NovelToon NovelToon
Kemarau Menggigil

Kemarau Menggigil

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Berbaikan / Mengubah Takdir / Bullying dan Balas Dendam / Slice of Life
Popularitas:15.8k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Ayah, aku butuh selimut untuk tubuhku yang penuh keringat. Kipas angin tua milik bunda hanya mengirimkan flu rindu. Sebab sisa kehangatan karena pelukan raga gemuknya masih terasa. Tak termakan waktu. Aku tak menyalahkan siapa pun. Termasuk kau yang tidak dapat menampakkan secuil kasih sayang untukku. Setidaknya, aku hanya ingin melepuhkan rasa sakit. Di bawah terik. Menjelma gurun tanpa rintik gerimis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 18

Entah mengapa, semakin buruk hariku. Semakin indah mimpi dalam tidurku.

...----------------...

Lampu kamarku mulai redup. Dini hari penuh kegelapan. Hari-hari yang membosankan di rumah. Namun aku tak punya teman yang tinggal di dekat-dekat sini. Karena pada dasarnya, aku memang tidak memiliki teman yang benar-benar dekat. Siapa pula yang mau dekat-dekat dengan orang sepertiku, yang mampu mencelakakan dua orang sekaligus. Karena kejadian itu, aku diskors dari sekolah selama satu bulan. Habis sudah, sepertinya tidak ada harapan untukku bisa naik kelas. Satu bulan setelahnya, akan ada ujian akhir semester. Apa-apaan itu. Aku akan masuk sekolah bertepatan untuk mengikuti ujian?

Sudah dua minggu lamanya aku mengurung diri di kamar. Ke luar hanya untuk kebutuhan perut dan mengeluarkan isi perut. Selebihnya, menyendiri dan tidak peduli sekitar.

Sepulang dari kejadian itu, ayah langsung melaksanakan aksinya dengan rotan warisan itu. Aku diantar pulang oleh bu Tian, wali kelasku. Dari sanalah ayah mengetahui kasus yang telah aku perbuat. Ia masih bisa menahan amarah sampai guruku pulang. Tak hanya memukulku, namun ia juga merusak beberapa benda yang ada di kamarku. Mulai dari memecahkan cermin, memecahkan jendela, menggunting boneka pemberian Rasen, melempar buku-bukuku yang tersusun, bahkan sampai memecahkan bingkai foto ibu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Seluruh tubuhku kaku. Tak tahu ekspresi apa yang seharusnya aku keluarkan terlebih dahulu. terakhir, ia menarik tirai pintu kamarku sebelum ke luar dari sana. Berhari-hari, aku membiarkan bentuknya seperti itu. Tidur bersama benda-benda berserakan, kain-kain sobek, juga beling-beling tajam. Aku sempat tak sengaja menginjak serpihannya hingga kakiku berdarah. Namun, rasa sakit semacam itu tidak ada artinya. Sama sekali tidak mampu membuatku menjerit. Sekali pun darah mengalir banyak.

Dua hari setelah kejadian itu, Rasen mengirimkanku pesan berisi informasi tentang keadaannya yang baik-baik saja. Untuk apa ia menyampaikan itu kepada seseorang yang sudah mencelakakannya. Flo tidak masuk sekolah selama tiga hari. Tangan kanannya patah. Sehingga, ia mencatat menggunakan HP. Nada yang memberi tahuku.

Sudah berkali-kali Rasen datang. Setiap kali itu pula ketika ayah sedang bekerja di sawah atau sedang membangun di rumah tetangga. Aku tak pernah membukakannya pintu. Tapi sialnya, ia malah melihat jendela kamarku yang pecah. Karena itulah aku menutup rapat gorden jendela dan memasang paku agar tidak bisa dibuka Rasen. Aku sungguh ingin menyendiri saja. Setelah itu, aku akan diam seribu bahasa. Sampai ia menyerah dan pergi dengan sendirinya. Walaupun di hari-hari berikutnya ia akan datang lagi. Aku tetap diam.

Beberapa hari setelah itu, aku mendapati beling-beling sudah bersih ketika aku baru ke luar dari kamar mandi. Kamarku memang masih seperti semula berantakannya. Tapi setidaknya, aku tidak akan terluka lagi. Pasti ayah yang melakukannya. Terlalu gengsi jika harus melihatku menyaksikannya membersihkan itu. Sehingga, sengaja melakukannya ketika aku sedang tidak di dalamnya.

Ingatan panjang yang melelahkan. Matahari telah terbit. Lampu redup yang sudah hampir padam itu tidak ada artinya lagi. Terdengar suara langkah seseorang. Bukan ayah. Suara langkah ayah tidak seperti itu.

"Nada!?" ucapku tak percaya dengan siapa yang datang.

"Hah, Rasen!?" Lebih mengejutkan lagi. Di belakangnya ada Rasen dengan senyuman khasnya yang selalu ingin aku lihat setiap saat.

Kenapa mereka tiba-tiba datang? Dengan keadaan kamarku yang seperti ini. Juga keadaan pemilik kamar yang seperti orang gila. Rambut kusut berantakan, mata panda, kulit kusam, jarang mandi dan ganti baju. Mau ditaruh di mana mukaku. Apalagi ada Rasen. Bagaimana jika dia ilfil? Bagaimana jika memutuskan untuk meninggalkanku.

"Lihat siapa yang memohon-mohon sampai menjanjikan apa pun untukku agar aku mau untuk ke tempatmu," ujar Nada sambil menunjuk Rasen.

"Dain!" seru Rasen dengan sumringah.

"Jangan mendekat!" tegasku saat mereka hendak melangkah dari bingkai pintu.

Sosok ayah muncul di belakang mereka, "Gadis itu sudah gila. Lihat saja dirinya. Tidak ada gairah untuk berbuat apa pun. Biarkan saja dia. Kalian hanya membuang-buang waktu."

Senyuman manis Rasen luruh seketika setelah mendengar ucapan ayah. Nada yang biasanya berekspresi datar itu menggigit bibir. Seperti tidak menyangka dengan apa yang didengar barusan.

"Aku juga tidak pernah meminta siapa pun untuk datang," ujarku kesal.

Tak lama, suara motor tua ayah terdengar. Ia telah pergi ketika matahari baru saja terbit.

"Seharusnya, aku bisa lebih awal mengajak Nada ke rumahmu. Tapi, aku mengerti bahwa kamu membutuhkan waktu untuk sendiri. Sehingga, aku mencoba menghiburmu dengan sengaja menampakkan diri di balik tirai jendela. Walaupun kamu diam, tapi aku yakin. Kamu pasti selalu melihat bayanganku," ungkap Rasen.

Aku mengembuskan napas berat. Memangnya tidak mengapa jika Rasen terus berjuang seperti itu? Padahal, sudah berkali-kali aku melakukan hal yang membuatnya kepayahan. Bahkan sampai membuatnya terluka.

"BERHENTI!"

Rasen mencoba melangkah lagi. Sungguh, kali ini aku benar-benar malu dengan keadaanku yang begitu kacau-balau ini. Ia tetap melangkah walaupun aku telah menjerit seperti orang gila. Hingga aku melempar sesuatu yang ternyata boneka pemberiannya. Ia berhenti setelah menangkap boneka tersebut. Sebuah boneka kelinci putih yang isinya sudah ke luar di berbagai bagian tubuh.

Aku mendadak diam setelah melihat Rasen menghentikan langkah. Nada di belakang hanya mematung.

"Nada bilang, ayahmu sudah mengacau kamar dan merusak barang-barang milikmu. Termasuk boneka ini, ya!?" ujar Rasen.

Aku memang mengetik panjang lebar tentang semua yang aku alami selama diskors kepada kontak Nada. Biarpun manusia itu hanya membalas singkat atau bahkan tidak dibalas. Ya, memang seperti itu Nada. Meski demikian, aku tetap mengirim semua curahan hati sekali pun mengetahui tidak akan mendapatkan solusi atau hiburan darinya. Setidaknya, aku tahu Nada tidak akan membicarakannya, kecuali kepada Rasen.

Isi lemariku yang juga berserakan di lantai dilihat oleh Rasen. Gaun putih yang sudah tidak berbentuk itu berada pada tumpukan paling atas. Di antara bajuku yang murah-murah itu. Rasen berjalan ke arah tempat gaun itu. Kali ini aku membiarkan saja langkahnya. Sebab ingin melihat ekspresinya dengan keadaan gaun pemberiannya yang sudah seperti itu.

Aku hanya menceritakan Nada perihal dua minggu terakhir ini. Sehingga, ia tidak tahu-menahu soal gaun tersebut.

Rasen melayangkan pandangnya ke arahku setelah memungut gaun koyak itu. Lantas ternyata tipis. Kemudian mendekat. Tenagaku untuk mengamuk tiba-tiba sirna.

"Aku bau. Mandi hanya dua hari sekali. Baju jarang ganti. Kamu tidak akan betah di dekatku," ucapku lirih.

"Tidak apa. Kamu tidak bau. Kalau pun memang bau, juga tak apa. Aku masih mau berada di dekatmu. Kamu pikir, aku akan ilfil, bukan!? Itu yang Nada katakan," ucap Rasen seraya melirik Nada sejenak. Perempuan itu kini duduk di bingkai pintu. Seperti menonton pentas seni.

Nada mendadak jadi ember jika untuk memberi tahu Rasen.

Rasen memungut sebuah sisir yang tergeletak di lantas. Lalu menyisir perlahan rambut kusutku yang jarang disisir itu. Tentram sekali rasanya. Aku merasa beruntung bisa mengenal orang sebaik Rasen. Sekali pun aku kerap kali mengatakan tidak tersisa sedikit pun keberuntungan padaku. Akan tetapi, setiap kali berada di dekatnya. Mendadak membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung.

"Rambutmu indah. Keindahannya tidak hilang sekali pun kamu tidak pernah menyisirnya. Dain, bertahan ya. Kamu adalah perempuan yang kuat. Aku bangga kepadamu." Rasen berkata.

Mataku berkaca-kaca. Aku menunduk untuk menutup air mata yang hampir tumpah itu. Apa lagi yang akan terjadi pada hidupku?Ujung-ujungnya, aku selalu mampu melewatinya, bukan!?

1
Selfi Azna
pada kemana yang lain
Selfi Azna
MasyaAllah
_capt.sonyn°°
kak ini beneran tamat ??? lanjut dong kakkkk novelnya bagus bangetttttt
Selfi Azna
mungkin bapaknya cerai sama ibunya,, truss jd pelampiasan
Chira Amaive: Bukan cerai, tp meninggal ibunya 😭
total 1 replies
melting_harmony
Luar biasa
Zackee syah
bagus banget kak novel nyaaa...
Chira Amaive: Thank youuuu
total 1 replies
Zackee syah
lanjut kak
🎀𝓘𝓬𝓱𝓲𝓷𝓸𝓼𝓮🎀
barter, aku like punya kamu, kamu like punya aku
Chira Amaive: okeyyyyy
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!