NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TANYA

DUA minggu ini seharusnya menjadi minggu minggu yang tenang bagi Nara. Tidak ada gangguan menyebalkan yang membuatnya ingin selalu marah marah. Tidak ada yang suka mengejeknya anak kecil. Tidak ada yang suka mengejeknya cengeng. Karena Yesha tidak masuk sekolah selama dua minggu ini. Dia sedang mengikuti kompetisi diluar kota. Mungkin dia terus lolos disetiap babaknya, jadi terus berkompetisi hingga dua minggu ini belum kelihatan batang hidungnya.

Tapi justru itu. Dua minggu ini justru terasa sepi bagi Nara—dan semua fans Yesha. Rasanya aneh tidak melihat lelaki itu dikelas. Aneh melihatnya tidak bisa ditemukan diruang musik. Lebih aneh lagi melihat Hananta, Jean, dan Ryan hanya bertiga. Tuan Muda mereka belum bisa bergabung. Nara tidak tahu apa yang membuat itu semua terasa ganjil, hanya saja sepertinya ia sudah terbiasa melihat Yesha setiap hari. Sekarang? Bayangannya saja tidak nampak.

“Lo aneh tahu, Ra, minggu minggu ini.” Cetus Rania saat dirinya dan Nara sedang berjalan menuju kelas Tasya dan Laudy, sekalian ke kantin.

Nara menoleh. Aneh apanya?

“Aneh gini. Gak banyak omong, terus juga sering ngelamun,” Ucap Rania, matanya menatap Nara menyelidik. “Gara gara nggak ada Yesha ya?”

Nara melotot. “Dih, nggak ngaruh ya!”

“Lo kangen Yesha, Ra?”

“NGARANG!” Semprot Nara tidak terima.

Rania tertawa melihat wajah Nara yang terlipat. Niat jahilnya untuk menggoda Nara tentang Yesha menjadi seru akhir akhir ini. Hanya Rania yang selalu melakukan itu, ia juga tahu Tasya sangat menyukai Yesha. Mulutnya tidak ember kok untuk mengatakan apapun tentang Yesha dan Nara pada Tasya dan Laudy.

“Sepi ya, Ra, nggak ada Yesha? Gak ada yang jahil sama lo, gak ada yang bikin lo marah marah terus.”

“Lo ngomong apa, sih?” Ekspresi Nara memprotes keras ucapan Rania. Bukan. Bukan karena gadis itu menggodanya tentang Yesha. Tapi karena tidak terima pikirannya telah dibaca dengan mudah oleh Rania.

“Yesha itu suka sama lo tahu—”

“Berisik, Ran! Nanti orang orang denger gue yang digebukin.”

Rania tertawa lagi, “Jadi beneran Yesha suka sama lo? Udah confess?”

“Heh mulut lo ya!”

“ADUH!” Rania memegangi lengannya yang ditampol Nara tanpa perasaan.

Nara melotot hingga Rania rasa matanya bisa loncat dan meninju Rania detik ini juga. Wajah Nara merah padam. Masalahnya kan hampir semua orang disini adalah penggemar Yesha, Nara tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka semua kalau tahu Yesha menyukai Nara. Eh, bukan begitu maksudnya. Memangnya Yesha sungguhan menyukai Nara?

“Emang harus se-salting itu ya, Ra?” Rania tampaknya enggan menghentikan aksi menggoda Nara.

Untunglah mereka cepat bertemu dengan Tasya dan Laudy, membuat Rania mau tidak mau harus mengunci mulutnya kalau tidak mau terjadi perang dunia antara Tasya dan Nara. Aduh, Rania jadi membayangkan bagaimana reaksi Tasya kalau tahu ternyata Yesha malah menyukai sepupu dekatnya.

...***...

Kamar hotel VIP dengan satu kasur king size ditengah ruangannya itu tampak sepi. Sedikit berantakan karena si penghuni yang tidak sempat membereskannya. Tadi pagi dia nyaris terlambat mengikuti babak semi final.

Suara tit! pelan terdengar. Gagang pintu digital menunjukkan lampu hijau. Tak lama setelahnya pintu itu dibuka dari arah luar. Yesha masuk dengan wajah lelah. Seharian sibuk berlatih dan kompetisi menegangkan tadi cukup menguras tenaga dan emosi.

Yesha menaruh sepatunya asal. Memasuki kamar dengan langkah gontai. Kamarnya masih berantakan seperti tadi pagi. Walaupun Yesha tidak sendiri disini, tetap saja tidak sopan membiarkan guru les piano yang membimbingnya membereskan kamar, walau sempat ditawari bantuan, Yesha tetap menggeleng. Bilang akan membereskannya sendiri. Walaupun pada akhirnya tidak juga dilakukannya.

Semua kompetisi ini diurus oleh guru les piano Yesha. Dari mulai pendaftaran, hingga menemani Yesha kompetisi. Gurunya tetap ikut serta memberi dukungan. Kamarnya berada tepat dikamar samping Yesha.

Lelaki itu menaruh tas jinjing, menarik lepas pakaian bagian atasnya lalu menaruhnya asal dikeranjang cucian. Ia masuk ke kamar mandi, membersihkan diri dengan cepat.

Wangi sabun mandi menyeruak saat Yesha baru saja keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian. Ia duduk diujung kasur, mengambil ponselnya yang tergeletak disana. Sebuah pesan masuk membuat Yesha tersenyum, bahkan lelahnya hilang saat itu juga.

Ibu jari Yesha segera mengetik balasan. Dua minggu ini hal sekecil apapun, perhatian sekecil apapun dari Nara selalu bisa mengembalikan semangat Yesha.

Kedua sudut bibir Yesha semakin tertarik sempurna. Ia merebahkan tubuh. Semakin larut dalam percakapan bersama Nara.

Setengah jam kemudian. Sebuah pesan lain tersangkut di ponsel Yesha. Pesan dari salah seorang pekerja dirumah Yesha yang hanya sedikit lebih tua darinya. Pesan yang Yesha tunggu sejak hari kemarin.

...***...

“Ra!”

“Iya?” Nara menyahut setengah berteriak. Suara Agatha menggema hingga kedalam kamarnya. Kepalanya menoleh ke arah pintu.

“Sini dulu!”

Nara mengecek dahulu roomchat WhatsApp-nya. Belum ada balasan dari Yesha sejak lima belas menit lalu. Lelaki itu ketiduran atau apa? Nara meninggalkan ponselnya diatas kasur, beranjak dari kamar, turun ke lantai bawah.

Diruang tengah, dua koper besar dan beberapa tas jinjing terlihat sudah disiapkan dekat sofa. Mamanya memang hendak pergi keluar kota untuk mengerjakan sebuah proyek besar yang diterima butik. Dan Agatha akan menemani Varida hingga proyek itu selesai selama satu minggu. Resikonya, Nara ditinggal sendirian dirumah.

“Mama sama Kak Agatha berangkat sekarang?” Tanya Nara saat baru menginjak lantai satu.

“Iya. Besok pagi harus ikut acara pembukaan, kalau dinanti nanti, mama takut telat.” Jawab Varida selagi membenahi tas jinjingnya. Memasukkan beberapa keperluan, mengecek ini dan itu.

Nara cemberut, “Nara beneran nggak boleh ikut, ma?”

“Gak boleh, sebentar lagi kamu, kan, ulangan semester, sekolah aja yang bener.” Agatha yang menjawab. Tampak sudah siap dengan koper dan tasnya.

“Kakak kenapa ikut? Nggak kuliah?” Nara masih protes.

“Libur dong.” Agatha membuat muka menyebalkan, meledek adiknya.

Wajah Nara terlipat. “Curang.”

“Kamu nggak apa apa sendirian dirumah, Ra? Kalau takut mama bisa minta tolong tante buat nemenin kamu, sekalian Tasya nginep disini biar kamu ada teman.” Varida menatap Nara yang masih dengan wajah betenya. Ia ingin sekali ikut.

“Mending Nara ikut, ma.”

“Nggak bisa. Kamu ikut cuma mau liburan, kan? Sebentar lagi ulangan semester, gak boleh bolos bolos.”

“Nara nggak bolos. Bantuin mama.”

“Ada kakak kamu yang bantuin mama, kamu disini sekolah aja. Gak ada ikut ikut.” Putus Varida final. Tidak bisa diganggu gugat lagi.

Nara semakin cemberut. Sulit sekali membujuk mamanya dari kemarin. Padahal Nara sudah beberapa kali merengek, bersikeras ingin ikut pergi. Tapi tetap tidak berhasil.

Agatha memeletkan lidahnya, tertawa melihat wajah kusut Nara.

“Kamu benar mau dirumah sendirian?”

Nara mengangguk malas malasan.

“Atau mau nginep dirumah Tasya aja? Atau mama bisa minta tantemu yang nginep disini, biar kamu ada temennya.” Tante yang dimaksud Varida adalah mama Tasya. Jadi kalau mamanya menginap dirumah Nara, otomatis Tasya akan ikut serta.

Nara menggeleng, “Nggak usah, Nara bisa sendiri.”

“Besok sarapan mama udah siapkan makanan setengah jadi dikulkas, tinggal kamu panasin, sama buat seminggu kedepan. Kamu jangan telat makan.”

“Iya.” Nara menjawab malas.

“Besok jangan telat bangun ya, Ra.” Agatha mengingatkan.

Nara mendelik pada kakaknya, masih tidak terima ia tidak diajak.

“Awas hati hati kamu, jangan mentang mentang mama sama kakak kamu gak ada dirumah kamu pulang seenaknya. Jangan keluyuran malam, pulang tepat waktu, sebelum tidur kunci pintu sama jendela, jangan masukin orang nggak dikenal kerumah. Nanti sesekali mama minta tantemu buat ngecek kesini, ya?”

Nara menghela napas. Mamanya bawel sekali. “Iya, ma, Nara tahu.”

“Yaudah, Gatha bawain tas jinjing yang satu itu.” Varida menunjuk satu tas diujung sofa.

“Siap ma.” Agatha beranjak dari sofa, menyambar tas yang ditunjuk mamanya, lalu menarik koper besarnya yang isinya entah apa.

Nara bersidekap, menatap mama dan kakaknya masih dengan wajah masam.

“Mama sama kakak berangkat dulu ya, langsung kunci pintu, jangan begadang.” Varida mengingatkan untuk yang kesekian kalinya, memeluk Nara sesat, menciumi wajahnya.

“Iya ma. Hati hati.”

“Bye, Ra.” Agatha melambaikan tangan.

Nara melambai malas malasan.

Setelah melepas kepergian mama dan kakaknya didepan gerbang, Nara segera mengunci gerbang dan pintu rumah, lalu memastikan semua celah dirumahnya terkunci. Setelah itu ia mematikan lampu lantai bawah, naik ke kamar, mengunci pintu.

Pukul setengah sepuluh lewat. Nara mengecek ponsel. Yesha masih belum membalas pesannya. Helaan napas terdengar, kenapa juga Nara harus menungguinya? Mungkin Yesha ketiduran atau apalah. Nara juga harus bergegas tidur jika tidak ingin kesiangan keesokan harinya.

...***...

Suara tepuk tangan menggema ke seluruh penjuru aula kompetisi saat Yesha naik dan membungkuk memberi hormat. Memberikan senyum yang terkesan di paksakan. Yesha duduk dibalik piano di tengah panggung, menatap tuts tuts dihadapannya dengan perasaan berkecamuk. Yesha tidak gugup sama sekali, ia sudah terbiasa berada diatas panggung dengan berbagai macam kompetisi sebelum ini. Namun kali ini jantungnya berdegup kencang, jangankan untuk menyelesaikan permainan pianonya, untuk mengingat awal dari instrumen Marriage d’Amour yang akan ia bawakan saja kali ini Yesha sedikit kesulitan.

Dan setelah hening selama sepuluh detik penuh. Setelah susah payah mengingat awal dari musik instrumental yang akan ia bawakan, Yesha mulai menempatkan jemarinya diatas tuts piano, perlahan memulai lagunya.

Alunan piano Yesha menggema keseluruh aula kompetisi, lembut dan mampu menghipnotis semua orang yang mendengarkan dari kursi penonton. Semua orang berbinar kagum tanpa tahu bahwa saat ini kegundahan menyergap hati Yesha, semua berita yang Yesha baca semalam bahkan nyaris membuat Yesha tidak tidur jika tidak memaksakan diri.

‘Fakta mengejutkan tentang musisi berbakat tanah air yang menggemparkan negeri’

‘Terkuak bahwa dibalik karya yang melegenda, musisi ternama ini memiliki dua anak yang lahir diluar pernikahan’

‘Musisi ternama negeri yang menjadi wanita simpanan pengusaha kaya’

Yesha memejamkan mata saat ratusan judul berita belasan tahun lalu itu melintas dibenaknya, ia menggeleng berusaha menepis pikiran itu dan menaruh fokus pada piano. Isi dari berita yang Yesha baca hingga lewat tengah malam itu membuat fokus Yesha pecah.

Dan saat ia kembali berusaha fokus pada piano, tangannya yang tengah menari diatas tuts tiba tiba saja salah memencet nada. Kesalahan itu terdengar nyaring dan entah kenapa Yesha mendadak menghentikan permainan pianonya.

Semua orang bertatapan, termasuk deretan juri yang ada di barisan paling depan dengan meja khusus yang semula terpesona dengan permainan piano Yesha.

Yesha gelagapan, kesalahan itu membuat tangannya gemetar dan fokusnya sempurna pecah begitu saja. Lelaki itu menghela napas berat, sesaat memejamkan mata dan mencoba mengulang dari bait terdekat. Alunan piano itu kembali terdengar, namun saat mendekati nada yang salah barusan, permainan piano Yesha kembali terhenti. Mendadak ia tidak ingat kemana seharusnya alunan ini berlanjut. Tuts mana yang selanjutnya harus ia tekan Yesha tidak ingat.

Lelaki itu berusaha fokus dan mencoba mengulang lagi.

Salah lagi.

Keringat dingin rasanya mulai bercucuran dari pelipis Yesha. Tangannya semakin gemetaran dan jantungnya berdegup kencang. Yesha benar benar tidak bisa mengingat apapun sekarang. Otaknya tidak berjalan dengan baik dan fokus Yesha hilang. Raib dan tidak bisa kembali.

Ia menunduk dengan mata terpejam. Tangannya masih bertengger di sisi piano. Suara bisikan bisikan penonton mulai terdengar.

Sang panitia yang berdiri dibelakang meja di sisi kanan panggung berdiri, mengambil microphone. “Silahkan diulang.” Katanya lewat pengeras suara.

Hening. Yesha masih dengan posisinya.

“Saya hitung mundur, jika tidak dapat diulang, silahkan meninggalkan panggung.” ucap si panitia.

Hening lagi.

“Lima...”

Yesha memijit pelipisnya yang terasa pening. Tidak biasanya begini, seharusnya Yesha bisa menyelesaikan semua ini dengan sempurna. Paling tidak ia bisa menyelesaikannya dengan baik.

“Empat...”

“Yesha!” Suara Mr. Yohan—guru les pianonya—memanggil Yesha dari sisi panggung tempat sebelumnya Yesha keluar, namun Yesha masih bergeming.

“Tiga...”

“Dua...”

“Satu...”

“Diskualifikasi.”

Tangan Yesha mengepal marah. Ia marah pada dirinya sendiri. Lelaki itu berdiri, keluar dari panggung tanpa memberikan salam penghormatan sama sekali.

Mr. Yohan menahan Yesha saat lelaki itu melintas, menatap Yesha dengan tatapan kecewa. Pria paruh baya itu menggeleng geleng tak paham lagi kenapa Yesha bisa melakukan kesalahan fatal seperti ini. “Ada apa Yesha? Kenapa tiba tiba begini? Apa yang kamu pikirkan?”

“Maaf, saya lagi ada sedikit masalah—”

“Seharusnya kamu bilang dari awal, padahal sudah final lho Yesha, tinggal selangkah lagi saya yakin kamu bisa menangin kompetisi ini! Sudah saya bilang jangan sampai masalah apapun mengganggu konsentrasi kamu!”

“Gak semua kompetisi harus saya yang menang, Sir. Saya juga manusia, bisa salah kapan aja. Dan masalah ini bukan masalah biasa yang Mr. Yohan pikirkan. Saya mohon maaf, izin pamit.” Yesha menunduk sopan—demi tata krama. Lalu tanpa memedulikan lagi panggilan Mr. Yohan, Yesha berlalu meninggalkan ruang tunggu.

Kompetisi? Apa pentingnya itu sekarang saat Yesha memiliki jutaan pertanyaan dikepalanya tentang sang bunda saat ini? Malam ini, atau paling lambat malam besok. Yesha harus segera bertemu ayahnya.

Ia butuh jawaban atas pertanyaan besar.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!