Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.
Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.
Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.
Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.
Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
"Lebih baik gue berangkat sekarang," Niat Laura ke kantor Bara memang hanya untuk meminta uang saja. Selebihnya hanya basa-basi.
***
Jam sepuluh tiba, Hasya kembali masuk ke ruangan Bara. Dia membawakan kopi untuk Bara seperti pagi tadi.
Tok tok tok
Seperti pagi tadi, Hasya tersentak saat pintu di depannya tergeser sendiri. Dia mematung di tempat.
"Masuk!" suara Bara mendominasi. Hasya pun langsung masuk dan membawa kopinya ke dalam.
"Tumben sekali Tuan Bara meminta dibuatkan kopi oleh Office Girl?" sindiran itu terlontar dari seorang ibu tua namun wajahnya masih terlihat cantik yang sedang duduk di sofa singgle dengan koran di tangannya. Dia adalah nenek dari Bara.
"Nenek gak tahu kalau aku sibuk?" tanyanya.
"Oh, aku tahu... Ternyata cucuku..."
"Maaf, Nek. Aku mau minum dulu." potong Bara. Dia langsung mengambil gelas yang berisikan kopi racikan Hasya yang sudah berada di depannya.
Pandangan Nyonya Belinda tertuju kepada Hasya, dia membenarkan kaca matanya. "Loh, bukannya kamu yang tadi pagi nolongin saya?" Belinda tersentak kaget, melihat gadis yang berada di depan cucunya.
Byur!
Bara menyemburkan kopinya dan itu terkena dokumen yang sedang dia pelajari.
"Shit! Semua gara-gara Oma!" kesalnya. Dia kembali menyeruput kopinya dengan terburu-buru. Padahal dia merasa kesal, tapi kopi buatan Hasya sangat cocok di lidahnya.
Nyonya Belinda tidak peduli dengan ucapan Bara. Dia langsung mengajak Hasya untuk menghampirinya."Sini, kamu, kan, yang tadi nolongin saya waktu saya dijambret. Sini duduk sama saya."
"Ma-maaf, Nyonya." Hasya menunduk. Dia merasa sungkan dan bingung juga harus bagaimana.
"Temani saja, dari pada tantrum di situ." Hasya terbelalak mendengar ucapan Bara. Bukankah dia terkenal dengan dinginnya, tapi sekarang?
"Ta-tapi..." Hasya masih saja gugup.
"Jangan membantah!"
"Hm.. Baik, Tuan."
Hasya pun menghampiri Belinda dan dia membungkukan badannya sebagai tanda hormat."Ternyata kamu kerja di sini ya? Namanya siapa?" Belinda mempersilahkan Hasya untuk dduduk di sampingnya.
Hasya melihat sofa yang berada di samping Belinda. Sangat tidak mungkin dia harus duduk berdampingan langsung dengan pemilik perusahaan tersebut. "Iya, Nyonya. Nama saya Hasya."
"Nama yang bagus, perkenalkan juga, nama nenek Belinda. Panggil saya Nenek saja seperti cucu tengil saya." Hasya semakin terbelalak dngan ucapan Belinda.
"Nenek...!" Sepertinya Bara tidak suka dengan apa yang diucapkan oleh Belinda.
"Kamu kerja saja!" Belinda mencebikkan bibirnya, dia tidak ingin diganggu.
"Tolong foto copy-in ini." Bara menunjukan sebuah dokumen kepada Hasya.
Hasya pun berdiri, tapi Belinda segera menarik tangannya untuk kembali duduk.
"Kamu duduk saja, temani nenek ngobrol dulu." ucapnya.
Hasya kembali merasa bingung.
Melihat Hasya bingung, Bara pun berkata. "Ya sudah, takut nenek nangis. Temani saja dia, kalau dia sudah merasa bosan, baru foto copy-in ini."
"Baik, Tuan." Hasya nurut kepada Bara.
"Kamu pasti dihukum, ya?" tanya Belinda. Dia memulai pembicaraan.
"Gak papa, Nyo..."
"Nenek." Belinda mempertegas, bahwa Hasya harus memanggilnya nenek. Mendengar itu, Bara hanya geleng-geleng kepala.
"Ah, i-iya, Nek. Kalau saya salah, akan saya pertanggung jawabkan." jawab Hasya. Dia memang tidak akan pernah lari dari tanggung jawabnya.
"Tapi kamu, kan, nolongin nenek, sekarang potong hukumannya!"
Hasya langsung berseru senang. "Aku mau pindah ke lantai lima lagi!"
"Gak!" Bara menjawab dengan cepat.
Prok
Prok
Prok
"Nikah, besok!" Celetuk Belinda.
"Nenek...!" wajah Bara berubah.
Sedangkan Hasya menatap Belinda dengan tatapan yang sulit diartikan."Iya, nenek suka sama kamu. Dan kamu cocok buat bocah tengil itu." Ucap Belinda, seolah menjawab pertanyaan yang berada di benak Hasya.
"Nenek, pacar aku mau di kemanakan?" tanya Bara. Dia tidak mungkin menikahi gadis lain. Karena hanya ada Laura di dalam hatinya.
"Tendang saja ke pluto!" Belinda kembali berceletuk.
"Gak, Nek!" mata Bara terlihat memerah, membuat Hasya sedikit takut.
"Hubungan apa seperti itu? Pokoknya nenek mau cari waktu untuk perjodohan kalian." ucapan Belinda seperti tidak bisa diganggu gugat.
"Jangan, Nek. Saya tidak ingin ada hati yang tersakiti. Jika Tuan Bara sudah mempunyai pacar, nikahkan saja sama pacarnya. Lagian juga, saya di sini hanya bekerja untuk menyambung hidup saya." Hasya menolak. Dia berujar di dalam hatinya, "Jangan sampai ada perjodohan! Dia tidak ingin menikah dulu karena masih ada yang harus ia tunjukan kepada keluarga yang sudah mengvcilkannya.
"Jalur langit nenek harus di kencengin lagi kalau kayak gitu. Lihat saja, Tuan! Kalau anda sampai gak berterimakasih sama saya, padahal saya sudah memberi anda berlian!"
Hasya garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia bingung juga harus menghadapi Belinda dan Bara.
"Laura..."
"Jangan sebut namanya di depan nenek. dia sangat angkuh dan hanya ingin menguasai apa yang kamu punya. Beruntung nenek masih diberi umur. Kalau tidak, kalian udah jadi gembel sama dia!" Belinda terlihat benar-benar marah. Suaranya saja ia tinggikan.
Menjadi Hasya, sangatlah membingungkan. Berada di sana menjadi maju kena, mundur kena. Bara sendiri terlihat mengepalkan tangannya. Dia tahu, apa yang dikatakan Belinda tidak pernah salah. Tapi hatinya tidak bisa berpaling dari Laura.
"Temani nenek keliling saja, sangat sulit ngasih tahu orang yang sudah jadi budak cinta. Padahal dirinya hanya sebagai batu loncatan saja!" kata-kata Belinda seperti bubuk cabai yang ditaburkan ke mata. Bara langsung menggebrak mejanya sampai dokumen yang berada di mejanya sedikit berhamburan.
Hasya kembali menggigil, dia sangat takut melihat Bara. "Ayo!" Belinda menggenggam tangan Hasya dan mengajaknya keluar dari ruangan yang mulai memanas itu. Bukan takut, Belinda hanya tidak ingin kembali mengeluarkan kata-kata pedas yang bisa saja membuat Bara mengam0k lebih dahsyat lagi.
***
"Selama berkeliling, Hasya hanya mengikuti Belinda dari belakang. Itu semua adalah kemauannya dan Belinda mengabulkannya karena dia juga tidak ingin Hasya menjadi bahan perbincangan nantinya.
Belinda mengenalkan setiap ruangan yang berada di lantai dua puluh itu kepada Hasya. Hasya sangat antusias, dia menjadi teringat masa kecilnya. Walaupun dia seperti anak yang tidak dianggap, tapi dia sudah sering ikut ke kantor. Bahkan saat masuk SMP dia sudah bekerja di kantor ayahnya. Sangat kej4m memang, tapi semua itu Hasya lakukan demi sesuap nasi.
Dia seperti bukan anak dari kalangan orang biasa. Tapi kenapa dia bisa jadi OG di sini?" Belinda bertanya-tanya di dalam hatinya. "Aku harus cari tahu." sambungnya.
"Capek, gak?" tanya Belinda. Sekarang keduanya sedang berada di ruangan yang sama besarnya dengan ruangan Bara.
"Harusnya, itu yang saya tanyakan kepada nenek." jawab Hasya.
"Saya sudah terbiasa. Jadi saya masih kuat!" Belinda memang terlihat masih energik.
"Saya juga sama, saya sudah terbiasa bekerja, Nek." jawab Hasya. Obrolan mereka berlanjut sampai mereka kembali keruangan Bara.
Bersambung
tetap semangat terus thorr
tetap semangat terus thorr