Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Raka tetap bersikeras tidak ingin meninggalkan kontrakkankuku. Aku tahu dia keras kepala, tapi kali ini aku tidak bisa lagi menghadapinya. Aku sudah terlalu lelah berdebat, terlalu lelah mencoba menolak perasaanku sendiri.
“Dhis,” panggilnya pelan, menghampiriku yang duduk di sofa.
“Apa lagi, Raka?” balasku dengan nada lemah. Aku sudah kehabisan energi untuk bersikap dingin padanya.
Dia tidak menjawab, tapi tiba-tiba saja aku merasakan kedua lengannya mengangkat tubuhku dengan mudah. Aku tersentak, mencoba meronta, tapi cengkeramannya terlalu kuat.
“Raka! Apa yang kamu lakukan? Turunkan aku!” seruku, memukul dadanya.
Dia hanya menatapku dengan tatapan tenang tapi penuh tekad. “Aku tidak akan pergi, Gendhis. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu bisa membenciku, marah padaku, tapi aku akan tetap di sini.”
Dia membawaku masuk ke kamar, lalu membaringkanku di atas ranjang. Aku mencoba bangkit, tapi dia menahanku, menatapku dalam-dalam dengan mata yang penuh emosi.
“Dhis, aku tahu aku sudah banyak salah. Tapi aku mencintaimu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi,” ucapnya, suaranya bergetar.
Aku hanya bisa menatapnya dengan bingung. Hatiku ingin percaya, tapi luka yang dia buat masih terasa begitu nyata. Namun, aku sadar kalau aku berbuat tidak adil dengan menolaknya memberikan kesempatan kedua. [seperti kata reader aku itu angel] haha
“Jangan bicara cinta kalau kamu sendiri tidak tahu artinya,” balasku dingin.
Dia tersenyum tipis, lalu meraih tanganku. “Aku tahu artinya, Dhis. Dan aku tahu aku tidak akan bisa hidup tanpamu.”
Sebelum aku sempat membalas, dia menunduk dan mencium keningku. Sentuhannya lembut, tapi juga penuh intensitas yang membuatku sulit bernapas. Aku sempat terhanyut pada ucapannya, tetapi aku segera menghentikan ciuman memabukkan yang diberikan olehnya.
“Raka, berhenti,” pintaku, mencoba mendorongnya.
Tapi dia tidak mendengarkan. Tangannya mengusap wajahku, lalu turun ke leherku dengan gerakan yang begitu penuh kasih. “Kamu boleh memukulku, menolakku, tapi aku akan tetap di sini. Aku ingin kamu tahu betapa aku menyesal dan betapa aku mencintaimu.”
Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—kenyataan bahwa dia menyentuhku seperti ini, atau kenyataan bahwa aku sebenarnya tidak ingin dia berhenti.
“Raka, tolong...” bisikku, tapi suaraku terdengar lemah.
"Jangan menangis, Sayang. Aku berjanji padamu, hanya kamu wanita yang mengisi hatiku.
Dia menatapku dengan penuh kelembutan, lalu membungkuk dan mencium bibirku. Kali ini aku tidak lagi melawan. Aku tahu aku sudah kalah.
Dia melakukannya dengan penuh pengertian. Aku berusaha menahan suara desahan yang hampir lolos ketika dia menyentuh titik sensitifku dengan begitu intens.
"Akh...Raka... Aku..."
"Panggil aku seperti panggilan biasa, Dhis. Jangan menjaga jarang dariku," balasnya sambil menatapku kemudian menghisap salah satu bukit kembarku.
Aku tidak tahan lagi dan tentu saja mengeluarkan suara yang malah membangkitkan kegiatan panas yang dilakukan Raka. "Mas...ah... Jangan di situ... Aku..."
Tapi, dia tidak menggubris ucapanku, "Beritahu aku kalau hal ini menyakiti kalian," ujar Raka sambil mengelus perutku yang sudah mulai membuncit.
Aku tidak bisa menolak, apa lagi mendorongnya. Yang bisa aku lakukan hanya menerima perlakuannya. Dia melakukannya dengan penuh kehati-hatian. Namun, semakin lama tentu dia menginginkanku lebih hingga kami mencapai pelepasan.
"Aku mencintaimu, Dhis. Sangat mencintaimu," ucap Raka kemudian memelukku.
Sejenak, berat tubuhnya membuatku hampir sesak. Kemudian, dia merebahkan tubuhnya di sampingku. Ketika aku ingin bangkit, dia menahan tubuhku.
"Tidurlah lagi, aku akan memberi tahu Ayu kalau kamu butuh istirahat. Kamu mau kan pulang bersamaku? Please..."
Aku menatap Raka yang berwajah memelas. Setelah beberapa detik, aku akhirnya mengangguk. Memutuskan untuk memberikan kesempatan kedua untuk Raka.
"Aku ingin kamu tidak mengabaikanku," ucapku.
"Tentu, aku tidak akan pernah mengabaikanmu. Hanya kamu wanita yang ada dalam hidupku," balas Raka memelukku. "Terima kasih telah memberikan kesempatan padaku, Sayang. Terima kasih."
***
Pagi menjelang siang, aku terbangun dengan tubuh yang terasa lelah tapi hangat. Aku menoleh dan melihat Raka masih tertidur di sebelahku. Wajahnya terlihat damai, seolah tidak ada yang mengganggunya.
Aku menghela napas, mencoba mencerna apa yang telah terjadi semalam. Semua terasa seperti mimpi, tapi rasa sakit di tubuhku mengingatkanku bahwa semuanya nyata.
Aku menutup mata, mencoba menenangkan pikiranku. Tapi sebelum aku sempat tenggelam dalam pikiranku sendiri, suara ketukan di pintu memecah keheningan.
“Sepertinya ada tamu,"ucapku.
Raka yang tadinya masih terlelap rupanya terganggu. Dia membuka mata, bingung. “Siapa, ya?”
Aku tidak menjawab, hanya mengangkat bahu karena memang tidak tahu siapa yang datang. Aku melihatnya bangkit, kemudian mengenakan pakaiannya. Entah mengapa, wajahku justru memanas melihat tubuhnya.
"Aku saja yang buka, kamu lanjutkan tidurnya ya, Sayang." Raka mengusap kepalaku lembut.
Akan tetapi, rasa penasaran membuatku bangkit dari ranjang, meski tubuhku masih terasa berat. Aku membersihkan tubuhku terlebih dahulu, kemudian mengenakan pakaianku. Kutatap sekujur tubuhku di cermin yang dipenuhi oleh tanda kemerahan.
"Ya Tuhan, dia harus menahan dirinya setelah ini."
Aku memutuskan untuk berjalan menuju ruang tamu. Saat aku keluar dari kamar, aku melihat Raka berdiri di depan pintu dengan seorang pria yang sangat aku kenal—Fajar.
“Untuk apa kamu ingin mengetahui keadaan istriku?” tanya Raka dengan nada datar, tapi aku bisa merasakan ketegangan di suaranya.
Fajar menatap Raka dengan ekspresi yang sulit kuartikan. “Aku temannya Gendhis, jadi aku ingin memastikan dia baik-baik saja,” jawabnya singkat, tapi tatapannya penuh arti.
Aku berjalan mendekat, merasa suasana semakin tidak nyaman. “Fajar, kenapa kamu ke sini?” tanyaku, mencoba terdengar biasa saja.
Dia menoleh padaku, lalu tersenyum tipis. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Raka mendengus pelan, lalu menyilangkan tangan di dada. “Dia baik-baik saja. Kalau itu saja urusanmu, sebaiknya kamu pergi.”
“Raka!” seruku, merasa dia terlalu kasar, tidak mungkin langsung mengusir orang yang sudah repot mengunjungiku.
Dia menoleh padaku, wajahnya masih tenang. “Apa? Aku cuma bilang yang seharusnya.”
Aku menghela napas, lalu menatap Fajar. “Aku baik-baik saja, Fajar. Terima kasih sudah peduli, tapi kamu tidak perlu khawatir.”
Fajar menatapku sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi kalau kamu butuh sesuatu, kamu tahu aku selalu ada.”
Setelah mengatakan itu, dia melirik Raka sekali lagi sebelum berbalik dan pergi.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, merasa campur aduk. Ketika aku menoleh ke arah Raka, dia sudah berjalan masuk ke dalam kontrakan ekspresinya sulit diartikan.
“Apa maksudnya ‘aku selalu ada’?” tanyanya dengan nada datar, tapi aku bisa merasakan kecemburuan di baliknya.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, aku ingin menjelaskan segalanya, tapi di sisi lain, aku tahu ini bukan waktu yang tepat.
"Kamu cemburu?" jawabku sambil menyunggingkan senyum.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..