Sejumlah muslimah berjilbab didera berbagai permasalahan pelik yang menyerang pilihan jalan mereka untuk berhijab.
Barada, Rina Viona, dan para personel Geng Bintang Tujuh, dituntut memecahkan masalah rumit yang mereka hadapi, termasuk masalah percintaan.
Lalu bagaimana cara mereka bertahan dalam balutan jilbabnya yang harus menghadapi tantangan perkembangan zaman yang semakin terbuka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Masnaini Ditodong
*Masnaini Muslimah Rekayasa*
Setiap hari kegiatan belajar di SMA Gemas diakhiri dengan pelajaran praktik selama dua jam, dari pukul 17.00 hingga 19.00 WIB.
Salah satu yang membuat sekolah ini menjadi sekolah favorit bagi calon murid tahun ajaran baru adalah pelajaran praktiknya. Sangat berbeda dengan sekolah SMA atau kejuruan pada umumnya, SMA Gemas memberikan kepada setiap siswa untuk memilih pelajaran praktik bukan berdasarkan kelas, tetapi berdasarkan hobi atau kesukaan siswa itu sendiri.
Pelajaran praktik yang disediakan di bidang olahraga di antaranya: atletik, sepakbola, futsal, bola basket, bulutangkis, tenis meja, bola voli, karate, taekwondo, silat, renang, catur dan beberapa cabang olahraga lainnya. Ada pula di bidang musik dan vokal, termasuk seni peran, tari dan lukis. Kemiliteran dan paskibra pun ada. Otomotif dan teknologi pun sekolah ini sediakan. Pelajaran itu dijadwalkan setiap hari, sehingga siswa yang menekuninya bisa memiliki keahlian yang baik.
Karenanya, sekolah ini memiliki berbagai macam klub olahraga dan lainnya yang menekuni dunianya masing-masing. Sekolah pun mendatangkan para guru dan pelatih yang tidak asal, tetapi orang yang benar-benar kompeten di bidangnya masing-masing.
Masnaini hari itu belum menentukan pilihan harus masuk ke pelajaran praktik mana. Ia berdalih kepada pihak sekolah untuk melihat-lihat dahulu. Sore itu, ia lebih memilih menemani Melisa untuk praktik gitar di ruang musik.
Namun, sebelum masuk ke ruang musik, tiba-tiba empat orang siswi yang sudah berseragam karate mengapit Masnaini. Satu orang merangkul leher Masnaini seolah-olah merangkul bahunya. Satu lagi mencekal lengan kanannya dengan kuat. Cekalan kali ini berbeda dengan cekalan Anri dan Susan saat di ruang makan, yang ini lebih kuat.
Masnaini coba berontak, tapi cepat diingatkan oleh siswi yang merangkulnya, “Di belakang ada pisau, jangan berontak!”
Masnaini berhenti bergerak ketika ia merasakan ada benda lancip menekan kulit pinggangnya. Di belakangnya memang berdiri seorang siswi yang tangannya memegang sesuatu yang ditempelkan pada pinggang belakang Masnaini.
Sementara Melisa didorong hingga terjengkang di dekat pintu ruang musik.
“Jangan melapor!” ancam siswi yang bebas tugas sambil menunjuk dahi Melisa.
“Jangan melapor, Mely. Insyaallah saya tidak apa-apa,” kata Masnaini kepada sahabatnya.
Melisa tidak menjawab. Wajahnya panik dan bingung.
Keempat siswi itu lalu mendorong Masnaini agar berjalan bersama mereka. Masnaini terpaksa menurut tanpa ada gerakan melawan, sehingga para penculiknya itu cukup mudah membawanya.
“Ini pasti ulah dari Lucy atau Jefry,” duga Masnaini membatin.
Tidak terlalu jauh Masnaini dibawa. Mereka masuk ke sebuah ruangan yang di pintunya bertuliskan Ruang Karate.
Setibanya di dalam, para penculik itu mendorong Masnaini. Gadis berjilbab itu terjatuh di lantai yang bersih.
Kini Masnaini berada di sebuah ruangan yang cukup luas tanpa kursi dan meja belajar. Sekelompok wanita berpakaian karate yang jumlahnya lumayan banyak telah mengepungnya. Ada pula kelompok lelaki berpakaian sama yang berdiri menonton dan riuh sendiri, seolah mereka menunggu terjadinya perkelahian.
Masnaini kembali berdiri dan dengan wajah yang dingin ia memandangi para pengepungnya yang berjumlah 12 orang. Beberapa wajah ia kenali adalah teman sekelasnya, di antaranya Anri dan Rosa yang juga menjadi murid kelas karate. Hingga ia berhenti mengitarkan pandangan, ketika bertemu pandang dengan Lucy yang juga sudah berpakaian karate.
Selain itu, ada pula beberapa siswa dan siswi yang tampak hanya diam memperhatikan, karena mereka tidak setuju dengan rencana yang dibuat oleh Lucy. Di antara mereka ada Virna, anak Kepala Sekolah sekaligus sahabat dekat Marlina.
Sebelumnya, Lucy dan anggota gengnya dengan matang telah merencanakan untuk memberi pelajaran Masnaini pasca kejadian di ruang makan. Guru pelatih tidak akan masuk mengajar sore ini, karena sang guru telah izin pulang. Ada telepon dari orang yang mengaku keluarga bahwa istri pelatih masuk rumah sakit. Padahal telepon itu adalah tipuan dari Lucy cs.
Demikian pula dengan dua asisten pelatih. Asisten pertama dibuat lemas oleh buang-buang air karena meminum teh yang diberi bubuk sakit perut. Sementara asisten kedua diberi tahu sebelum jam kelas karate mulai bahwa mobilnya diparkiran mengalami dua kempes ban.
Maka, setidaknya satu jam ke depan, tidak akan ada pelatih yang masuk ke kelas itu. Untuk menjaga kemungkinan, depan pintu masuk kelas dijaga oleh seorang murid untuk mengantisipasi ada guru yang datang.
“Masnaini!” sebut Lucy dengan agak membentak.
“Apa ini, Lucy? Saya tidak memilih untuk ikut kelas karate,” kata Masnaini, berpura-pura tidak mengerti.
“Saya benar-benar berhenti jadi Ketua Geng LC Girls kalau kamu masih bisa jalan normal keluar dari ruangan ini!” seru Lucy. Ia lalu maju dan berhenti dua meter dari Masnaini. Lalu lanjutnya, “Tadi siang kamu benar-benar menginjak muka saya di depan sekelas 12. Kalau kamu besok pagi masih bisa masuk dan jalan sambil bilang ‘assalamu ‘alaikum’, terus bungkuk-bungkuk seperti orang Jepang, saya bayar upeti ke kamu setiap hari!”
“Ah, gak usah berlebihan begitu, Lus. Hahaha!” kata Masnaini seraya lalu tertawa kecil, seolah mencoba mencairkan suasana dan menutupi ketersudutannya. “Teman-teman, kita ini teman yang tujuan kita itu untuk menuntut ilmu. Apalagi kita ini perempuan, luculah kalau sampai gulat.”
“Hahaha...!”
Meledaklah tawa Lucy dan teman-temannya. Juga para murid lelaki yang berasal dari berbagai kelas 12. Bagi mereka, imbauan berisi nasehat dari Masnaini itu terdengar lucu. Seperti nasehat kancil kepada harimau yang sudah siap menyantapnya sebagai mangsa.
“Bagaimana kalau saya lapor Kepala Sekolah?” tanya Masnaini balas mengancam Lucy.
“Laporlah setelah kamu ada di rumah sakit!” kata Lucy mendelik. Ia lalu menunjuk Virna yang berdiri di luar pengepungan, “Kamu lihat Virna! Dia anak Kepala Sekolah, tapi di kalangan murid ada aturan-aturan tidak tertulis. Dia haram menjadi tukang adu ke ayahnya.”
“Jadi saya tidak boleh izin pamit baik-baik, Lus?” tanya Masnaini seolah-olah sudah putus asa untuk bisa selamat.
“Hahaha!” tawa Lucy yang diiringi oleh tawa teman-temannya.
“Lagak kamu di ruang makan benar-benar konyol. Itu dosa paling fatal kamu kepada saya. Walaupun kamu banyak duit, tapi kali ini kamu gak bisa tawar-menawar!” ujar Lucy yang sejak tadi memberi senyuman mengejek.
Di saat itu, di antara murid karate yang pria, ada seorang yang mengirim pesan dengan ponselnya.
Sementara itu di tempat lain, Oji Purnama yang masih berada di ruang ganti kelas sepakbola membaca pesan yang masuk ke ponselnya.
“Putri Madu dikeroyok Geng Lucy di kelas karate sekarang.”
Demikian bunyi pesan tersebut yang seketika membuat wajah Oji berubah tegang.
“Cegah, jangan sampai Putri Madu luka! Saya ke sana!” balas Oji.
“Putri Madu” adalah nama alias yang diberikan Oji dan teman-teman sekelasnya kepada Masnaini karena kecantikan gadis itu semanis madu.
“Saya kawinin juga tuh perempuan geng!” rutuk Oji lalu segera berlari keluar dengan berpakaian sepakbola lengkap.
Oji berlari ke pinggir lapangan bola, tempat seorang pelatih berdiri dan sedang berbincang-bincang dengan beberapa murid sebelum latihan dimulai. Pelatih itu bertubuh sedang tapi berperut agak buncit dengan usia yang belum begitu tua, masih usia 50-an. Ia mengenakan jaket biru muda dan celana training warna biru gelap bergaris kuning. Namanya Igor Kolosov. Meski lahir di tanah Makassar, tapi namanya berbau Rusia.
Entah datang dari mana, Oji tidak melihat kedatangan Ronin. Keduanya tahu-tahu menghadap Igor bersamaan.
“Pak, izin mau ke kelas karate sebentar!” lapor Oji.
“Mau main bola di sana?” tanya Igor tidak langsung mengiyakan. Lalu tanyanya kepada Ronin, “Kamu?”
“Ke kelas karate juga, Pak,” jawab Ronin dengan wajah serius.
“Hmm,” gumam Igor curiga. “Keperluan kamu apa, Ji?”
“Darurat, Pak. Mau ngelamar Lucy!” jawab Oji asal ceplos.
Igor tahu bahwa itu bukan jawaban jujur Oji yang dia kenal sebagai anak nakal tapi punya prinsip tidak asal nakal.
“Kamu, Jaguar!” tanya Igor dengan menyebut julukan Ronin.
“Mau kontrol pujaan hati, Pak!” jawab Ronin semangat.
“Usai masa pemanasan, kalian berdua harus sudah di sini lagi!” kata Igor memberi syarat.
“Siap, Pak!” jawab kedua murid itu bersamaan lalu tanpa aba-aba lagi keduanya balik kanan dan langsung berlari.
Oji dan Ronin berlari kencang berdampingan. Keduanya saling tanda tanya di dalam hati dan saling penasaran.
“Kamu ngapain ikut-ikut gua ke kelas karate?” tanya Oji.
“Saya dapat pesan kalau Masnaini di keroyok Lucy,” jawab Ronin.
“Siapa yang kasih tahu kamu?”
“Virna. Kamu sendiri mau ngapain ke sana?”
“Saya dan anak buah saya punya kewajiban melindungi Putri Madu,” jawab Oji sambil terus berlari.
“Siapa Putri Madu?” tanya Ronin.
“Masnaini.”
“Kamu punya hubungan apa sama Masnaini? Waktu makan kamu pasang badan bela dia,” tanya Ronin lagi.
“Saya dapat wangsit dari langit supaya lindungi dia selama di sekolah ini,” jawab Oji tidak mau jujur.
Lokasi stadion kecil yang letaknya di belakang gedung utama, membuat mereka harus berlari cukup jauh untuk sampai ke kelas karate, sebab mereka harus berlari memutari gedung, karena harus lewat pintu depan.
Kembali ke dalam kelas karate. (RH)
**********
Bagi yang suka dengan cerita Om Rudi, tolong bantu dengan rate, like, komentar, favorit, dan vote 😁🙏🙏
gak heran kalo jandanya sekaliber bunda Maia dapatnya duda sekaliber Irwan Mursi 🤣🤣 eh kok malah ngelantur gue 🤣🤣🤣