Tak pernah terpikirkan bagi Owen jika dirinya akan menikah dengan selebgram bar-bar semacam Tessa. Bahkan di sini dialah yang memaksa Tessa agar mau menikahinya. Semua ia lakukan hanya agar Tessa membatalkan niatnya untuk menggugurkan kandungannya.
Setelah keduanya menikah, Tessa akhirnya melahirkan seorang putri yang mereka beri nama Ayasya. Kehadiran Ayasya, perlahan-lahan menghilangkan percekcokan yang awalnya sering terjadi di antara Tessa dan Owen. Kemudian menumbuhkan benih-benih cinta di antara keduanya.
Empat tahun telah berlalu, satu rahasia besar akhirnya terungkap. Seorang pria tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayah biologis Ayasya.
Bagaimana kelanjutan rumah tangga Owen dan Tessa?
Apakah Ayasya akan lebih memilih pria yang mengaku sebagai ayah biologisnya dibanding Owen, ayah yang merawatnya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShasaVinta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Penyelesaian Masalah
Siang itu, Tessa duduk dengan gugup di sebuah kafe yang lokasinya tak jauh dari kompleks perumahannya. Hatinya teramat gelisah, bukan hanya karena janji temunya, tapi karena ia pergi seorang diri. Meninggalkan Ayasya di rumah bersama Ibu mertua dan Adik iparnya.
Sebenarnya Tessa tahu, betapa sayangnya Ibu mertua juga Adik iparnya kepada putrinya. Tak mungkin mereka berdua menyakiti Aya. Namun, mengingat semua yang pernah mereka lakukan dulu pada putrinya, Tessa tentu saja khawatir.
Sejak tadi Tessa tak henti memeriksa pesan yang telah ia kirimkan pada Owen. “Semoga pesanku tak ia baca karena memang sedang sibuk, dan bukan karena sengaja ia abaikan,” fmonolog Tessa saat belum ada tanda-tanda pesannya telah dibaca oleh suaminya.
Pesan yang isinya kurang lebih memberitahukan pada Owen jika dirinya hendak pergi, untuk menyelesaikan penyebab kesalahpahaman di antara mereka. Juga, di pesan itu Tessa memberitahu Owen jika dirinya meninggalkan Aya di rumah. Harapan Tessa, saat membaca pesaannya Owen akan berpikir untuk pulang lebih awal.
Sudah dua gelas air putih yang dihabiskan Tessa, namun yang ia nanti tak kunjung tiba. Ibu muda itu semakin gelisah, saat melihat jam di pergelangan tangannya. Hampir satu jam ia meninggalkan putrinya dan ia mulai merasa tak tenang.
“Apa mereka nggak jadi datang, ya?” gumam Tessa.
Ingin rasanya Tessa pergi meninggalkan kafe itu, namun rasanya sayang jika harus kembali ke rumah tanpa membawa hasil. Dirinya tak sanggup jika harus didiamkan Owen lebih lama. Senyuman tipis terlihat di wajah cantiknya, kala ia membayangkan bagaimana rumah terasa bagai neraka saat suaminya merajuk.
Senyum tipisnya mengembang, ketika dari arah pintu ia melihat beberapa orang yang ia nanti-nantikan. “Pak … Bu …” pekik Tessa tak sabar. Ia tak peduli jika pengunjung kafe yang lain menatapnya dengan tatapan sinis.
“Bu Tessa, maaf karena telah membuat Anda menunggu lama,” ucap Pak Budi yang tak lain adalah perwakilan perusahaan yang baru beberapa hari lalu ia temui.
“Bukan masalah, Pak. Hanya saja, maaf saya tidak memiliki waktu lebih lama lagi. Saya khawatir putri saya menunggu di rumah,” jawab Tessa.
“Oh iya, bener juga. Tumben banget Aya nggak ikut, ya. Biasanya ke mana-mana selalu berdua,” celetuk Ibu Angela ikut berkomentar.
“Di rumah sedang kedatangan keluarga suami saya, Bu. Ayasya lagi main bersama mereka,” jelas Tessa.
Saat dua orang yang dinanti Tessa telah duduk, ia langsung saja mengutarakan maksudnya. “Begini … Pak, Bu, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas keputusahan sepihak kami,” ucap Tessa.
Tessa bisa melihat Pak Budi dan Bu Angela yang saling pandang dengan kening mengernyit. “Saya ingin membatalkan kerjasama kita. Maafkan keputusan sepihak kami, tapi putri saya akan mundur dari proyek ini.”
“Loh, ada apa Bu? Perjanjian kerjasama kita saja baru ditandatangani beberapa hari yang lalu,” ucap Pak Budi.
“Bahkan proyeknya belum mulai, Bu Tessa. Coba dipikirkan lagi,” ucap Bu Angela ikut menambahi.
“Kami benar-benar menyesal Pak, Bu. Tapi keputusan kami sudah bulat,” ungkap Tessa.
“Apa ada yang kurang, Bu dari isi perjanjian kita. Apa mungkin Bu Tessa ingin mengajukan revisi atas isi perjanjian kerjasama kita?” Bu Angela yang tak ingin kerjasama mereka berakhir terus membujuk Tessa agar mengubah pikirannya.
Bagi Bu Angela yang berindak sebagai penanggung jawab lapangan pada proyek ini, Ayasya … balita itu sungguh memiliki potensi yang luar biasa. Saat bertemu pertama kali, Bu Angela sudah optimis jika proyeknya kali ini akan sukses tanpa harus menghabiskan banyak tenaga. Ayasya benar-benar menuruni sifat Ibundanya, pikir Bu Angela.
“Maaf beribu maaf Bu Angela, alasan kami untuk mundur bukan karena isi perjanjian. Kami sungguh bersyukur dengan isi perjanjian yang sangat memudahkan dan menguntungkan kami. Alasannya ada di internal pihak kami, Bu.” Jelas Tessa.
Makanan dan minuman yang sengaja Tessa pesan sebelum Pak Budi dan Bu Angela datang, sekarang sedang disajikan oleh pramusaji. “Loh, tapi kami belum pesan apa-apa?!” celetuk Pak Budi bingung.
“Saya yang memesannya Pak, Bu. Saya harap sesuai dengan selera Bapak dan Ibu,” jawab Tessa.
Setelah semua makanan terhidang, mereka mulai makan. Namun, Pak Budi yang tak sabar tetap saja berbicara guna membahas keputusan akhir dari pertemuan mereka kali ini.
“Apa Bu Tessa sudah yakin ingin membatalkan kerjasama ini? Bu Tessa sudah tahu mengenai konsekuensinya?” tanya Pak Budi.
Tessa mengangguk, menghabiskan sisa makanan di dalam mulutnya. “Iya Pak, perihal denda pinalti akan saya selesaikan hari ini juga.”
“Bu Tessa, mengingat jika proyek ini bahkan belum mulai dan belum ada dana perusahaan yang digunakan, saya akan coba bicarakan ke perusahaan. Semoga untuk denda pinaltinya bisa berkurang,” usul Bu Angela.
“Wah, benarkah? Terima kasih, Bu.” Dalam hati Tessa bersorak, semoga nominal akhirnya nanti masih sesuai dengan isi tabungannya. Tessa berniat akan mengembalikan uang yang dikirim oleh kedua orang tuanya, jika hal itu benar terjadi.
“Sama-sama, Bu. Tapi dengan satu syarat,” ucap Bu Angela.
“Jika nanti Aya sudah siap, Bu Tessa jangan lupa untuk memghubungi kami, ya. Saya sungguh menantikan untuk bekerjasama dengan Ibu dan Putri Ibu,” imbuhnya.
Senyuman Tessa semakin merekah. “Tentu saja, Bu. Saya akan melakukan hal itu.”
Setelah pembahasan mengenai pembatalan kerjasama selesai, seraya menikmati hidangan makan siang, mereka kembali berbincang. Bu Angela yang mengetahui dan mengikuti perkembangan karir Tessa sudah sejak lama, masih penasaran dengan alasan Ibu muda nan cantik itu memilih vakum dari profesinya sebagai selebgram.
“Jika ditanya rindu atau tidak, jujur saja aku rindu,” ungkap Tessa. “Namun kini ada hal lain yang lebih penting, keluargaku.”
Obrolan berlanjut saat Bu Angela menceritakan mengenai dirinya yang dulu sering kali mengikuti jejak sosial media Tessa. Bersamaan dengan itu, tanpa diduga Owen dan beberapa orang rekannya masuk ke dalam kafe.
“Dokter, bukankah yang di sana istrimu?” ucap salah satu rekan Owen seraya menunjuk ke arah Tessa.
Owen yang ikut mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk, hanya tersenyum tipis seraya mengangguk. “Ya, itu istriku,” jawabnya singkat.
Saat rekan-rekannya berjalan ke arah meja yang telah mereka reservasi sebelumnya, Owen malah berjalan ke arah yang berbeda. Ia akan menghampiri istrinya. Jauh dilubuk hatinya, Owen ingin tahu siapa pria yang sedang mengobrol bersama Tessa.
“Tes!” seru Owen saat jarak keduanya semakin dekat.
“Ba-Bang Owen.” Tessa terbata-bata saat menjawab sapaan suaminya.
“Kamu sendiri? Mana Aya?” tanya Owen tanpa peduli pada dua pasang mata yang sedang mengamatinya.
“Ya, aku sendiri. Aya di rumah bersama Ibu dan Qanita,” jawab Tessa.
“Silakan duduk, Bang.”
Owen mengikuti ucapan Tessa, ia menarik satu kursi dan sengaja ia dekatkan ke sisi istrinya.
“Bang … kenalin ini Pak Budi dan Bu Angela. Mereka yang mewakili perusahaan yang terlibat perjanjian kerjasama denganku dan Aya,” jelas Tessa.
Seketika wajah Owen menegang. Mengingat jika perjanjian si*lan itu yang telah membuat kedamaian rumah tangganya terguncang. Raut wajah Owen seketika berubah dingin.
“Kenalin Pak Budi, Bu Angela, ini suami saya,” ucap Tessa.
Ketiganya pun berjabat tangan sebagai tanda perkenalan. Bahkan setelahnya Bu Angela dengan santainya mengungkapkan tujuan pertemuan mereka. Bahkan mengenai biaya pinalti dan jumlahnya pun ia sebutkan. Hal itu memncing tanda tanya dalam benak Owen.
Tak lama pertemuan mereka selesai. Tessa pikir Owen akan kembali menemui rekan-rekannya. Rupanya dugaannya tak tepat. Suaminya itu malah menggenggam tangannya erat. Berpamitan pada rekan-rekannya, jika ia akan pulang bersama istrinya.
Di dalam mobil, Tessa bisa merasakan jika sesuatu yang buruk akan terjadi. Owen yang sejak tadi bungkam dengan raut wajah dinginnya, membuat Tessa merasa takut. Mobil melaju, melewati jalanan yang tak biasa mereka lalui. Owen menepikan mobilnya di jalanan yang cukup sepi.
Beep.
Bunyi klakson mobil saat Owen memukul kemudi di hadapannya. Tessa terlonjak, refleks tubuhnya bergeser merapat ke pintu menjauhi Owen.
“Katakan padaku dari mana kamu mendapatkan uang untuk membayar denda pinalti dengan jumlah yang sangat besar itu?” tanya Owen tanpa menatap Tessa.
“A-aku mengumpulkan dari sisa tabunganku dan tabungan Aya dari beberapa kali hasil endorse-nya,” jawab Tessa.
“Hanya itu saja?” Owen berbalik menatap Tessa. Ia ingin mencari kejujuran dari sorot mata istrinya.
Tessa menggeleng. “A-aku juga meminta bantuan Mami dan Papi,” imbuhnya.
Mendengar jawaban istrinya, Owen lantas mencengkeram erat kemudi guna menahan emosinya. “Mengapa kamu selalu bertindak sendiri, Tes. Apa susahnya jika kamu bicara padaku lebih dulu,” lirih Owen berucap tanpa menatap istrinya.
“Apa kamu pikir aku tak sanggup? Kamu telah menjatuhkan lagi harga diriku, Tes. Bagaimana jika orang tuamu berpikir aku tak becus sebagai suami. Tak bisa menyelesaikan masalah yang ada dalam rumah tangga kita?!”
“Maafkan aku, Bang. Aku hanya tak ingin menyusahkanmu. Ini masalah yang kubuat, aku tak ingin membebanimu,” jelas Tessa.
Owen lantas berbalik menatap Tessa. Sengaja ia tatap kedua netra Tessa lekat-lekat. “Sejak aku mengucapkan ijab kabul saat menikahimu, sejak saat itu aku menerima dan menjadikanmu bagian dari diriku. Aku menerima semua tanggung jawab yang dipikul ayahmu atas dirimu. Sejak detik itu, apa pun yang terjadi padamu, baik buruknya itu adalah tanggung jawabku.”
“Apa kamu masih tak mengerti hal itu?!”
Penuturan suaminya sungguh meremukkan hati Tessa. Bukan karena ucapan Owen, tapi hatinya sakit karena sesal. Merasa telah banyak berbuat salah pada pria di hadapannya. Pria yang sejak awal telah menerima keburukannya.
Tessa tak kuasa membendung air matanya. “Maafkan aku, Bang. Maafkan aku!”
“Maafkan aku yang selalu bertindak gegabah. Maaf jika aku selalu melukai perasaanmu, aku sungguh tak berniat melakukan itu,” sesal Tessa.
Bungkamnya Owen dan tatapan pria itu membuat Tessa semakin merasa bersalah. Entah dari mana keberanian itu muncul, Tessa tiba-tiba mendekat kepada suaminya. Ia lalu melingkarkan kedua lengannya pada leher Owen. Tessa semakin terisak saat ia benamkan wajahnya di bahu suaminya.
Awalnya Owen terkejut dengan apa yang dilakukan Tessa. Namun lama-lama mendengar tangisan istrinya, hatinya merasa semakin sedih. Ia bisa merasakan besarnya penyesalan Tessa.
Akhirnya, Owen membalas pelukan istrinya. Ia peluk erat tubuh istrinya dan mengusap lembut punggungnya. Mendapat balasan seperti dari Owen, Tessa mengangkat kepalanya lalu menatap Owen.
Cukup lama keduanya berpandangan, sebelum akhirnya dua bibir menyatu. Entah siapa yang memulai lebih dulu, yang pasti ciuman keduanya semakin dalam dengan napas yang semakin memburu. Bahkan Tessa kini sudah berpindah ke pangkuan Owen, meski bibir keduanya masih terus beradu.
Cukup lama sepasang suami istri itu berciuman, hingga akhirnya harus terhenti karena napas keduanya sudah sesak. “Ayo pulang! Aku ingin mengajakmu ke Kota P. Kita akan mengunjungi Papi dan Mami, juga mengembalikan uang itu pada mereka,” ungkap Owen.
Tessa menunduk. Ia ragu apakah ia sudah siap untuk kembali lagi ke sana.
“Tenanglah, kamu tak akan sendiri. Aku dan Aya akan selalu ada bersamamu. Jangan ragu,” ucap Owen meyakinkan Tessa.
...…...
Tibalah hari yang telah mereka rencanakan. Hari ini adalah kali pertama Tessa kembali menginjakkan kembali kakinya di Kota P. Kota tempat ia dibesarkan selama puluhan tahun. Kedua orang tuanya menjemput mereka di bandara.
“Bagaimana penerbangan kalian?” Tanya Mami Fhanie saat mereka semua sudah berada dalam mobil dan menuju ke kediaman orang tua Tessa.
“Alhamdulillah, penerbangannya lancar, Mi. Aya juga tak rewel,” jawab Tessa.
“Cu-ka … Aya cuka naik ecawat,” celetuk Aya dengan terbata-bata dan masih tak begitu jelas. Anak itu sungguh riang membuat perjalanan mereka jadi tak membosankan.
Beberapa hari telah berlalu di Kota P. Mami dan Papi Tessa benar-benar memanfaatkan waktu bersama cucu yang sangat mereka rindukan. Dua hari lagi, keluarga Owen akan kembali ke kota X karena masa cuti Owen akan berakhir.
Hari ini Tessa dan Owen pergi secara terpisah. Mereka masing-masing menemui sahabat-sahabatnya. Jika Owen bertandang ke rumah sakit Pelita Harapan untuk menemui Noah dan Sandy, Tessa dan kedua sahabatnya memilih menghabiskan waktu kebersamaan mereka dengan perawatan diri bersama.
Di sebuah salon yang menyediakan perawatan tubuh dari ujung kaki hingga ujung rambut, kini Tessa, Sea, juga Phila tengah berkumpul. Mereka berada di dalam satu kamar untuk menikmati pijatan pada sekujur tubuh mereka.
Tessa dan Sea tertawa saat menyadari jika Phila tertidur saking menikmatinya pijatan pada tubuhnya. “Entah apa yang sudah dilakukan anak itu, lihatlah … dia sampai tertidur. Apa dia sangat kelelahan?”
Sea mengedikkan bahunya sebagai jawaban. “Kamu pasti tahu bagaimana repotnya memiliki bayi. Aku pun jarang memiliki waktu untuk bertemu dengan Phila,” jelas Sea.
“Eh … Tes,” Sea menggantungkan ucapannya. Sebenarnya ia ragu untuk menyampaikan ini. Namun, amanat tetaplah amanat.
“Kamu masih ingat Alfio, kan?” Seketika tubuh Tessa menegang.
“Masa hukumannya di penjara tersisa kurang lebih tiga tahun lagi,” ungkap Sea.
“Aku tak ada urusannya dengan itu,” jawab Tessa berusaha tenang.
“Maafkan jika aku membuatmu tak nyaman, Tes. Tapi saat terakhir kali bertemu dengannya, Alfio menanyakan keberadaanmu,” ungkap Sea.
“Dia menitipkan pesan padaku. Katanya, saat dia bebas nanti … dia akan menemuimu.”
Seketika tubuh Tessa semakin menegang. Ia palingkan wajahnya segera tak ingin agar Sea menyadari perubahan raut wajahnya.
Kumohon, Tuhan … jangan, jangan pertemukan aku lagi dengannya, batin Tessa.
...——————...
nawra wanita licik, ben..
wah alfio serius kamu suka ama qanita aunty dari putri mu, takdir cinta seseorang ga ada yang tau sih ya.
kak shasa setelah ini kasih bonchap kak pengen tau momen tessa melahirkan anak kedua nya, pengen tau raut bahagia dari owen, aya dan semua menyambut kelahiran adik nya aya...