NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

"Terima kasih banyak, Mas." Gita melambaikan tangan usai ia diturunkan, berdiri menghadap mobil kerjanya yang melaju lagi setelah memberikan bunyi klakson.

Gita melihat teras rumahnya telah kosong, dibuktikan motor satu-satunya yang berharga pun belum kembali karena Kakak pulang malam. Dilanjutkan penutup garasi bergaris-garis, Gita membuka paksa. Lampu dinyalakan, memunculkan sebuah sepeda usang berdebu.

Pemikiran ide baru muncul liar di pikirannya. Sepeda lama? Bagusnya digunakan untuk berolahraga. Siapa tahu nantinya berpapasan dengan penjual makanan bahkan warung sayur mayur. 

Anggukan kepala sepertinya menyetujui apa yang akan Gita lakukan dengan benda yang pernah dibeli Ayahnya sewaktu ulang tahun putri keduanya yang berusia sebelas tahun. 

Bukan sepeda wanita dengan keranjang pada bagian depan, tetapi sepeda merah dengan tempelan UNITED dengan tampilan laki-laki gagah pemberani yang biasanya bermain memakai celana pendek, sering mengganggu teman-temannya yang tidak memiliki sepeda.

Sudah susah payah Ayahnya membelikan menggunakan uang kerja keras yang dikumpulkan, seharusnya dia memahami perjuangan darinya. Namun ia selalu gagal melakukannya karena pekerjaan sekolah yang selalu menumpuk dan dua hari selanjutnya adalah puncak kehidupan kebebasan yang didambakan.

Benar. Hari libur adalah sebuah mimpi sejuta umat.

Bergeser paling dalam dari sebuah gudang, kali ini Gita membuka pintu yang terhubung antara ruangan ini kepada ruangan baru. Langsung menuju area dapur, diteruskan ruang keluarga yang seperti ruang tamu dan berakhir tangga-tangga di atas kepalanya. 

Lampu tengah ditekan cepat sebelum matahari hendak tenggelam menghilang. Melepaskan tas yang dipikul, Gita berjalan menuju pintu kulkas. Tidak tau mengapa harus seperti itu. Seperti terdapat bisikan yang menyuruhnya membuka pintu dingin.

"Tidak ada yang menarik," pinta perempuan tergerai rambut setelah rasa kecewa akan kepastian sesuatu yang dinantikan.

Menutup ulang karena kekesalan Kakaknya yang lupa mengisi persediaan makanan di rumah, Gita memikirkan sepeda lama.

Semakin cepat dan cepat, gerakan jalan mengalihkan perhatian untuk bersiap diri dan mengganti pakaian menggunakan pakaian rumah sederhana. Topi dipakai, dimiringkan karena tidak suka ketika orang lain melihat rambut hitamnya yang mengembang.

Setelah mengambil uang yang dikumpulkan dari penjualan gelang, Gita telah siap berkemas diri. Menggembirakan dan berbahagia karena Gita tidak selalu menggunakan uang toples.

Pintu dibuka lagi, menurunkan sandaran sepeda, menaiki dudukan keras dan sekarang perempuan itu bertemu ke dunia luar seperti belajar keluar dari goa lama.

Dengan napas berat dikeluarkan, Gita memulai perjalanan mencari bahan-bahan makanan. Menatap pemandangan lapangan bola bagi anak-anak kecil sebelum mereka memasuki dunia kejam, rumah-rumah warga dengan penutup besar, kucing-kucing luar mengais sesuatu yang bisa diisi dalam perutnya, para pengguna jalan yang mengebut.

Belokan dan belokan diteruskan hingga menyentuh jalanan besar, melewati warung-warung makan dengan pembeli yang menunggu sabar, Gita berhenti pada kedai kelontong tanpa berlantai.

"Semoga saja ada barang yang diskon," Gita melihat papan nama toko sederhana "sembilan puluh sembilan" menempel pada plang penanda toko tanpa adanya cahaya penerang.

Pintu setengah terbuka sejak awal menanti kedatangan anak muda berbaju rumah sederhana.

Disambut dengan pendatang yang kebanyakan orang-orang berkantor, Gita menelan ludah dan berjalan santai. Mengambil keranjang merah, beralih arah menuju rak-rak barang.

Gita menggaruk kepala karena tidak paham barang apa saja yang harus dibutuhkan untuk rumahnya. Tidak ada list belanja dimana kegiatan itu sangat penting dilakukan agar tidak salah mengambil barang.

"Kalau begitu, lihat-lihat saja," Suara perempuan terdengar menyerah karena tidak tau apa yang akan diambil ke dalam keranjangnya.

Menaikkan ujung sandal hingga dapat mencapai bagian rak tertinggi, mata selalu bergerak melirik mana saja yang menurutnya bagus untuk dibeli.

Akhir dari pencarian sesuatu hari ini adalah mengincar yang paling diingat, yakni bagian mie instant. Perlu dibeli karena dibutuhkan ketika tidak ada sesuatu yang bisa dimakan pada tengah malam maupun bosan mengonsumsi lauk-lauk selama berhari-hari. Selain dari itu semua, dia memilih dua kripik siap saji dan mie instant sebanyak tiga bungkus.

Terkadang seseorang akan dipertemukan dengan kejadian yang tidak akan dipercaya. Dunia semakin sempit, bukan?

Tidak ada ruang chat, tidak ada percakapan tentang apa yang mereka lakukan setelah pulang sekolah, tidak ada perjanjian yang dilakukan. Namun tiba-tiba saja mereka bertemu.

"Ini saja, mbak," ucap Gita sedang menunduk membuka dompet setelah keranjang merah dinaikkan sampai menyentuh meja panjang.

"Apa ada lagi yang ingin ditambahkan... Suara berat menggantung akan tawaran itu. "Mbak Gita?"

Panggilan nama menggugah penglihatan untuk segera melihat siapa yang memanggil lantang disaat para pelanggan mengantri di belakang perempuan itu.

"Bian?" Mata selalu tertuju kepada wajah yang dikenali. "Kau bekerja disini?"

Bian mengangguk karena ia tidak ingin terlalu lelah dalam hal berbicara.

"Sejak kapan? Sebelumnya tidak pernah ada murid sekolah bekerja di tempat ini. Kau bahkan tidak mau memberitahu temanmu sendiri kalau sekarang bekerja sampingan disini."

"Dua minggu yang lalu." Bian mendekati barang hasil pencarian Gita menuju infra merah. Daftar pembelian barang temannya berada di layar komputer.

Mereka berdua berhenti berbicara. Membisu karena orang-orang melirik tingkah kami, mendengar percakapan anak kecil.

Gita menunduk lagi karena malu, tetapi Bian memulai bicaranya lagi. "Mie instant tidak baik dikonsumsi setiap hari. Jangan setiap malam."

Mengangguk lagi mengerti digerakkan dari Gita dan memberikan uang seperti yang dikatakan teman lamanya.

Kembalian uang diambil dan mereka berpisah lagi.

Gita memalingkan pandangan menuju Bian yang memberi senyuman pendek selama dia berdiri mendekati pintu bangunan.

"Go." Gerakan mulut dicondongkan menyatu depan, memberi isyarat agar ia lekas pergi.

Dia tidak tau perasaan apa yang harus dirasakan sore itu. Bahagia atau terkejut? Atau sedih karena mungkin ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang berharap banyak kepada laki-laki itu.

Gita tidak tau silsilah keluarganya.

Tetapi tetap sama-sama berjuang mencari uang adalah hal yang benar dibandingkan miskin lalu memarahi orang hanya karena memaksa meminta makanan yang dimiliki perempuan ini, seperti yang ditemui Gita sewaktu duduk makan siang.

Sungguh heran anak laki-laki bernama Kael jika harus bertemu lagi dengannya. Tidak seperti ketua kelas yang selalu membelanya.

Bekerja paruh waktu tidaklah mudah. Mengharuskan mengatur jadwal kehidupan sekolahnya, kehidupan rumah yang ia tinggali termasuk kedua orang tua yang harus selalu dirawat dan mungkin saja dia memiliki adik-adiknya yang harus membayar tagihan sekolah, pekerjaan yang diambil, menghadapi anggota kelasnya yang memusingkan.

Sejenak menghirup aroma udara asap knalpot hasil motor-motor yang dipakai orang-orang setelah pulang dari tempat kerjanya, Gita memutar sepeda merah.

Pedal digerakkan cepat karena mobil  dibelakang selalu menunggunya. Karena takut, dirinya mendekati diri samping pinggir-pinggir jalanan beraspal.

Sampai ia berhasil menyentuh jalan dengan paving block, maka ia telah menyentuh wilayah yang aman karena daerah itu merupakan asal rumahnya.

Meneruskan hingga masuk ke dalam seluk-beluk rumah-rumah lain, Gita berhenti pada gerbang itu.

Cat putih menyeluruh dengan tempelan nomor RT/RW yang tertera melekat. Pintu coklat pada bagian depan dan satu gerbang disampingnya selalu menonjol.

Tidak ada rumah seperti itu di daerah ini, selain tempat tinggal yang dihuni Kakak Beradik seperti Gita.

Rumah dua lantai konon kata Nenek bisa bergoyang sendiri. Yang Gita ingat dari ucapan Nenek sebelum kepergiannya adalah rumah ini dapat bergerak sendiri karena merasakan kesedihan.

Apakah itu benar?

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!