Miang tidak sengaja menemukan membuka kotak terlarang milik leluhurnya yang diusir oleh keluarga seratus tahun lalu. Kotak itu berisi badik keemasan yang bila disentuh oleh Miang bisa berkomunikasi dengan roh spirit yang terpenjara dalam badik itu.
Roh spirit ini membantu Miang dalam mengembangkan dirinya sebagai pendekar spiritual.
Untuk membalas budi, Miang ingin membantu Roh spirit itu mengembalikan ingatannya.
Siapa sebenarnya roh spirit itu? Bisakah Miang membantunya mengingat dirinya?Apakah keputusan Miang tidak mengundang bencana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mia Lamakkara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aturan Keluarga.
Kejadian jatuh sakitnya I Miang di akademi telah berlalu beberapa hari. Beberapa teman datang menjenguk, bahkan puang Uri yang selalu menentangnya juga datang. Murid-murid keluarga La Wero selain menjenguk juga bertanya pengalaman naik ketingkat berikutnya. Mengetahui rasa sakit naik level pengelolaan tubuh, mereka bersiap-siap menghadapi situasi itu termasuk menyiapkan pil. Kebetulan, puang Sori meminta murid rumah sakit tabib Tarima membuat pil Pereda sakit untuk mereka.
“Saya datang untuk memberikan dukungan sebagai sesama pendekar spiritual.” Katanya melihat pandangan aneh teman-temannya.
Timang datang hampir tiap hari karena merasa berat hati mendapat hadiah mewah dari puang Sori. Seperti biasa, I Rabia datang untuk mengomel dan protes ini itu.
Singkatnya, beberapa anak dari keluarga La Wero mulai kenal dan akrab dengan murid dari akademi zirah. Tentu saja, tidak semua orang senang dengan pencapaian I Miang dalam pengelolaan tubuh. Terutama Ramalla. Dia bahkan menyebarkan rumor kalau I Miang dapat perlakuan khusus selama perendaman ramuan dan lainnya.
Meski ada yang curiga, mereka tidak menyuarakannya. Mereka takut bernasib sama dengan Ramalla yang tidak mendapat ramuan dan pil dari rumah tabib Tarima yang terkenal berkwalitas baik.
Akhirnya festival perahu telah tiba. Para murid dari keluarga La Wero juga berpartisipasi. Ada dua kelompok yang ikut. Satu dipimpin La Bulla dan lainnya dipimpin puang Bamba.
Perahu milik kelompok La Bulla, misterius dan elegan. Ukiran kepala naga hitam dibagian depan perahu menambah karismatik. Perahu milik kelompok puang Bamba sangat mewah dan meriah. Ada ukiran pedang langit lambang keluarga La Wero di depan. Badan perahu di cat warna ungu berlapis emas. Di belakang ada gunungan kecil hasil bumi dan barang-barang lainnya yang nantinya akan dibagikan bila telah sampai di garis finish.
I Miang pergi bersama I Rabia, Hining dan Timang.
“Bukankah ini nona dari rumah keluarga La Wero?.” Seorang nona muda berseru melihat I Miang dan kelompoknya datang.
“Apa kamu tidak melihat Ramalla? Dia nona muda keluarga inti dan seniormu. Kalian tidak pergi menyapa?.”
“Puang Sanati, sudahlah. Aku sudah terbiasa.”Sahut Ramalla yang terlihat mencolok dengan gaun mewahnya yang berwarna hijau muda.
“Ini adalah puang Sanati, nona muda dari keluarga…….. , salah satu empat keluarga terkemuka.” Bisik Hining.
“Ramalla, kamu sangat murah hati jadi orang-orang menindasmu.”
“Apa sih yang mereka lakukan? Siapa yang menindas? Jelas-jelas mereka yang berteriak duluan? Tolong jelaskan padaku apa yang terjadi!.” Timang bertanya dengan wajah bingung.
“Mereka sedang memainkan drama.” Kata I Miang dengan acuh.“Sayang, aktingnya sangat buruk.”
“Ya, mereka malah merusak mataku.” I Rabia menimpali.
Melihat mereka tidak menggubris seruannya dan malah membuat komentar yang merendahkan membuat puang Sanati marah.
“Apa aturan di keluarga La Wero begitu longgar?.” Serunya.
“Puang Sanati, jangan menyalahkannya. Adik saya ini tinggal di pedesaan dan baru kembali. Wajar kalau dia tidak mengerti aturan.”
Meskipun I Miang tidak menyukai Ramalla yang selalu mencari masalah dengannya, dia tidak mau melawannya secara terbuka apalagi di depan umum karena itu juga mempengaruhi citra keluarga. Kali Ini, I Miang benar-benar marah karena Ramalla menyeret orang luar untuk mengkritik keluarga La Wero.
“Aturan keluarga La Wero memang berbeda dengan keluarga anda.” Kata I Miang. “Di keluarga kami tidak ada aturan putri sah harus memberi penghormatan pada anak keluarga kerabat.”
“Bahkan kalau kamu juga anak sah, dia masih kerabat sah dan seniormu. Bukannya kamu memang harus menyapanya?.”
“he..he…he…” I Miang tertawa. “Kamu mengkritik aturan keluargaku. Tapi dari ucapanmu, bukankah aturan keluarga …. Lebih longgar.”
“Siapa kamu bisa mengkritik aturan keluarga….? Karena kamu dari keluarga La Wero dan mengingat kamu dari pedesaan, aku tidak akan mempermasalahkan ini. hati-hati lain kali.” Kata puang Sanaya arogan.
“Meskipun saya dari pedesaan tapi aku memahami betul aturan kelaurga dengan baik. Bahwa saya, puteri ketiga keluarga La Wero. Puteri sah kepala keluarga La Wero. Yang secara identitas dan darah keturunan tidak diperbolehkan memberi penghormatan kepada nona dari kerabat keluarga. Ini bukan hanya aturan keluarga, tapi juga aturan kerajaan.”
I Miang menatap puang Sanati. “ Barusan, kamu memaksa saya untuk melanggar aturan kerajaan untuk menyapa Ramalla. Apakah menurutmu, ini tidak melibatkan keluargamu kalau saya mengajukan keberatan pada pihak berwenang?.”
Puang sanati seketika pucat.
“Aku….”
“Diam!.” Puang Sanaya membentak sepupunya. “Tidak cukupkah kamu mempermalukan keluarga?.”
Puang Sanati mengecilkan keberadaannya mendapat teguran di depan umum. Puang Sayana berjalan pergi diikuti pelayan.
“Tunggu! Puang Sanaya jangan terburu-buru.” Panggil I Miang menghentikan langkah puang Sanya.
“Puang, saya sudah menegur sepupuku. Kurasa ini sudah selesai. Kalau puang mau beramah tamah dengan saya, mungkin nanti setelah acara balap perahu selesai.”
“Aku tidak berani beramah-tamah dengan keluarga anda.” I Miang tersenyum sinis.
“Masalah teguran itu urusan internal keluargamu. Tapi, sebagai anak dari kepala keluarga, anda bertanggung jawab untuk meminta maaf kepada saya karena ini tidak hanya melibatkan antar keluarga tapi juga aturan kerajaan.”
Puang Sanaya menggeretakkan giginya. Dia tidak perna mendapat penghinaan seperti ini. Harus meminta maaf secara terbuka di depan umum. Dia melirik puang Sanati yang langsung menciut seperti burung yang basah kuyup.
Puang Sanaya menyesuaikan sikapnya dan berkompromi.
“Nona ketiga bangsawan, saya mewakili keluarga meminta maaf pada anda atas kelancangan anggota keluarga kami.”
I Miang mengangguk pelan dengan anggun.
“Tidak menjadi masalah bagiku kalau kamu berbicara kasar tentang keluarga kami. Bagaimanapun, para penatua selalu mengingatkan kami untuk murah hati.” Suara I Miang bergema dengan halus.
“Namun, kesalahan keluarga kalian yang menghina aturan kerajaan harus di pertanggung jawabkan secara pribadi. Saya hanya menjadi mediasi.”
Wajah puang Sanaya menjadi gelap mendengar ucapan I Miang.
“Apa maksud sialan ini? apa dia menjadi bangga dan memaksaku untuk terus membungkuk di depannya.” Dia menggerutu dalam hati. Namun dia tidak memiliki waktu melakukan protes karena I Miang memutar tubuhnya menghadap ke sebuah kereta mewah.
“Salam pada pangeran ke tujuh. Disini, saya membimbing keluarga …. Untuk memohon maaf pada kerajaan karena pelanggaran anggota keluarganya.” Seru I Miang sambil membungkuk diikuti teman temannya yang lain. Para nona muda di tempat itu berdiri kebingungan dengan tindakan mereka.
Gorden jendela kereta tertingkap sedikit. Seorang penjaga melompat ke depan I Miang
“Salam nona muda telah diterima sang pangeran, mohon berdiri.” Ketika mereka melihat seragam penjaga itu dan mendengar yang dikatakan pada I Miang. Para nona muda itu cepat membungkuk memberi salam kea rah kereta.
“Salam pada pangeran ketujuh, semoga panjang umur dan diberi kesehatan.”