Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH DUA
Derap langkah Nara seolah menyayat tanah dengan kepedihan yang luar biasa. Menyadari Gala—pria yang dulu dia kenal sebagai orang yang terbuka—kini sungguh berubah. Gala, yang dulu sekalu menjaga hati Nara, kini berbagi senyum dengan wanita yang tak dikenal Nara.
Namun, dalam keputusasaan, Nara hanya ingin yang terbaik. Tak ingin menyakiti siapapun. Bagi Nara, Gala memang cinta sejatinya, pria yang dia tahu hanya miliknya—dan akan selalu begitu. Tapi kali ini, semua telah berubah, mungkin karena ingatannya yang hilang, Nara pun kehilangan cinta pertamanya.
Nara ingin berjuang dengan segala cara, agar api cinta di hati Gala kembali menyala hanya untuknya,namun Nara tak sekejam itu, ada wanita yang tengah berbadan dua yang lebih membutuhkan suaminya.
Nara berjalan gontai meninggalkan rumah sakit,membawa hati yang retak.
Sementara Gala selepas menemani Gilsa ke dokter kandungan, mencari keberadaan Nara, namun pria berhidung mancung itu tak menemukan sosok istrinya.
"Dimana dia?" batin Gala, setelah Gala tak menemukan jejak Nara, Gala kembali ke kursi tunggu menjemput Gilsa.
"Ada apa,Mas?" tanya Gilsa.
"Oh..gak papa," jawab Gala cepat.
"Sepertinya dia sudah pulang," batin Gala.
"Ayo Mas antar kamu pulang," Gilsa mengangguk menuruti perintah Gala.
Saat mobil melaju membelah jalan, mata hitam Gala menangkap sosok Nara yang duduk termenung di sebuah halte. Gala menghentikan mobilnya dengan cepat menurunkan kaca mobil.
"Ayo naik" Panggil Gala, Nara mendongak menatap Rubicon hitam yang berhenti di depannya.
"Terima kasih Prof...saya pulang naik angkutan umum saja." Tolak Nara,merasa tak nyama satu mobil dengan istri sah pak dosennya.
"Masuk..." titah Gala,tak ingin dibantah. Nara mengangguk,hatinya gentar melihat tatapan tajam suaminya. Nara duduk tepat di belakan kursi Gala, karena kursi di sebelah gala telah terisi wanita solehah yang membuat hati Nara meronta ronta.
Mobil melaju perlahan, mengantarkan meraka menuju kediaman Gilsa. Keheningan dalam perjalanan ini terasa begitu canggung, seolah udara di dalam mobil menjadi lebih berat dari biasanya.
Nara bisa merasakan mata Gala yang terus mencuri pandang padanya lewat kaca spion di atas kepala Gala. Tatapan itu, entah kenapa, selalu membuat dada Nara semakin berdesir.
Apa lagi saat suara pak dosennya itu tiba tiba memenggema.
"Apa ada yang ingin kamu tanyakan, Ra?" suara Gala memecah keheningan. Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu di balik pertanyaannya yang terasa menekan. Nara terdiam sejenak, mencoba membaca maksud tersembunyi dari kalimat itu.
"Apakah dia merasa aku mencurigainya? Atau dia hanya berusaha memastikan sikap tenangku?" batin Nara sebelum menjawab asal.
"Emm... sepertinya tidak," jawab Nara singkat, berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya. Gala mengangguk pelan, mengalihkan perhatiannya kembali ke jalan. Namun, keheningan itu kembali pecah oleh suara Gilsa, yang duduk dengan anggun di sebelah suami Nara.
"Aku gak ditanya, Mas?" katanya sambil menyelipkan senyum tipis, tapi tatapan matanya mengandung sesuatu yang lebih tajam. Gala menoleh, menatap wanita berhijab di sisinya dengan serius.
"Kamu mau tanya apa?" Gala balik bertanya, kali ini tanpa basa-basi. Gilsa terdiam sejenak, pandangannya sekilas berpindah pada Nara, Saat itu juga Nara merasakan dadanya kembali berdegup kencang.
"Apa dia tahu? Apa dia mencium sesuatu?" pikiran pikiran menakutkan mulai menghantui benaknya.
"Eem... apa gak ada yang ingin kamu jelaskan ke aku? Karena aku merasa ada yang harus kamu jelasin, Mas," ucap Gilsa perlahan, tapi setiap kata terasa seperti belati yang mengiris lapisan demi lapisan rahasia yang Nara tutupi. Ada tekanan yang begitu nyata dalam nada bicara Gilsa, seakan-akan ia sudah tahu, tapi menungguku atau Gala untuk mengaku.
Tangan Nara gemetar. Nara mencoba mengalihkan fokus ke layar ponselnya, tapi otaknya tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Gilsa. Nara memaksakan diri untuk tidak terlihat panik, tetapi saat Gilsa menatapnya, seolah seluruh darah di tubuh Nara berhenti mengalir.
Nara mengangkat kepala perlahan, mencoba membaca situasi. Pandangan mereka bertemu untuk sesaat, dan entah kenapa, Nara merasa seakan dia bisa menembus semua dinding yang selama ini Nara bangun. Pandangan Gilsa beralih ke Gala, yang kini terdiam dengan rahang mengatup rapat. Ini adalah situasi yang paling Nara takutkan.
Sungguh, Nara tidak pernah ingin seperti ini. Menjadi seorang yang menyelinap masuk ke dalam kehidupan seseorang, mengganggu kebahagiaan orang lain. Tapi sekarang, apa yang harus Nara lakukan? Gilsa belum mengetahui semuanya, namun suasana ini, seolah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Sungguh Nara tidak ingin dirujak, tak ingin dihujat. Tapi ia tahu,jika sebagai pelakor pantas menerima semua itu. Nara hanya bisa memohon dalam hati agar ini haya lah mimpi buruk, bukan realita.
Nara menggelengkan kepalanya, menepis semua pikirannya. Sebagai antisipasi dari sikap gegabah Gala, Nara segera berinisiatif mencari jalan aman dari kemungkinan serangan Gilsa.
Dengan gugup, Nara mengetik pesan untuk Gala, berharap dia membaca dan merespon. Namun, harapannya pupus saat Nara lihat pesan itu tidak kunjung dibaca. Kegelisahan memuncak, hingga akhirnya Nara memutuskan untuk meneleponnya langsung.
Di seberang sana, Gala, yang sedang fokus menyetir, tampak sekilas melirik ponselnya dari spion tengah. Keningnya berkerut, dan detak jantung Nara seketika berdegup lebih kencang.
Nara mencoba memberi kode dengan menunjuk ke arah ponselnya, berharap dia memahami maksud dari Nara. Setelah beberapa saat,Gala akhirnya membuka pesan yang Nara kirim. Nara hanya bisa menahan napas ketika melihat perubahan di wajah Gala yang tampak tegas.
Gala lantas membaca pesan itu,dan mengangkat wajahnya ke spion untuk menatap Nara memperhatikan wajah Nara yang berkeringat.
Gala mengerenyit membaca chat Nara.
“Prof... apa Anda yakin ingin memberi tahu istri Prof tentang hubungan kita? Bukankah Ibu Gilsa sedang hamil? Ini tidak baik untuk kondisi mentalnya,”begitu lah, isi pesannya.
Saat itu Nara tahu, pertanyaan itu sangat berisiko, tapi Nara perlu kepastian dari Gala. Namun, jawaban Gala sungguh mengejutkan Nara. Dengan nada tajam dan tegas, dia menjawab.
“Dia adikku, bukan istriku.” Nara terpaku, matanya membulat, mendengar kalimat singkat itu.
"Adik? Apa maksudnya?" Sontak pikiran Nara bercampur aduk. Nara menatapnya dengan mata membelalak, tubuhnya terasa membeku sesaat.
Keringat dingin yang sebelumnya bercucuran perlahan menguap begitu saja, seperti ditelan hawa panas keterkejutan.
“Apa aku salah mendengar?” gumam Nara dalam hati, berusaha mencerna ucapan Gala. Namun, tidak ada penyangkalan dalam raut wajah Gala yang sedingin es. Aku hanya bisa bergeming di tempat duduk.