Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Analisis miss Ayu.
PULANG SEKOLAH: SUARA KELAS YANG MEMBAHAGIAKAN DAN KETEGANGAN YANG TERSEMBUNYI
Sinar matahari sore memancar lembut melalui dedaunan pohon di halaman sekolah, menciptakan bayangan bergaris-garis yang melompat-lompat di lantai aspal. Kresek-kresek suara tas yang dibuka-ditutup, teriak-teriak anak-anak yang berteriak nama teman, tap-tap-tap langkah sepatu kecil yang berhamburan ke arah gerbang—semua bunyi itu bergabung menjadi irama pulang sekolah yang meriah dan hangat.
Orang tua sudah berkumpul di gerbang, satu per satu mencari wajah anak-anak mereka. Havik dengan rambut panjang yang diikat rapi berdiri tegak, mata hijau memandang jauh sambil Rinne berdampingan, rambut putih dengan gradasi ungu-biru muda bergoyang lembut. Kasemi, anak mereka yang tenang, sudah berdiri di depan dengan tangan menyentuh pundak ayahnya—sedangkan di kejauhan, Mayuri dengan rambut putih kuncir dua berdiri malu-malu, mata emasnya sesekali melirik Kasemi sebelum langsung memalingkan wajah, pipinya memerah samar. “Nggh… kenapa dia lihat aku…” bisiknya pelan, sambil menggigit ujung jempolnya.
Zen dengan rambut landak biru tua mengangkat tangan tinggi, “Rintaro! Disini, nak!”—dan anaknya yang ceria dengan rambut kuning gradasi biru langsung berlari dengan kecepatan, melompat ke pelukan ayahnya sambil Yuuka tersenyum manis di samping. Yumi dengan rambut pink bergelombang memeluk Asuna yang pemalu, mengusap kepala anak perempuannya yang rambut pink gradasi emasnya sedikit kusut. “Hai, sayang… hari ini senang tidak?” tanyanya lembut, dan Asuna hanya mengangguk sambil menunduk, mata aquanya memandang lantai.
Lynn dengan rambut silver pendek bergelombang berdampingan Mike, rambut pirangnya gradasi orange menyinari matahari. Mereka melihat Shinn yang sedang berjalan perlahan menuju mereka—langkahnya tetap rapi, seperti mesin yang teratur. “Shinn, nak!” panggil Lynn dengan suara yang tenang tapi penuh cinta, dan Shinn hanya mengangkat tangan sedikit sebagai balasan, meskipun mata merah nya sedikit melembut ketika melihat mama dan papa.
Dan di sudut gerbang yang sedikit lebih sunyi, Andras berdiri dengan postur yang elegan—rambut ungu panjang bergelombangnya melayang melewati pinggul, mata kiri biru dan kanan merah yang cerah memandang ke arah kelas. Di sisinya, Leon berdiri dengan aura yang lembut tapi kuat—rambut panjang putihnya gradasi pink menyala di bawah sinar matahari, mata pinknya selalu fokus pada Andras dan Catalina. Keduanya belum melihat Catalina, tapi sudah merasakan kehadiran anak perempuannya yang kecil.
Tiba-tiba, seorang wanita dengan rambut coklat muda yang diikat rapi mendekat dengan langkah yang sedikit ragu-ragu. “Krek… krek…” suara sepatu nya menyentuh lantai, dan dia terus menunduk sambil menyentuh ujung bajunya. Itu Miss Ayu—wali kelas anak-anak para pilar, yang ternyata adalah junior Andras dan Leon di SMA Kyoko dulu.
“A-Andras senpai… Leon senpai… selamat sore…” ucapnya dengan suara yang gugup, dada nya naik turun cepat. Wajahnya memerah, dan dia tidak berani menatap mata keduanya langsung.
Andras segera menyadari siapa dia, dan senyum lembut muncul di bibirnya—suara nya lembut tapi penuh kehangatan. “Ayu? Wah, lama tidak ketemu!” dia berkata, sambil memegang tangan Catalina yang tiba-tiba muncul dari balik pohon, melompat ke pelukan mami nya. “Pluk!” suara pelukan yang erat, dan Catalina memeluk pinggang Andras dengan erat, rambut putih gradasi pink nya bergoyang mengikuti gerakannya. “Mami! Papi! Aku sudah selesai kelas!” teriaknya dengan senyum lebar, mata kiri pink dan kanan nya bersinar cerah seperti bintang.
Leon menunduk, mengusap kepala Catalina dengan jari-jari yang lembut. “Hai, putri kecil papi… hari ini menyenangkan?” tanyanya, dan Catalina mengangguk cepat, kepalanya bergerak-gerakan sehingga rambutnya melayang-layang.
Kemudian Andras memalingkan perhatiannya kembali ke Miss Ayu, yang masih berdiri gugup. “Ahh… Ayu… bagaimana? Aku dengar kamu adalah wali kelas dari anak-anak para pilar?” dia bertanya, dengan tatapan yang sopan dan penuh perhatian.
Miss Ayu mengangguk cepat, tangannya semakin erat menyentuh bajunya. “I-iya… Andras senpai! Aku sangat bahagia menjadi wali kelas mereka… mereka semua baik dan cerdas…” katanya, tapi suaranya tiba-tiba terhenti, dan dia mengeliat Catalina dengan tatapan yang cemas. “Tapi… ada yang kita omongin tentang Catalina dengan Andras senpai dan Leon senpai…”
Saat itu, Leon mengangkat alisnya sedikit—suara nya menjadi lebih lembut tapi penuh perhatian. Dia menatap Catalina dengan mata pink yang lembut, dan bertanya: “Putri kecil papi? Kamu buat masalah?”
Catalina langsung menggeleng kepala dengan cepat, “Tidak, papi! Tidak ada sama sekali!” ucapnya, dan rambutnya melayang-layang dengan gerakan itu. Wajahnya penuh kejujuran, dan mata nya bersinar lebih cerah lagi—seolah ingin membuktikan bahwa dia tidak salah apa-apa.
Miss Ayu segera terkejut, dan dia cepat mengembangkan tangan. “Bu-bukan Leon senpai! Malahan dia tidak melakukan apapun… tapi ada yang harus aku tanya…” katanya, suara nya semakin gugup, dan dia mulai berjalan bolak-balik sedikit, langkahnya tidak stabil.
Andras menyadari bahwa pembicaraan ini tidak cocok untuk didengar Catalina. Dia mengangguk sopan kepada Miss Ayu, lalu menoleh ke anak perempuannya dengan senyum yang lembut tapi tegas. Dia memegang pipi Catalina dengan jari-jari yang lembut, membuat anaknya menatapnya. “Nak… mami dan papi mau masuk dulu ke ruang guru, ya? Kamu main aja di sana—tempat pasir yang ada di pojok halaman. Jangan lupa temani Shinn atau teman-teman lain ya?”
Catalina mengangguk dengan senyum. “Baik, mami! Aku mau main pasir di sana!” ucapnya, lalu dia melepaskan pelukan mami nya dan berlari cepat ke arah tempat pasir—“Tap-tap-tap-tap!” langkah sepatu kecilnya yang kencang, dan dia menyeburkan tangan ke pasir dengan senyum lebar.
Tapi ketika dia mulai membentuk bunga dari pasir, hatinya tiba-tiba menjadi kaku. “Aduhh… apakah aku terlalu berlebihan menunjukkan kepintaran ku di kelas tadi?” pikirnya, mata nya sedikit memerah karena khawatir. Dia melihat tangan nya sendiri—tangan kecil seorang anak TK, tapi sudah bisa menyentuh kekuatan CIP yang hanya orang dewasa yang seharusnya punya. “Kalau aku ketahuan bahwa aku balik ke masa lalu bagaimana? Miss Ayu itu… CIP nya memiliki kekuatan analis energi CIP… kalau mami dan papi tau kalau aku udah punya cip bahkan bisa menyentuh tier terakhir yaitu Inversi CIP… bisa gawat nih…”
Di dalam pikirannya, dia melihat bayangan mami dan papi yang terkejut—bahkan sedih. Dia menggigit bibirnya sebentar, dan gerakan membentuk pasirnya menjadi lambat. “Plak… plak…” suara pasir yang dibentuk, tapi dia tidak lagi merasa senang. Pipi nya memerah, dan dia sesekali melirik arah ruang guru, mata nya penuh kekhawatiran.
Di sisi lain, di depan ruang guru, Andras dan Leon berdampingan menghadapi Miss Ayu yang semakin gugup. Wajah Miss Ayu sudah memerah parah, dan dia terus menunduk sambil menyentuh ujung bajunya. “S-sorry senpai… aku tidak mau membuat kesalah paham… tapi… hari ini, di kelas… Catalina anak mu… dia menunjukkan sesuatu yang tidak biasa…” katanya, suara nya bergetar.
Andras menatapnya dengan mata yang cerdas, tapi penuh kehangatan. “Apa yang dia lakukan, Ayu?” tanyanya, dengan suara yang tenang tapi membuat Miss Ayu merasa nyaman untuk berbicara.
Miss Ayu mengangkat kepala sedikit, melihat mata Andras dengan tatapan yang cemas—mata nya bergetar, dan dia mengerutkan alisnya seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat. “K-ketika kita belajar tentang angka… dia bisa menghitung angka besar dengan cepat—lebih cepat dari anak-anak lain yang umurnya sama. dia langsung jawab dalam sekejap, tanpa berpikir lama…”
Dia mengunyah bibirnya sebentar, tangannya semakin erat menyentuh bajunya. “Dan… dan itu bukan semuanya, senpai. Aku… aku iseng memberikan tulisan yang panjang—cerita yang ditulis dengan kata-kata sulit yang ga mungkin anak TK bisa baca. Tapi… Catalina dia baca. Dia baca semua dengan lancar, bahkan bisa menceritakan kembali isi ceritanya dengan tepat…”
Suara nya mulai bergetar lebih kuat, dan dia menunduk lagi sebentar sebelum mengangkat kepala kembali. “Aku pun menguji dia lagi… aku buat soal aljabar sederhana—yang biasanya cuma diajarkan di SMP kelas 2. Dan… dia bisa. Bahkan aku tanya tentang rusuk kubus—berapa jumlah rusuk, luas permukaan, volume—dia jawab semua dengan benar, bahkan bisa menjelaskan mengapa!”
Miss Ayu mengangkat kepala sedikit, melihat mata Andras dengan tatapan yang cemas. “Dan… ketika aku melihat energi di sekitar dia… ada sesuatu yang berbeda. Energi nya kuat… sangat kuat… seolah-olah dia sudah punya CIP yang matang…” katanya, dan dia mengerutkan alisnya, seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Leon yang selama ini diam, tiba-tiba mengangkat tangannya. “Energi CIP?” tanyanya, suara nya sedikit serius, dan mata pink nya menjadi lebih fokus. Dia tahu bahwa CIP adalah kekuatan yang hanya bisa didapatkan setelah seseorang memasuki usia remaja—tidak mungkin seorang anak TK punya itu.
Miss Ayu mengangguk cepat. “I-iya… aku punya kekuatan analis energi CIP dari CIP ku… dan energi yang keluar dari Catalina… itu benar-benar energi CIP. Bahkan… seolah-olah dia sudah menyentuh tahap yang tinggi… seperti Inversi CIP…”
Saat itu, Andras dan Leon saling melihat. Wajah Andras yang tadinya tenang, sekarang sedikit berubah—mata kiri biru dan kanan merah nya menjadi lebih tajam, dan dia mengerutkan alisnya. Leon juga menunjukkan ekspresi yang sama—mata pink nya sedikit memerah, dan dia menyentuh dagunya dengan jari-jari yang lembut. “Inversi CIP? Itu tidak mungkin… tahap terakhir yang hanya bisa dicapai oleh orang yang memiliki pengalaman dan kekuatan yang luar biasa…” bisik Leon pelan, suara nya penuh keheranan.
Andras menyadari bahwa ini adalah masalah yang serius. Dia memegang tangan Leon dengan erat, memberi dukungan. “Kita tidak bisa tergesa-gesa menyimpulkan apa-apa, Ayu…” katanya, suara nya kembali tenang. “Kamu yakin dengan apa yang kamu lihat? Bisa jadi itu hanya energi alam yang kuat—anak-anak terkadang punya itu.”
Miss Ayu mengangguk, tapi wajahnya masih penuh keraguan. “A-aku yakin, senpai… energi nya berbeda. Tapi… aku tidak akan memberitahu siapapun. Aku hanya mau memberitahu senpai karena aku khawatir tentang Catalina… dan khawatir apa yang akan terjadi kalau orang lain ketahui…” katanya, dan dia menyentuh mata nya dengan jempol, seolah mau menangis.
Andras mendekat sedikit, menepuk bahu Miss Ayu dengan lembut. “Terima kasih sudah memberitahu kita, Ayu. Kamu baik sekali.” katanya, senyum lembut muncul lagi di bibirnya. “Kita akan periksa sendiri tentang Catalina. Jangan khawatir… kita akan melindungi dia.”
Leon juga menyenyum. “Ya, Ayu. Terima kasih atas perhatianmu pada anak kita.” katanya, suara nya lembut.
Miss Ayu mengangguk dengan senyum lega. “T-tidak apa-apa, senpai… itu tugas aku sebagai wali kelas.” katanya, dan dia mulai rileks sedikit. “Kalau begitu… aku mau pulang dulu ya, senpai. Sampai jumpa lagi.”
Setelah Miss Ayu pergi, Andras dan Leon saling melihat lagi. Wajah mereka penuh kekhawatiran, tapi juga penuh tekad. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Catalina, sayang?” tanya Leon, menyentuh wajah Andras dengan lembut.
Andras menghela napas pelan. “Aku tidak tahu… tapi kita harus mencari tahu. Tapi jangan tergesa-gesa… kita tidak mau membuat dia takut.” katanya, mata nya memandang arah tempat pasir, di mana Catalina sedang bermain sendirian. “Lihat dia… dia hanya anak kecil yang ceria. Kita tidak boleh merusak kebahagiaannya.”
Di tempat pasir, Catalina masih membentuk bunga dari pasir. Dia melihat mami dan papi yang sedang berbicara di depan ruang guru, dan dia merasakan bahwa ada sesuatu yang salah. “Mami… papi… apa yang Miss Ayu katakan padamu?” pikirnya, mata nya sedikit memerah karena sedih. Dia membentuk pasir menjadi bentuk bintang, dan berbisik pelan: “Aku hanya mau melindungi kalian semua… jangan marah ya, mami papi…”
Sinar matahari sore semakin memudar, dan langit menjadi berwarna jingga dan ungu. “Kring… kring… kring…” suara bel sekolah yang menandakan bahwa waktu pulang sudah selesai, dan orang tua mulai membawa anak-anak mereka pulang. Shinn berdiri di dekat tempat pasir, melihat Catalina yang sedang bermain sendirian. Dia mendekat sedikit, dan berkata dengan suara yang datar tapi penuh perhatian: “Kamu tidak mau pulang?”
Catalina menoleh, melihat Shinn dengan senyum yang sedikit rapuh. “Ya… nanti aja. Aku mau selesai bintang ini.” katanya, dan Shinn hanya mengangguk, berdiri di sampingnya tanpa berkata apa-apa. Kedua anak itu berdampingan melihat matahari terbenam, dengan suasana yang tenang tapi penuh emosi yang kompleks—kebahagiaan, kekhawatiran, dan harapan yang saling bergabung.