Allea, yang biasa dipanggil Lea adalah seorang siswi kelas 3 SMA. Awalnya dia bukan anak nakal, dia hanya anak manja yang selalu dapat kasih sayang kedua orangtuanya. Dia berasal dari keluarga kaya raya. Namun tak ada yang abadi, keluarga cemaranya hancur. Ayah dan ibunya bercerai, dan dia sendirian. Sepertinya hanya dia yang ditinggalkan, ayah—ibunya punya keluarga baru. Dan dia? Tetap sendiri..
Hingga suatu ketika, secara kebetulan dia bertemu dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahnya. Untuk seorang siswi sepertinya, pria itu pantasnya dia panggil dengan sebutan om, Om Davendra.
Dia serasa hidup, dia serasa kembali bernyawa begitu mengenal pria itu. Tanpa dia sadari dia telah jauh, dia terlalu jauh mendambakan kasih sayang yang seharusnya tidak dia terima dari pria itu.
Lantas bagaimana dia akan kembali, bagaimana mungkin ia bisa melepaskan kasih sayang yang telah lama hilang itu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Udara pagi kampus terasa segar, namun pikiran Allea terlalu kacau untuk menikmatinya. Ia turun dari mobil dengan cepat, menutup pintu tanpa banyak bicara. Deon yang turun dari sisi lain mobil hanya menyelipkan tangan di saku celananya, berjalan santai mendekatinya.
“Kau kenapa? Buru-buru sekali,” ucapnya ringan.
Allea menoleh sekilas. “Aku sudah terlambat.”
Tapi ada hal lain yang mengganggunya. Apa yang dilakukan anak jurusan bisnis itu di fakultas hukum?
Deon tersenyum tipis, seolah membaca pikirannya. “Jangan melihatku seperti itu. Aku ada urusan di sekitar sini.”
Mereka berbicara seolah-olah tidak ada Davendra disana, mereka bahkan turun dari mobilnya tanpa mengucapakan apapun. Davendra menatap keduanya kesal dari dalam mobil, tapi melihat situasi di luar seperti dia hanya akan menarik perhatian jika tiba-tiba memaksa Allea dan bertengkar. Dia mengurungkan niatnya dan melajukan mobilnya pergi.
Allea dan Deon bahkan tak menyadarinya. Wanita itu masih fokus pada Deon mengernyit heran tapi memilih untuk tidak banyak bertanya. Bagaimanapun juga, dia tidak punya waktu untuk mengobrol. Dia harus segera masuk kelas. Dia sudah dangat terlambat.
Tanpa menunggu balasan dari Deon, Allea mempercepat langkahnya menuju kelas. Begitu sampai, dia melirik ke dalam kelasnya dari balik pintu samping. Dosen tampak sibuk dengan laptopnya—kesempatan bagus. Dengan gerakan hati-hati, dia menyelinap masuk dan duduk di kursi kosong yang seakan sudah disiapkan untuknya.
Seseorang di sebelahnya langsung menyadari kehadirannya.
“Kenapa terlambat?” bisik seorang gadis berambut pirang dengan senyum iseng. Itu Sarah, teman dekatnya selama di kampus.
"Jangan mulai, Sar…” Allea menghela napas.
Sarah justru menaikkan alisnya. “Apa jangan-jangan kau datang dengan Deon lagi?” tanyanya dengan nada menggoda.
Allea hanya tersenyum pasrah. Percuma menyangkal. Sarah tahu betul bahwa hubungannya dengan Deon lebih rumit daripada sekadar ‘teman biasa’.
Percakapan mereka terhenti saat ponsel Allea bergetar. Sebuah pesan masuk. Dia melirik layar tanpa membukanya.
Om Dav.
Jemarinya sejenak kaku sebelum akhirnya membalikkan ponsel, tak berniat untuk membalas. Dia masih belum siap menghadapi pria itu sekarang.
Kelas akhirnya usai, Allea dan Sarah berjalan santai ke arah parkiran. Perutnya sudah mulai keroncongan, dan dia berencana mencari makan siang di luar kampus. Namun langkah mereka terhenti ketika seorang pria tiba-tiba menghadangnya di tengah jalan.
Allea membeku seketika. Matanya membesar, jantungnya berdegup lebih cepat. Dia tidak menyangka pria itu akan muncul di sini, di kampusnya. Selama ini pria itu tak ingin menampakkan diri di kampus, tapi sekarang?
Sarah, yang tidak mengenal pria di depan mereka melirik Allea dengan bingung. Tapi Allea bahkan mematung, dia tidak akan mendapat jawaban dari Allea. “Maaf, Anda siapa?” tanya nya sopan.
Sebelum pria itu sempat menjawab, sebuah lengan tiba-tiba merangkul bahu Allea dengan santai.
“Dia pamanku,” suara tenang namun dingin terdengar dari sebelahnya.
Allea menoleh dengan kaget, sementara Deon tetap tersenyum seakan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Dia kemudian menoleh ke Sarah.
“Oh, Sarah, sepertinya Allea tidak bisa makan siang denganmu. Bibiku sudah memasak untuk kami,” lanjutnya, masih dengan nada ringan.
Tanpa menunggu balasan, Deon langsung menarik Allea pergi, meninggalkan Sarah dan Davendra yang masih berdiri di tempatnya.
Namun sebelum pergi, Deon sempat melirik ke arah Davendra. Tatapan itu tidak sekadar sopan santun—ada peringatan di dalamnya.
Allea dan terus berjalan maju, hingga mereka berada di tempat yang sudah cukup jauh dari tempat semula, Allea segera melepaskan diri dari genggaman Deon.
“Jangan mengganggu ku,” katanya, masih sedikit terengah.
Deon mengangkat bahu bingung. “Hei, kalau aku tidak datang, kau pasti sudah terjebak dengannya sekarang.”
Allea tidak membantah. Itu memang benar. Ditambah lagi dia memang tak punya cukup keberanian untuk berbicara dengan Davendra.
"Tunggu sebentar, Alex sebentar lagi tiba." lanjutnya sebelum melihat ke ujung jalan.
"Alex? Dia memakai mobilmu lagi?"
"Ya. Dia mengantarku semalam," jawab Deon cepat.
"Huft," Allea tak lagi bertanya. Jujur dia kurang menyukai teman Deon yang satu itu, dalam kepalanya pria itu adalah si tukang selingkuh. Tapi apa boleh buat, mengingat Deon yang mabuk semalam tak mungkin dia mengemudi sendiri.
Tak lama, mobil Porsche silver berhenti di depan mereka. Seorang pria dengan kacamata hitam keluar dari dalam mobil dan melempar sebuah kunci. "Aku ada janji dengan seseorang di dekat sini," ucapnya berjalan mendekat.
Itu Alex, dia berhenti di samping Allea dan menurunkan kacamatanya. "Hai Lea, kau semakin cantik saja," lanjutnya sebelum benar-benar berlalu pergi.
Wajah Allea langsung kusut begitu mendengar ucapan dan ekspresi pria itu yang menggelikan baginya. Rasanya dia ingin memaki pria itu, namun Deon dengan cepat mendorong Allea untuk segera masuk mobil dengan lembut.
Baru saja mobil melaju, ponsel Allea kembali bergetar. Kali ini bukan pesan lagi, Davendra meneleponnya dalam mode senyap. Namun tanpa berpikir panjang, Allea langsung mematikan panggilan itu dan meletakkan ponselnya di pangkuan.
Deon menyadari hal itu, dia menyunggingkan senyum kemenangan. “Baguslah,” gumamnya pelan. Dia mengemudikan mobil dengan lancar sampai tiba-tiba—
Ciiittt!!
Deon mengerem mendadak, hampir saja menabrak seekor kucing yang melintas. Mobil berhenti seketika, dan pada saat yang sama, laci dashboard terbuka karena benturan kecil.
Benda-benda dari dalamnya berhamburan keluar. Termasuk— Belasan bungkus kondom yang masih utuh.
“Apa ini?!” Allea membelalakkan mata. Dia menatap Deon dengan kaget, wajahnya memerah karena emosi yang mendadak naik ke ubun-ubun.
“Kau tidur dengan wanita lain, Deon?!”
Deon terkejut, buru-buru menggeleng. “Bukan, bukan! Itu bukan milikku, sungguh!”
Namun Allea sudah terlanjur kesal. Dengan cepat, dia membuka pintu mobil dan keluar begitu saja.
“Lea, tunggu!” Deon buru-buru memundurkan mobilnya, berusaha menjelaskan. Namun, tepat saat itu, sebuah mobil lain berhenti di belakangnya.
Deon mengenali mobil itu. Mobil Davendra. Dia bisa melihat dengan jelas saat Allea langsung masuk ke dalam mobil pria itu tanpa banyak bicara. Deon menggertakkan gigi, menatap mobil pamannya yang kini sudah melaju menjauh. Dia memukul setirnya dengan geram.
“Brengsek!” umpatnya, lalu merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang.
Saat panggilan tersambung, dia langsung menyemburkan amarahnya begitu panggilan tersambung.
“Alex! Sial! Aku akan membunuhmu! Kenapa kau meninggalkan barang-barangmu di mobilku, Ha?!”
Sementara itu, di dalam mobil Davendra suasananya sangat berbeda jauh. Allea duduk diam, dan hanya ada keheningan. Meskipun rasa nya sangat mencekik lehernya untuk bisa bernafas. Allea mencoba menenangkan dirinya, dia mencoba untuk mempersiapkan dirinya, mencoba untuk memikirkan alasan-alasan yang masuk akal.
Tapi, pria di sebelahnya hanya menatap lurus ke depan tak berkata apapun, wajahnya tampak tenang namun penuh ancaman..
...----------------...