Arkan, seorang pria kaya dan berkuasa dengan kepribadian yang dingin dan suka mengontrol orang lain, terjebak dalam permainan cinta dengan Aisyah, seorang wanita muda yang cantik dan berani. Aisyah memiliki tujuan tertentu untuk Arkan, dan ia akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.
Arkan memiliki rencana untuk Aisyah, tetapi seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Aisyah. Ia mulai mempertanyakan perasaan dirinya sendiri dan mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam hatinya.
Aisyah sendiri juga memiliki rahasia yang tidak diketahui oleh Arkan. Ia memiliki tujuan untuk membalas dendam kepada orang yang telah menyakiti keluarganya, dan Arkan menjadi bagian dari rencananya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhamad Wirdan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Pintu ruangannya perlahan terbuka, dan seorang pria berjas hitam melangkah masuk. Langkahnya tenang, tapi ada aura berat yang langsung memenuhi ruangan. Arkan menatap pria itu, mencoba mengingat apakah ia pernah melihatnya sebelumnya, namun tidak menemukan jawabannya.
Pria itu berhenti di depan mejanya.
“Arkan Pradipta,” katanya pelan. Suaranya dalam, dingin, dan mengesankan sesuatu yang serius. “Akhirnya kita bertemu.”
Arkan mengerutkan kening.
“Maaf… siapa Anda?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia membuka jasnya sedikit, mengambil sebuah amplop cokelat tebal, lalu meletakkannya di meja kerja Arkan. Suara amplop itu jatuh bagaikan pukulan kecil yang memecah ketenangan ruangan.
“Ini,” katanya, “adalah sesuatu yang harus Anda lihat. Sesuatu yang berhubungan dengan Aisya.”
Detak jantung Arkan langsung melambat, lalu berdegup cepat.
“Aisya?” Ia bangkit dari kursinya. “Apa maksud Anda? Siapa Anda dan kenapa membawa-bawa Aisya?”
Pria itu menatap Arkan dalam-dalam, seolah ingin memastikan sesuatu sebelum melanjutkan pembicaraannya.
“Aku datang bukan untuk menyakitimu,” katanya. “Tapi seseorang dari masa lalu Aisya… dan juga masa lalumu… sudah kembali.”
Ruangan mendadak terasa dingin.
“Apa yang Anda bicarakan?” suara Arkan meninggi.
Pria itu mengambil napas panjang, kemudian akhirnya memperkenalkan diri.
“Namaku Darin. Aku dulunya bekerja untuk seseorang yang… berada di balik hilangnya Aisya waktu itu.”
Arkan merasakan sesuatu di dadanya menghantam keras. Dunia seolah berputar sejenak.
Namun ia memaksa dirinya tetap berdiri tegak.
“Berarti kamu tahu apa yang terjadi pada Aisya,” katanya tajam. “Apa yang sebenarnya terjadi pada dia? Katakan sekarang!”
Darin menunduk sedikit, wajahnya berubah muram.
“Ada alasan kenapa Aisya kehilangan ingatannya. Dan ada alasan kenapa dia ditemukan di tempat itu, bersama wanita tua itu.”
Arkan mengepalkan tangan.
“Ada seseorang yang ingin Aisya tidak pernah kembali padamu,” lanjut Darin. “Dan orang itu… sekarang tahu bahwa Aisya sudah bersamamu lagi.”
Arkan merasakan hawa panas menusuk tengkuknya.
“Siapa orang itu?” desaknya.
Darin ragu sejenak—lalu menjawab perlahan.
“Orang yang sama yang membuat Aisya pergi tiga tahun lalu.”
Arkan terdiam. Kata-kata itu seperti pedang yang menusuk tepat di tengah dadanya.
“Buka amplop itu,” kata Darin. “Dan kamu akan mengerti kenapa aku datang.”
Tangan Arkan sedikit bergetar ketika ia meraih amplop itu dan membukanya.
Di dalamnya terdapat beberapa foto, lusinan lembaran dokumen, dan satu catatan kecil dengan tulisan tangan yang familiar.
Tulisan itu membuat Arkan membeku.
Itu tulisan Aisya.
Dan di sana, dengan huruf-huruf yang sedikit gemetar, tertulis:
“Arkan, jika kamu membaca ini… berarti mereka sudah menemukan kita.”
Arkan menegang. Ia mengangkat wajahnya tajam ke arah Darin.
“Apa maksudnya ‘mereka’?!”
Namun sebelum Darin sempat menjawab, pintu ruangannya tiba-tiba diketuk keras dari luar—dua, tiga kali—seolah seseorang memaksa masuk.
Darin langsung menoleh, wajahnya berubah tegang.
“Kita tidak punya banyak waktu,” katanya cepat. “Arkan, dengarkan aku baik-baik. Aisya dalam bahaya. Dan jika kamu ingin melindunginya…”
Pintu kembali diketuk lebih keras.
“…kau harus pergi dari sini. Sekarang juga.”
Suara ketukan pelan terdengar di pintu ruang kerja Arkan. Sekretarisnya muncul sebentar, lalu mempersilakan seseorang masuk. Arkan mengangkat wajahnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya sudah dipenuhi rasa penasaran.
Sosok itu masuk perlahan.
Seorang pria tinggi dengan jas hitam sederhana, wajahnya tegas, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit dibaca—beban, atau mungkin rahasia.
Arkan merasakan bulu kuduknya sedikit berdiri, tanpa tahu kenapa.
“Silakan duduk,” kata Arkan sopan.
Pria itu tidak langsung duduk. Ia berdiri di depan meja, menatap Arkan. Lama. Cukup lama hingga membuat suasana jadi menegangkan sebelum akhirnya ia berkata:
“Arkan Pradipta.”
Nada suaranya datar namun berat.
Arkan mengangguk. “Ya. Anda siapa?”
Tanpa menjawab, pria itu merogoh ke dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal. Ia meletakkannya di atas meja Arkan dengan gerakan hati-hati.
Suara jatuhnya amplop itu terdengar pelan, tapi memberi kesan berat—seperti membawa sesuatu yang tidak menyenangkan.
“Apa ini?” tanya Arkan.
“Informasi,” jawab pria itu. “Tentang Aisya.”
Dada Arkan langsung terasa diremas sesuatu. Napasnya tertahan sejenak.
“Apa maksud Anda?” suaranya lebih serius.
Pria itu akhirnya menarik kursi dan duduk, merapikan jasnya dengan tenang.
“Namaku Darin.”
Arkan mencoba mengingat. Tidak ada nama itu dalam hidupnya. Tapi ada sesuatu dalam cara pria itu menyebutkan namanya—seolah ia sudah lama hidup di balik bayangan cerita ini.
“Aku tidak mengenalmu,” kata Arkan jujur.
“Aku tidak perlu kamu kenal,” jawab Darin. “Yang penting aku mengenal Aisya.”
Tubuh Arkan langsung menegang.
Darin melanjutkan, “Aku tahu apa yang terjadi padanya. Aku tahu kenapa ia bisa hilang. Dan aku tahu siapa yang ada di balik semua itu.”
Arkan bersandar ke depan. “Siapa?”
“Ada seseorang,” kata Darin perlahan, “yang tidak ingin Aisya kembali. Seseorang dari masa lalu Aisya—dan masa lalu Anda juga, meski Anda tidak mengetahuinya.”
Arkan menatapnya tajam. “Bicara yang jelas.”
“Saya tidak bisa menyebutkan namanya sekarang,” jawab Darin. “Karena jika saya melakukannya di tempat ini, Anda dan Aisya sama-sama dalam bahaya.”
Arkan mengepalkan tangan.
Kalimat itu tidak terdengar seperti ancaman—lebih seperti peringatan.
“Buka amplop itu,” kata Darin tenang.
Arkan membuka amplop dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada foto-foto, dokumen, dan sebuah catatan kecil dengan lipatan rapi.
Perhatiannya tertarik pada catatan itu. Ia mengambilnya. Baru membuka dua baris saja… jantungnya seperti berhenti.
Tulisan itu…
Tulisan itu sangat ia kenal.
Tulisan tangan Aisya.
Dan kalimat yang tertulis membuat Arkan membeku:
“Arkan… jika kamu membaca ini, berarti mereka sudah menemukanku.”
Arkan mendongak cepat, menatap Darin tajam.
“Apa maksud semua ini? Kapan Aisya menulis ini?! Kenapa dia—”
Darin mengangkat tangan kecil, menenangkan. “Saya tahu ini mengejutkan. Tapi Aisya tidak hilang tanpa alasan. Dia menyembunyikan sesuatu. Bukan karena dia tidak percaya padamu, Arkan… tapi karena dia ingin melindungimu.”
Arkan berdiri dari kursinya. “Dimana Aisya sekarang? Apakah dia aman?”
“Untuk saat ini, ya,” jawab Darin. “Tapi—”
DUK! DUK! DUK!
Suara ketukan keras menghantam pintu ruang Arkan. Berbeda dari sebelumnya—lebih kasar. Lebih mendesak.
Membuat darah Arkan terasa mendingin.
Darin langsung berdiri. Wajahnya berubah serius.
“Seperti yang saya bilang… kita tidak punya banyak waktu.”
Ketukan kembali datang, lebih kuat.
Sekretaris Arkan terdengar gugup dari luar:
“P-Pak Arkan… orang ini… saya—”
DUK!!
Seseorang seolah menepisnya.
Darin menghadap Arkan.
“Jika Anda ingin melindungi Aisya…” katanya cepat.
Arkan menahan napas.
“…Anda harus ikut saya. Sekarang.”
Pintu ruangannya mulai bergerak, seperti didorong paksa.
Dan untuk pertama kalinya sejak Aisya kembali, Arkan merasakan ketakutan yang nyata—ketakutan bahwa kebahagiaannya mungkin akan direnggut lagi.