NovelToon NovelToon
THE CITY

THE CITY

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Identitas Tersembunyi / Epik Petualangan / Keluarga / Persahabatan / Angst
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Kekacauan dunia telah melanda beberapa ratus tahun yang lalu. 30 anak remaja dikumpulkan oleh pusat mereka dari lima kota yang sudah lama dibangun. Sesuatu harus segera dicari, untuk menemukan wilayah baru, nantinya bisa digunakan untuk generasi selanjutnya.

Bersama anak laki-laki muda bernama West Bromwich, dia melakukan misi tersebut. Bagaimana caranya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17

"Selamat pagi, West."

Alice sejak tadi telah dinyalakan pada gelang West Bromwich ketika anak itu mencuci wajahnya, saat setelah bangun dari tidurnya.

"Pagi. Alice." West menyapa sebentar. Bergerak cepat menuju lemari besar dan memasuki kamar mandi.

Anak laki-laki itu sudah bangun sebelum sang hologram buatan menyala. Bersiap-siap menyiapkan segala kebutuhan harian.

Sekarang, West mengenakan baju hitamnya lagi. Celana hitam, rambut hitam kecuali bola mata biru. Indah, seperti lautan.

Dikeluarkan usai pintu terbuka mandiri, anak laki-laki rambut putih dan satu anak perempuan diikat rambutnya, telah menunggu.

Pertama, Erton melihat sadar kearah West, disusul Eme datang hadir. Erton menyusul Eme di belakang.

West tertatih nyeri ketika lengan atasnya masih terbalut luka. Cukup terlihat saat noda darah akhirnya muncul ke permukaan kain putih.

"Aku tak paham, kalian menunggu disini." West menggeleng ketika ia tau untuk pertama kalinya, dua anak itu menunggunya keluar.

"Eme berinisiatif melakukan ini," Erton menyilang tangan, "lebih banyak kegiatan yang lain di sana, semacam sarapan."

West tertawa sedikit, menampilkan barisan gigi-giginya. "Aku sudah lama tau tentang sifatmu, Er. Dari dulu kau tidak suka menunggu orang lain."

Setelah West tertawa, rasa nyeri terasa menjalar. "Astaga," suara mendesis tak suka, keluar dari mulut West Bromwich, saat mengelus balutan perban.

"West, luka mu masih harus diobati. Perbanmu juga harus segera diganti. Aku temani, ya? Masih ada waktu satu jam lagi sebelum latihan."

"Terimakasih, Eme. Tapi aku akan pergi sendiri. Kau bisa pergi dengan Erton untuk sarapan."

Eme menggeleng, "tidak, aku akan tetap menemanimu. Erton juga akan ikut dengan kita."

"Apa? Aku?" Erton menunjuk dirinya, "baru pertama kali diperintah oleh perempuan ini. Menemukan dia dimana, West?"

"Diam saja, dan ikuti. Kau tidak akan mengerti tentang rahasia itu."

West berjalan dahulu, disusul Eme samping kanannya, dan Erton pada sisi kirinya. Tiga anak remaja. Satu perempuan dan dua laki-laki, berjalan cepat.

"Apa di atas permukaan, tidak ada ruang perawatan? Rumit kalau harus naik-turun ke sana."

"Ada, West. Bangunan ini memiliki dua fasilitas ruang perawatan. Sedikit lagi kita sampai. Bertahanlah."

Eme berjalan lebih maju, Erton mendadak berbisik ke telinga West, "kau yakin dia bisa membawa kita ke sana? Gelang ini tidak memberi arah menuju lokasi itu."

West menoleh, lanjut mengangguk setuju.

Erton menjauhi tubuh West, "begitu rumit, kau bahkan sangat percaya dengan perempuan itu."

West tidak memberi tanggapan setelahnya. Hanya memandang sambil mendengarkan ucapan Erton.

Perjalanan mereka hampir usai—kami bertiga berdiri pada sebuah pintu, dekat tangga lebar yang menghubungkan lantai-lantai diatas.

Gelang ditempelkan milik Eme pada layar kotak kecil dekat pintu. Pemindai berhasil dan pintu telah dibuka otomatis.

"Ayo masuk," Eme berkata setelah perempuan tadi berjalan menuju area tengah.

Kami berdua menuruti suruhan Eme. Berdiri mengamati struktur bangunan, sama persis seperti yang ada di bawah tanah.

Kosong dilihat.

"Aku akan segera kembali membawa perawat. Bawalah West menuju kasur." Eme membidik mata kearah anak rambut putih. Seperti salju yang turun di musim dingin.

Eme berpisah dari kami. Membagi tugas agar cepat selesai dan bisa kembali menuju kegiatan rutinitas harian.

"Kau beruntung, kita ada perempuan seperti dia." West nyengir kecil sambil menonton wajah Erton sebal tak suka. "Kelebihannya, dia lebih peduli."

"Terserah saja kata-katamu." Erton berjalan menuju satu kasur. "Cepatlah, West."

West mengomentari sahabatnya dari kejauhan. "Satunya peduli, satu lagi terserah. Kombinasi yang bagus."

...***...

Kain putih nan bersih diputar searah jarum jam—satu perawat memutar tangan. Berdiri langsung menghadap kepada West, saat anak itu duduk.

Mengikat tali di penghujung kain, sebagai tanda bahwa ini telah selesai membersihkan lukanya.

"Baiklah, sudah selesai semuanya. Untuk hari ini dan seterusnya, pasien atas nama West Bromwich... Tetap belum bisa mengikuti latihan."

"Mengapa, sus?" Eme berhadapan dengan suster yang telah selesai mengurus luka bocah laki-laki.

"Saya khawatir luka itu tidak akan sembuh. Ini memerlukan waktu untuk penyembuhan." Suster meletakkan gulungan perban sisa.

"Sampai kapan?" West bertanya setelah mencoba berlatih menggerakkan lengan dan tangannya.

"Kira-kira satu bulan, paling cepat empat minggu, dan itu semua dimulai dari sekarang."

West menunduk sambil meremas telapak kanan miliknya. Meratap nasib pada luka itu.

"Saya pamit dari sini. Kalian berdua bisa antar teman kalian menuju kantin. Jangan ditinggalkan."

Suster menghilang, tersisa kami bertiga.

"Kalau tindakanmu tidak gegabah, tidak akan ada seperti ini." Erton mengawasi sahabatnya, berdiri menekuk dua tangan.

West tetaplah diam merenung.

Eme tak tega melihat wajah murung West Bromwich, akhirnya menekuk lutut, melihat pandangan West yang tidak semangat

"Coba saja ambil sisi baiknya. Ini bisa menjadi kesempatan yang bagus. Kamu cukup beristirahat dari latihan-mu, dan belajar mempelajari kegunaan alat-alat latihan."

West menaikkan pandangan kepada Eme Sheren. "Menurutmu begitu, Eme?"

"Iya, West. Kata lainnya... Belajar dari kesalahan. Nah itu dia."

"Kalian berdua tidak ada yang beres." Erton melepaskan lipatan tangan. Berjalan cepat sengaja meninggalkan West dan Eme, berbicara berdua.

Karena anak laki-laki berambut putih itu tidak peduli kepada West dan Eme, Eme yang masih duduk menemani, membuat suara keras.

"Erton! Bantulah kami."

Anak itu tidak jadi melanjutkan jalannya. Kakinya tertahan sesuatu, dari perasaanya. Membalikkan badan, mencari tau sendiri.

"West, bicara padaku sekarang! Apa aku tidak salah mendengar, ada perempuan memanggil namaku secara langsung dan berteriak?"

"Itu benar," West bersuara kecil, mengarah pandangan kepada Erton yang menunjukkan kebingungan.

"Bantulah sahabatmu ini, Erton. Perawat menyuruh kita menemani West menuju kantin."

Erton hanya bisa mengeluarkan napas, pelan-pelan. "Sekali saja," Berjalan kembali menuju kasur itu.

"Terimakasih," Eme tersenyum ketika Erton merangkul pundak West.

"Aku akan berdiri. Kau berdua tahan tubuhku. Dalam hitungan ketiga, tahan."

Eme menelan ludah. Erton menggerakkan telapak tangan, mencari titik aman.

"Eme. Jangan pegang dulu." West mendorong tangan-tangan Eme ketika perempuan itu menyentuh punggungnya.

"Ada apa, West?"

"Orang-orang akan menyebar gosip tentang perempuan merangkul anak laki-laki seperti ini."

"Maaf, kamu benar juga, West."

"Erton akan membantu disini. Kamu cukup jalan dengan kami, agak berjauhan."

"Oh, o-oke, West."

Eme membuka jalan bagi dua laki-laki, berusaha menyeimbangkan tubuh masing-masing.

Dibuka pintu otomatis, segera memunculkan tiga orang menuju lantai-lantai di atas.

Arahnya sempoyongan, geser kiri, geser kanan, serong kiri, serong kanan, secara bergantian.

Kami cukup melewat orang-orang dengan mudah, walaupun mata per mata milik mereka, selalu mengawasi kepada kami. Bibir-bibir tidak pernah berhenti bergerak.

Tangga-tangga di depan kami, dinaiki agak sulit. Perlahan-lahan digerakkan, sampai juga pada perputaran badan menuju tangga selanjutnya.

"Dua... Tiga... Empat..." Eme menghitung jumlah tangga yang sudah kami pijak sampai sekarang, "... Lima!"

West mengamati Eme Sheren, di- hadapan bola matanya. Dipikir-pikir, terlihat dari jauh, mirip ibunya. Mata agak sipit, pipi tirus sedikit mengembang. Gigi rapi, bibir merah.

"Kita sampai, teman-teman," ucap Eme tersenyum sumringah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!