Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana dimulai
Pagi ini seperti biasanya, Inara sudah di sibukkan dengan pekerjaan dengan di bantu sang Asisten yakni Mpok Jule, targetnya untuk hari ini, ia harus bisa menyelesaikan empat gaun muslimah yang rencananya akan diambil besok siang oleh sang pemilik. Sedangkan Bu Farida, malah di sibukkan menjaga Baby Daffa yang sudah mulai bisa berinteraksi dengannya seperti tersenyum dan mengedipkan kedua matanya, dan Baby Daffa sendiri merasa nyaman bersama dengan Bu Farida.
Tak lama ada seseorang yang mengetuk pintu rumah, Bu Farida melangkah pelan dari dalam kamar menuju pintu ruangan tamu, dan saat pintu di buka, ia cukup terkejut karena yang datang ke tempatnya adalah Martha.
"loh Martha, kamu tahu dari mana alamat rumahku?" Bu Farida mentap syok Nyonya Martha.
"Sudahlah kau tidak perlu tahu dari mana aku bisa mendapatkan alamat rumahmu, Farida. Pokoknya aku harus segera memberikan kamu informasi penting ini, dan aku yakin kamu pasti syok jika sampai mengetahuinya."
Bu Farida mengernyitkan kening, ia semakin penasaran apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh sahabatnya itu sehingga memaksanya nekat datang ke rumahnya yang berada di kawasan kumuh ini.
"Martha, apakah kau tidak merasa jijik ataupun geli berada di sini? kita kan bisa bertemu di tempat lain!"
Martha tak menghiraukan perkataan dari Farida, ia bergegas mengambil kursi plastik yang berada di sudut ruangan dan bersiap-siap untuk menceritakan berita besar terhadapnya, tapi sebelumnya Nyonya Martha sempat berbisik pelan.
" Inara masih lama kan di ruko?"
" Sepertinya begitu Martha, soalnya lagi banyak orderan!"
"Syukurlah Farida, aku sudah tidak sabar untuk menjelaskan semuanya kepadamu mengenai Inara dan juga Putraku, Rayyan."
Lagi-lagi Bu Farida di buat terkejut atas perkataan dari Martha.
Suasana pagi itu, cahaya matahari mulai condong naik atas, meninggalkan bayangan panjang di halaman. Nyonya Martha dan Bu Farida duduk berhadapan di kursi plastik yang diletakkan di teras ruangan tamu. Di antara mereka tergeletak teko teh dan beberapa camilan, namun kedua wanita paruh baya itu tampak tegang, tidak menyentuh hidangan.
Bu Farida memandang sahabatnya dengan tatapan penuh tanya, sedikit tidak sabar.
"Ayo, Martha, cepatlah! Kau ini membuatku penasaran setengah mati. Tadi kau bilang ada 'berita besar' yang tak bisa menunggu. Berita apa, sih? Aku sangat penasaran sekali!"
Nyonya Martha tersenyum misterius, ia menyesap tehnya sejenak, sengaja menggantung rasa penasaran Bu Farida.
"Sabar, Farida. Ini jauh lebih penting dari apapun tentunya"
Martha kemudian memasukkan tangannya ke dalam tas jinjing kulitnya. Ia mengeluarkan sehelai amplop besar berwarna cokelat muda, yang tampak berisi beberapa lembar kertas tebal. Ia meletakkan amplop itu di meja, lalu menggesernya perlahan ke arah Farida.
"Coba kau lihat desain gambar-gambar ini, Farida. Apakah kau mengenalnya, dan tahu siapa yang telah membuat dessin ini?"
Bu Farida mengerutkan kening, mengambil amplop itu, dan mengeluarkan isinya. Ia mulai memperhatikan lembar demi lembar desain sketsa pakaian yang rumit dan elegan. Matanya terbelalak saat melihat desain di lembar pertama, kemudian terhenti di halaman kedua yang menampilkan dua sketsa kebaya klasik yang indah.
Bu Farida: "Loh, ini seperti desain punya Inara! Dan dua gambar desain kebaya yang di halaman kedua, saya pernah melihatnya sekitar dua hari yang lalu... Ini desain punya Inara, ya?"
"Betul sekali, Farida! Ini semua desain milik Inara!"
Martha menghela napas panjang, merangkai kata-kata untuk mengungkapkan rahasia yang ia temukan.
"Kau tahu, Farida, Inara dan putraku, Rayyan... mereka secara diam-diam telah melakukan transaksi kerja sama tanpa sepengetahuanku dan juga dirimu."
Bu Farida terkejut, membulatkan matanya.
"Apa?! Jadi selama ini...?"
"Ya. Rayyan akan menggunakan desain Inara untuk perusahaannya. Mereka berdua merahasiakannya dariku. Mereka bertemu, bernegosiasi, dan bekerja sama layaknya seorang profesional. Dan... aku melihat potensi di sana, Farida."
Martha meraih tangan sahabatnya, tatapannya kini berubah menjadi penuh perhitungan.
"Kau tahu Farida, menurutku ini adalah jalan untuk menjadikan Inara sebagai menantuku, istri dari putraku!"
Bu Farida langsung menarik tangannya, wajahnya menunjukkan keraguan besar.
"Tapi kau yakin Inara mau? Aku tidak yakin, Martha. Inara masih sangat terluka dengan masa lalunya. Bisa dibilang dia masih trauma untuk menjalani bahtera rumah tangga untuk kedua kalinya!"
"Sudahlah, Farida. Pokoknya semua serahkan saja padaku. Yang terpenting, putraku dulu mesti aku bujuk agar dia mau menikahi Inara. Dan selebihnya, untuk Inara, aku minta bantuanmu untuk perlahan kau bujuk dia, bagaimana?"
Bu Farida terdiam sejenak. Ia memandang tumpukan desain Inara di tangannya, lalu menatap wajah Martha yang penuh keyakinan. Ia tahu betapa keras kepala sahabatnya itu jika sudah bertekad.
Bu Farida menghela napas pasrah.
"Baiklah, akan aku coba nanti."
Mendengar itu, Nyonya Martha merasa lega. Ia tersenyum, seolah separuh bebannya telah terangkat. Rencana barunya sudah mulai bergulir.
.
.
Malam semakin larut dan menyelimuti Mansion Witjaksono. Saat Rayyan tiba di Mansion, ia melihat ibunya di ruangan keluarga, Ibunya memicingkan mata, dan Rayyan merasa ada yang aneh dengan sikap ibunya kali ini.
Lalu ia mendekat dan menghampirinya dimana saat ini Nyonya Martha sedang duduk santai sambil memegang beberapa lembar kertas dan tentunya jika sampai Rayyan melihat lembaran kertas tersebut, ia pasti akan merasa syok.
"Bu, tumben jam segini belum tidur, sudah hampir jam sepuluh malam loh!" Rayyan duduk di kursi tunggal menghadap ke arah ibunya, ia memperhatikan ibunya sedang melihat lembaran kertas yang menurutnya tidak asing, bahwa saking penasarannya, Rayyan sempat melirik sekilas.
karena tak mendapatkan respon oleh ibunya, Rayyan menghela napasnya sejenak lalu ia kembali bertanya kepada Ibunya, dari raut wajahnya sepertinya suasana hati ibunya sedang tidak baik-baik saja.
"Bu....ibu dengarkan aku berbicara apa sama Ibu?"
"Hemmm...!" jawabnya singkat tanpa ekspresi, kemudian Nyonya Martha menyeruput teh hijau miliknya. Kemudian sempat melirik sekilas, lalu kembali fokus terhadap lembaran kertas di dalam genggaman tangannya.
Dan kini Rayyan mulai di buat kesal atas sikap ibunya yang tak biasa.
Ini membuat Rayyan tidak nyaman.
Rayyan yang duduk di sofa tunggal di hadapan ibunya mendengus kesal. Nyonya Martha hanya fokus memperhatikan kertas-kertas di tangannya, seolah Rayyan yang baru saja datang telah dianggap angin lalu.
"Bu, ada apa? Sejak tadi Ibu bersikap aneh. Aku pulang disambut dengan tatapan dingin, seperti aku melakukan kesalahan fatal. Apa yang sebenarnya yang telah terjadi?"
Nyonya Martha tidak bergeming, ia tetap fokus pada lembaran kertas itu.
Hingg pada akhirnya Rayyan semakin kesal dan tak terkendali.
"Baiklah, kalau Ibu tidak mau bicara, sebaiknya aku pergi. Percuma saja ngomong sama Ibu!"
Rayyan baru saja hendak bangkit dari duduknya dan Nyonya Martha akhirnya merespons. Ia berdehem kembali, lalu bangkit dan berjalan perlahan menuju Putranya. Ia kemudian menjatuhkan lembaran-lembaran desain yang ia pegang itu ke pangkuan putranya.
"Coba jelaskan, apa maksud dari semua ini, Rayyan? Kau diam-diam ingin memanfaatkan Inara demi kepentingan perusahaan, benar begitu?" Tegurnya dengan nada dingin dan tajam.
Rayyan terkejut bukan kepalang. Desain yang kini berada di pangkuannya adalah sketsa-sketsa milik Inara dimana sehari yang lalu ia beli hak pakainya untuk perusahaannya.
Rayyan mengambil desain itu dengan tangan gemetar.
"I..Ini... dari mana Ibu mendapatkan ini?"
"Itu tidak penting. Yang penting, kenapa kau merahasiakan ini dariku? Kenapa kau menjalin kerja sama secara diam-diam dengan Inara, tanpa memberitahuku dan juga Bu Farida?"
Rayyan merasakan darahnya mendidih, bukan karena ketahuan, tetapi karena merasa rencana profesionalnya diusik. Dalam hati, ia mulai menggerutu liar.
'Sialan, siapa yang berani membocorkan rahasia ini? Kurang ajar sekali! Ataukah ini adalah perbuatan dari Inara? Dia ingin menjebakku? Dasar wanita menyebalkan.'
Rayyan malah menuduh Inara yang tidak-tidak, tanpa menyadari bahwa ibunya memiliki rencana yang jauh lebih besar dari sekadar urusan bisnis.
Apa yang akan Rayyan jawab untuk membela diri dari tuduhan ibunya?
Bersambung...