Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasukan Pendobrak
Udara pagi yang mestinya segar, masih sarat aroma darah dan tanah hangus bekas pertempuran malam tadi. John Blitix berdiri dengan tangan terkepal di belakang punggung, tubuh tegapnya membelakangi pasukan yang sibuk mengangkut korban dan merawat yang terluka. Sorot matanya tajam, menatap lurus ke arah desa Manguntirto yang tampak tenang di kejauhan—terlalu tenang untuk rasa sakit yang baru mereka ciptakan.
Semalam, ia menyusun serangan gerilya cepat untuk memutus garis logistik dan menghancurkan moral warga. Tapi kenyataan berkata lain. Pasukannya disergap balik dalam kehampaan malam, di tengah hutan kecil yang dikira aman. Separuh kekuatannya tumbang tanpa bisa memberi perlawanan berarti.
Serangan itu… memalukan.
Tidak ada pasukan pribumi yang seharusnya mampu menyusun strategi seperti itu. Tidak tanpa pelatihan. Tidak tanpa pengalaman. Tapi mereka melakukannya—dan itu membuat nama John Blitix ternoda.
Seorang perwira mendekat, membungkuk cepat. “Tuan, korban dari pihak kita bertambah. Beberapa perwira senior—”
“Cukup.” John memotong dingin. Suaranya tenang namun berisi bara api. Matanya tidak berpaling sedikit pun dari ufuk.
“Tuan... pasukan lapis baja dari Sonderlicht telah tiba di garis depan. Mereka siap dalam 30 menit,” lapor perwira lain yang baru datang.
Seketika, bahu Blitix menegang—namun bukan karena cemas. Melainkan seperti bara dendam yang kembali disiram minyak.
Ia perlahan memutar tubuhnya. Dari kejauhan, kilau baju besi pasukan pendobrak yang gagah tampak mendekat. Formasi mereka sempurna, disiplin, dan mencengangkan. Mereka tidak bergerak seperti manusia—tetapi seperti mesin perusak yang siap memporak-porandakan apapun di jalannya.
Senyum bengis mulai terukir di wajah John Blitix.
“Bagus…” gumamnya pelan. “Hari ini… aku akan membayar lunas hutang semalam.”
Ia menurunkan helmnya perlahan ke kepala. Suara dentingan besi mengisi udara saat tali pengikat dikencangkan.
“Perintahkan semua unit siaga penuh. Tak ada belas kasihan hari ini.”
Perwira-perwira di sekelilingnya segera memberi hormat. Suasana markas berubah—dari kekalahan yang muram menjadi napas pembalasan.
John Blitix melangkah maju, mengiringi irama logam dari pasukan Sonderlicht. Hari ini, ia datang bukan untuk bernegosiasi. Tapi untuk menghapus nama Manguntirto dari peta.
*****
Pusat Pertahanan Darurat – Aula Tengah Manguntirto
Langit pagi perlahan berubah menjadi biru muda, namun suasana di dalam aula utama desa masih berat. Bau tanah basah bercampur peluh dan darah tipis semalam mengisi udara. Meja panjang dari kayu jati menjadi pusat komando darurat. Di sanalah Pak Lanselod Suroso berdiri—tegap, penuh wibawa, dengan pedang panjang warisan pasukan Garuda masih menggantung di pinggangnya.
Di sekelilingnya, para pemuda desa yang semalam bertempur gagah bersama Shantand, kini duduk mengelilingi meja. Wajah mereka masih muda, tapi mata mereka menyimpan bara semangat yang baru menyala.
Shantand, masih mengenakan pakaian sederhana yang mulai lusuh, duduk di sebelah kanan Lanselod. Meski tubuhnya tampak lelah, sorot matanya penuh rasa ingin tahu dan tanggung jawab. Ia kini tak bisa lagi mengelak dari kenyataan—dirinya telah menjadi simbol kebangkitan. Namun, ia juga menyadari: ia bukan ahli perang.
Pak Lanselod menggeser peta kasar daerah Manguntirto ke tengah meja. “Pasukan Sonderlicht bukan pasukan biasa,” katanya, suaranya dalam dan tegas. “Mereka dilatih untuk pertempuran frontal. Tubuh mereka dilindungi baja penuh. Mereka bisa menembus barikade seperti badai menghantam ilalang.”
Semua diam.
Shantand mengangkat kepala. “Lalu bagaimana kita menghadapinya? Rakyat kita... hanya punya senjata tajam seadanya. Bahkan busur pun terbatas.”
Lanselod tersenyum tipis. “Itulah sebabnya aku katakan, anak muda, keberanianmu semalam luar biasa. Tapi perang... bukan hanya soal keberanian. Perang adalah ilmu. Dan kita akan bermain di medan yang mereka tidak kuasai.”
Ia menunjuk daerah pinggiran desa yang penuh jalur sempit, ladang berlumpur, dan aliran sungai kecil.
“Kita tidak bisa menang di ruang terbuka. Tapi kita bisa memperlambat mereka, mengacaukan formasi, dan menyerang titik lemahnya—persendian baja, dan helm mereka yang berat.”
Seorang pemuda bertanya, “Apa kita punya cukup orang untuk itu?”
“Belum,” jawab Lanselod tenang. “Tapi kita tak butuh banyak. Kita butuh yang cerdas, gesit, dan tahu rumahnya sendiri. Dengan jebakan, api, dan serangan mendadak, kita buat Manguntirto menjadi mimpi buruk mereka.”
Shantand menatap peta, lalu menatap Lanselod. “Aku mengerti sekarang. Aku memang tak punya pengalaman berperang. Tapi aku akan berdiri di sampingmu. Aku akan berusaha memastikan semangat warga tetap menyala.”
Lanselod menepuk bahunya. “Dan itu saja sudah cukup, Shantand. Kadang seorang prajurit butuh alasan untuk bertarung. Kau adalah alasan itu.”
Bhaskara dari dalam labu tuaknya menggumam, hanya terdengar oleh Shantand,
"Kini, muridku... belajar lah dari sang macan tua. Tapi jangan lupa, suatu saat, macan pun akan tidur. Dan saat itulah giliranmu menggigit."
Di luar aula, genderang kayu mulai ditabuh perlahan. Penduduk mulai bergerak. Perempuan menyiapkan air panas dan penawar luka, anak-anak membantu membawa batu, dan pemuda mulai mempersiapkan jebakan serta api.
Hari belum beranjak tinggi, tapi semangat Manguntirto sudah membakar langit.
***
Mentari baru saja naik sepenggalah ketika pasukan gabungan milik John Blitix dan unit pendobrak Sonderlicht selesai menyantap sarapan mereka. Aroma daging asap, kaldu panas, dan roti hitam dari logistik dermaga masih tersisa samar di udara. Para prajurit merapatkan barisan, mengenakan perlengkapan tempur, menyusun posisi sesuai formasi.
Namun...
Tiga puluh menit kemudian—kekacauan meledak begitu saja.
Tiba-tiba terdengar teriakan—keras dan penuh kegilaan. Seorang prajurit mendadak berlari dengan wajah terbalik, mulutnya terbuka lebar sambil tertawa mirip jeritan burung hantu. Tak lama, seorang lainnya mulai melompat-lompat seperti katak, melemparkan perisainya sendiri ke atas dan berteriak, “Lalat! Lalat! Mereka menari di langit!”
Komandan satu regu menjatuhkan helmnya, lalu duduk bersila sambil menyanyi lagu masa kecil dengan air mata mengalir deras.
John Blitix menyaksikan ini dengan wajah pucat. Ia berlari ke tengah barisan, mencoba mengendalikan pasukannya, namun yang ia temui hanya kekacauan yang makin menjadi.
“Hei, kau! Apa yang kau lakukan?!” bentaknya pada seorang prajurit yang tengkurap dan bergerak mundur di atas tanah seperti cacing terbalik.
Prajurit itu hanya membisik, “Ssst... aku adalah undur-undur. Jangan ganggu aku mencari liang hidupku...”
Blitix melongo. Di belakangnya, seorang prajurit lain berdiri tegak diam, matanya kosong.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Blitix dengan sisa harapan.
“Aku sedang menjadi lemari pakaian, tuanku... jangan buka pintuku terlalu keras...” jawabnya datar, sebelum menjatuhkan diri dalam posisi kaku.
Bahkan para pasukan lapis baja Sonderlicht yang terkenal disiplin dan brutal, kini berdiri kaku dan bingung. Mereka menatap ke arah pasukan Blitix dengan campuran jijik, takut, dan heran.
Mental pasukan Blitix runtuh dalam waktu singkat. Komando tak lagi berjalan. Teriakan gila dan tawa histeris menggema di ladang pagi Manguntirto.
---
Aula Tengah – Pusat Strategi
Pak Lanselod Suroso sedang berdiri menatap ke kejauhan dari menara bambu kecil buatan penduduk desa. Matanya menyipit, menyaksikan kekacauan yang sedang melanda pihak musuh.
Ia mengerutkan dahi. “...Apa yang sedang terjadi?”
Di sampingnya, Shantand datang sambil membawa kendi air dan sedikit ubi bakar.
“Itu... strategi kecil dari guruku, Pak Lanselod,” kata Shantand, menahan tawa.
Lanselod menoleh tajam. “Gurumu?”
"Kami telah mencampurkan ramuan kecubung pada makanan mereka..dan yang Anda saksikan adalah pemandangan indah seperti ini.."
Bhaskara tertawa cekikikan dari labu tuak yang tergantung di pinggang Shantand.
“Hehehehe... hanya sedikit bumbu dari buah kecubung yang sudah kami fermentasi secara tradisional. Cukup untuk menyalakan parade kegilaan pagi hari.”
Lanselod tertegun sesaat, sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. “Buah kecubung?! Astaga... Kalian bukan hanya bertempur dengan senjata, tapi juga dengan pikiran dan racikan alam. Ini perang... tapi juga strategi cerdas!”
Shantand mengangguk dengan senyum. “Kami cuma memanfaatkan segala yang da pada kami untuk mempertahankan tanah air kami.”
---
Dan pagi itu, sebelum satu pun pedang dihunus kembali, musuh telah dipecah oleh kekuatan yang tak kasat mata—racikan alam, strategi warisan leluhur, dan niat luhur menjaga tanah air.