"Sampai kapan kamu akan berlindung di ketiak mama? Kalau sikap kamu manja seperti ini mana ada laki-laki yang mau menikahi kamu. Abang tahu kamu sering dimanfaatkan oleh pacar-pacar kamu itu 'kan?"
"Abang, jangan meremehkan aku. Aku ini bukan gadis manja seperti yang kau tuduhkan. Aku akan buktikan kalau aku bisa mandiri tanpa bantuan dari kalian."
Tak terima dianggap sebagai gadis manja, Kristal keluar dari rumahnya.
Bagaimana dia melalui kehidupannya tanpa fasilitas mewahnya selama ini?
Yang baca wajib komen!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nirwana Asri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah paham
"Kristal." Pemilik nama itu menoleh ketika suara laki-laki yang dia kenal memanggilnya.
"Eh, Pak Gilang. Apa kabar, Pak?"
Gilang tampak kagum dengan penampilan Kristal yang begitu elegan memakai setelan kerja seperti yang dia pakai sekarang ini.
"Ada urusan apa datang ke sini?"
"Saya habis ada meeting dengan klien tadi," ucapnya sedikit tidak enak. Dia tidak mau dianggap sebagai wanita yang sombong.
"Oh." Jawaban yang singkat mengingat Kristal memang berasal dari keluarga kaya jadi Gilang bisa memaklumi jika dia kembali pada pekerjaannya yang dulu.
"Apa kamu mau duduk dulu?"
"Ah, tidak Pak." Sepertinya dia juga tidak bisa berlama-lama. Kristal masih menantikan kabar Ruli sebenarnya tapi dia urung menanyakan kabar Ruli pada Gilang. Mereka belum jadian jadi Kristal tidak mau Gilang berpikir yang macam-macam. Tapi lebih ke malu saja sebenarnya.
"Baiklah."
"Saya permisi, Pak." Kristal keluar dari restoran tersebut. Di depan restoran dia menunggu taksi yang telah dipesan. Akan tetapi, sebuah mobil mewah tiba-tiba berhenti di depannya. Kemudian laki-laki yang ada di dalam mobil itu turun.
"Papa, kebetulan sekali," ucap Kristal yang girang saat bertemu papanya.
Jaden tersenyum pada anak gadisnya dan mengacak rambutnya dengan lembut. "Ngapain di sini sendirian?" tanya Jaden.
"Habis meeting sama klien. Tapi aku nggak bawa mobil. Mobilnya aku tinggal di kantor."
"Ya sudah ayo masuk. Sepertinya mau hujan juga." Kristal mengangguk.
Sementara itu, dari kejauhan Yanti yang melihat Kristal masuk ke dalam mobil mewah itu merekam secara diam-diam kedekatan antara mereka. "Ini akan jadi bahan gosip yang paling ditunggu. Dasar gadis sok suci tahunya main sama om-om. Hemfh, menjijikkan," gumamnya seorang diri di dekat jendela.
Kemudian Gilang yang mengamati kelakuan Yanti segera menegurnya. "Apakah pekerjaan kamu sudah selesai?" Suara bass-nya membuat Yanti terperanjat kaget.
Yanti menyembunyikan handphone yang sedang dia pegang ke belakang punggung. "Maaf, Pak," ucapnya lalu pergi ke belakang. Gilang hanya menggelengkan kepalanya.
Hujan turun dengan sangat lebat. Saat itu mobil Jaden berhenti di lampu merah. Saat Kristal menoleh ke samping, dia melihat Ruli sedang berada di dalam mobil. Akan tetapi dia membawa seseorang. "Siapa wanita itu?" Gumam Kristal.
"Sayang, kamu lihat apa?" tanya Jaden yang mengamati sejak tadi putrinya melihat ke arah luar jendela. Jaden belum pernah bertemu dengan Ruli jadi dia tak menyadari kalau laki-laki yang disukai anaknya itu berada di samping mobilnya.
"Ah, tidak Pa." Kristal menunduk kecewa. Dia tak menyangka Ruli begitu cepat melupakannya. Setelah pulang dari luar kota dia malah membawa seorang wanita bersamanya. Apa dia adalah kekasihnya? Lalu dia menganggap Kristal apa? Banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepala Kristal. Dadanya sungguh sesak karena sejak pertemuannya di rumah sakit, Ruli tak lagi menghubungi dirinya.
Sesampainya di rumah, Kristal masuk dengan langkah gontai. "Kamu kok bisa bareng papa, Kristal?" tanya Ibunya.
Kristal tidak menjawab. "Kenapa dia, Pa?" tanya Berlian pada suaminya. Jaden hanya menggedikkan bahu. "Sejak tadi dia seperti itu. Papa tadi ketemu dia di jalan sedang menunggu taksi."
Berlian meraih tas kerja suaminya. Jaden duduk sambil melonggarkan dasi yang ia kenakan. "Restoran mana? Ngapain dia di sana sendirian?" tanya Berlian.
"Hanya ketemu klien, mobilnya sengaja ditinggal di kantor. Ma minumnya mana?"
"Oh iya mama sampai lupa. Sebentar ya." Berlian pun berjalan ke dapur untuk membuatkan secangkir teh hangat untuk suaminya. Setelah memberikan minuman itu, Berlian berniat menyusul anaknya ke dalam kamar. Dia curiga ini berkaitan dengan Ruli. Seingatnya Ruli belum pernah menghubungi anaknya itu semenjak keluar dari rumah sakit.
"Mama mau ke mana?" tanya Jaden.
"Mama mau siapin air hangat dulu buat papa habis itu mau bicara sebentar sama Kristal."
Tok tok tok
Berlian mengetuk pintu kamar putrinya tapi tidak ada jawaban. Akhirnya dia masuk begitu saja. Tak ada orang di dalam kamar tapi terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Dia menunggu anaknya sampai keluar.
Tak lama kemudian Kristal keluar dari kamar mandi masih menggunakan handuk kimononya. "Mama, ngapain di sini?" tanya Kristal yang terkejut saat melihat mamanya sedang duduk di atas ranjangnya.
"Sini duduk!" Dia menepuk kasur agar anaknya itu segera duduk di sampingnya.
"Bagaimana kabar Ruli?" Kristal malas menjawab pertanyaan mamanya.
"Nggak ada kabar."
Berlian mengerutkan keningnya. "Kamu sudah hubungi handphonenya?" Kristal mengangguk.
"Nggak aktif. Kristal benci sama dia. Kenapa setelah..." Kristal menggantung kalimatnya. Tak mungkin dia bilang jujur pada ibunya kalau mereka sudah pernah berciuman.
"Setelah apa?"
"Setelah menyatakan cinta kenapa tidak ada kejelasan. Bahkan tadi aku lihat dia satu mobil dengan perempuan lain. Kesel kan Ma." Kristal menangis sambil sandaran pada ibunya.
Berlian mengusap rambut panjang anaknya yang masih basah itu. "Barangkali yang kamu lihat itu hanya rekan kerja atau saudaranya."
Kristal berhenti menangis. "Saudara?" Dia memang tidak pernah menanyakan siapa saja saudara kandungnya. Saat tinggal di rumah Ruli, dia hanya tahu kalau Ruli tinggal bersama dengan mamanya.
"Sebaiknya kamu besok ke tempat kerjanya."
"Sudah Ma. Kebetulan hari ini Bang Alex ngajak aku meeting di restoran miliknya tapi dia tidak datang. Aku kira masih di luar kota."
"Kalau gitu samperin ke rumahnya." Berlian memberikan saran.
Kristal pastinya gengsi karena tidak mungkin dia pergi ke rumah laki-laki meski dia punya alasan. Namun, bukan Kristal namanya kalau tidak memiliki akal. "Besok aku akan pura-pura ambil barang-barangku yang tertinggal di sana," ungkapnya.
"Kalau gitu besok kamu bawain apa buat calon mertua kamu?"
"Hah, harus ya Ma?"
"Setidaknya biar dikira kamu bukan orang pelit sayang. Masa kamu nggak berterima kasih setelah kamu sempat numpang di rumahnya?"
"Oh iya, mama benar juga. Bilang aja oleh-olehnya buat tanda terima kasih karena pernah nampung Kristal di sana." Berlian mengangguk setuju dengan omongan putrinya.
Keesokan harinya Kristal tampak ceria lagi. "Pagi, Ma, Pa," sapanya ketika baru duduk di meja makan.
"Sayang, mama sudah pesankan kue di toko Tante Raina, nanti kamu ambil ya."
"Oke, Ma." Kristal dengan semangat menjawab omongan ibunya.
"Kue buat siapa Ma?" tanya Jaden.
"Oh, itu buat calon mertuanya Kristal." Ucapan Berlian membuat sang suami tersedak. Berlian langsung memberikan minum pada suaminya.
"Pelan-pelan pa makannya." Berlian mengusap-usap punggung suaminya itu.
"Mama bilang calon mertua?" Berlian mengangguk. Kristal langsung berdiri karena ia tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari papanya.
"Aku berangkat kerja dulu ya Ma, Pa." Dia bergantian mencium pipi papa dan mamanya. Lalu berlari keluar.
"Kristal hei tunggu, hish anak itu." Jaden mencengkeram kuat sendok yang dia pegang. Sedangkan Berlian tersenyum melihat tingkat suaminya yang tak suka anak gadisnya itu didekati seorang laki-laki.