panggil Safira.
Gavin bergumam untuk menjawabnya.
"Yang di foto itu..." Safira terdiam sebentar sebelum melanjutkan, "cuacanya seperti hari ini 'kan?"
Gavin dengan perlahan berpindah posisi, iPad-nya ia simpan di samping. Ditatapnya Safira yang kini tengah menatapnya. Ia seolah meminta izin yang dibalas anggukkan oleh Safira. Mereka bertatapan cukup lama sampai dirinya meraih dagu gadis itu dan menyatukan bibir mereka perlahan. Hanya sebuah kecupan lembut. Ia membuka mata, tapi gadis itu masih menutup matanya.
"Lain kali aku gak akan biarin kamu yang minta."
Safira tersenyum lantas mengangguk. Gavin kembali menyatukan bibir mereka dan memberikan pagutan kecil, secara alamiah Safira membalasnya. Cukup lama, hingga jam di tangan Safira berbunyi.
"Hey, kamu baik-baik aja 'kan?"
Safira tersenyum. "Maaf, aku deg-degan."
Gavin pun memeluknya erat. "Kita lanjut nanti aja."
.
.
TBC