Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Ketujuh Belas
# 17
Tubuh Si Topeng Emas seakan dilingkari cahaya kuning keemasan, sekalipun tinju Widura seakan mengenai sasaran tapi pada kenyataannya, tinjunya selalu terhenti di udara beberapa inci saja dari tubuh Si Topeng Emas.
Wajah Widura tampak merah padam karena serangannya selalu terhenti di tengah udara, maka, ia melompat mundur beberapa tombak dan kali ini menggunakan lengan baju sebelah kiri untuk menyerang Si Topeng Emas. Kain itu meliuk – liuk bagaikan kepala ular naga raksasa menyambar, ke arahnya.
“DDUUAARR !! DDUUAARR !!”
Ledakan keras itu menyebabkan Widura terpelanting, sementara Si Topeng Emas masih tetap berdiri tegak bagai karang.
“Sekarang gunakanlah Ajian Serat jiwa Tingkat Dua untuk menyerangku, Widura. Kali ini gabungkan dengan Aji Tapak Saketi,” ujar Si Topeng Emas.
Widura mengangguk, lalu menggerakkan telapak tangan kanannya dari atas ke bawah, memutar – mutarkan tapaknya di tengah udara dan saat didorong ke depan mendadak saja tapaknya seakan memanjang dan menyambar ke arah dada Si Topeng Emas. Si Topeng Emas menyambut tapak kanan itu dengan telapak kirinya dan ....
“BBBLLLAAARRR !!!”
Dua tapak dan tenaga dalam bertemu, menimbulkan guncangan di sekitar tempat itu, gelombang udara seakan menyapu bebatuan dan pepohonan yang ada, menimbulkan retakan – retakan pada bebatuan, merontokkan dedaunan dan ranting – ranting tanaman. Untuk kali ini tubuh Si Topeng Emas bergeser beberapa inci saja. Tak lama kemudian Widura melancarkan serangan kedua. Kali ini ia menyerang dengan lengan baju kirinya.
“DDUUAAR !!”
Si Topeng Emas menepiskan serangan itu sedemikian mudahnya dan membuat Widura mundur. “Bagus, pertahankan seranganmu itu. Kau bisa menggunakan lengan baju kirimu untuk menyerang ataupun bertahan. Orang lain takkan bisa menduga bahwa lengan bajumu itu bisa menjadi senjata yang mematikan,” kata Si Topeng Emas sambil melompat menerjang ke arah Widura yang saat itu tengah mempersiapkan jurus Tapak Saketi. Kembali dua orang itu bertemu di udara, benturan keras dan ledakan tenaga dalam terdengar membahana. Sesekali mereka melompat mundur, sesekali pula mereka saling terjang begitu seterusnya. Widura benar – benar digembleng fisik dan mental, membuatnya tidak lagi memikirkan keadaannya yang lumpuh dan segala yang telah terjadi. Si Topeng Emas telah membuatnya lupa akan segala duka nestapanya selama di Madangkara, perlakuan Permadi yang semena – mena terlebih membuatnya naik darah, tapi, Si Topeng Emas dengan sabar menenangkannya hingga lupa akan batasan – batasan dirinya. Widura telah menjadi seorang pemuda berbeda dengan Widura yang beberapa waktu terakhir adalah merupakan seorang pemuda Blambangan dengan ilmu terbatas. Si Topeng Emas juga mengajarkan berbagai macam kebijaksanaan dan kebesaran hati dalam menghadapi situasi apapun.
_____
Matahari telah berada diatas kepala saat kuda yang ditunggangi Dewi Garnis dan Shakila berhenti di tepi sebuah sungai yang berair jernih dan berarus tenang, sejauh mata memandang yang tampak hanyalah padang rumput nan hijau, walau hari berangkat siang udara di sekitar tempat itu cukup sejuk.
Mereka memilih untuk beristirahat sejenak di tepian sungai itu. Hembusan angin semilir yang memainkan tiap helai rambut wanita cantik itu, diiring dengan kicauan burung merdu ditambah dengan gemericik aliran air sungai menggerus bebatuan, membuat mereka seakan dimanja oleh suara – suara alam ciptaan Sang Pencipta.
"Kak Garnis, Jawadwipa memang benar-benar indah. Berbeda sekali dengan Hindustan," kata Shakila, "Apa nama sungai ini, kak... airnya jernih sekali, membuatku ingin mandi. Seharian berkuda, tanpa berhenti, aku tak biasa melakukan perjalanan dengan berkuda jadi, tubuhku rasanya seperti Kumal,"
"Kalau kau ingin mandi, silahkan saja Shakila... aku akan mengawasi keadaan sekitar. Sebenarnya, ini adalah salah satu dari sekian banyak anak sungai Mandiri... memang, dibandingkan dengan anak-anak sungai yang lain, pemandangan Sungai Cicatih ini lebih mempesona. Nah, kau mandilah, setelah itu kita kan melanjutkan perjalanan menuju Sadeng,"
"Untuk apa kita ke Sadeng ? Bukankah tujuan kita adalah Kadipaten Kapandean ?"
"Shakila, aku sudah mengembara ke berbagai daerah, namun, mengenai Kadipaten Kapandean itu, aku asing... jadi, terpaksa kita harus menuju ke Sadeng dulu untuk meminta bantuan seorang teman yang lebih berpengalaman di daerah tersebut," jelas Garnis, "Sebenarnya, aku malas bertemu dengannya, sebab, itu akan membuka luka lama. Tapi, demi mengungkap siapa orang yang telah melukaimu dan juga Permadi itu harus kulakukan,"
"Kak Garnis, sungguh hatimu sangat baik, begitu pula Raden Bentar... baik aku dan kakang Permadi adalah orang luar yang tidak ada hubungannya dengan Madangkara... tapi, kalian memperlakukan kami dengan baik sekali... kami merasa tidak enak karena merepotkan kalian,"
"Shakila, ketahuilah... kalian telah berjasa besar terhadap Kerajaan Madangkara... karena kalian sudah tinggal di Madangkara cukup lama, maka, sudah sewajarnya kami memperlakukan kalian sebagaimana rakyat Madangkara pada umumnya. Menjaga dan melindungi kalian, kami semua bertanggungjawab atas keselamatan orang-orang yang ada di Madangkara dan sekitarnya. Jadi, kumohon, jangan sampai kalian mengabaikan kepercayaan yang sudah diberikan oleh Madangkara kepada kalian...."
"Apa maksud kak Garnis?"
"Maksudku ... janganlah merasa sungkan jikalau kami menganggap kalian sebagai rakyat Madangkara pula, bahkan lebih dari itu... kalian semua kuanggap sebagai saudara. Nah, kumohon... janganlah kalian menyalah gunakan kepercayaan kami terhadap kalian. Nah, kau jadi membasuh tubuhmu atau kita langsung menuju ke Sadeng ?"
Sepasang mata Dewi Garnis menatap ke arah Shakila. Sepasang tatap mata memelas namun tajam. Gadis Hindustan itu tersenyum, kemudian jari-jemari yang lentik perlahan membuka kancing bajunya satu persatu, hingga saat dadanya terbuka, Garnis dapat melihat sebuah luka bekas tusukan, tusukan belati. Peristiwa penyerangan di Balairung istana Madangkara oleh Palawa, seakan kembali muncul bagai potongan slide sebuah adegan film yang diputar berulang-ulang.
Buru-buru Garnis mengalihkan pandangannya ke arah lain, ia tidak peduli lagi dengan Shakila yang sudah berjalan menuju ke tepian sungai dan mulai berendam di dalamnya.
"Bekas luka itu mengingatkanku pada kejadian tempo hari... ia terluka karena melindungi Rayi Prabu Wanapati..." kata Garnis dalam hati, "Aku belum bisa mempercayai perkataan Si Cadar Hitam, jika gadis ini adalah salah seorang Kuntala yang berniat merongrong dan menghancurkan Madangkara. Jagat Dewa Batara, apa yang harus kulakukan dalam menyikapi permasalahan ini,"
"Kak Garnis," sapaan diiringi dengan tepukan lembut pada bahu kiri Dewi Garnis membuyarkan lamunan wanita perkasa itu. Shakila sudah berada di sampingnya dan ia tampak lebih cantik.
"Apa yang kakak lamunkan ?" tanya Shakila.
"Ti... tidak ada, Shakila... apa kau sudah siap untuk melanjutkan perjalanan ?" Garnis sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Kak Garnis, air sungai itu sejuk sekali, tubuhku kembali segar... lihat diri kakak yang tampak lesu, pergilah mandi juga, kak... agar tubuh kakak segar,"
"Benarkah aku terlihat lesu ?"
"Iya, kak... mandilah dan ganti pakaian kakak agar tak terlihat Kumal,"
"Kau ini bisa saja, Shakila... baiklah, aku menurut... tolong jaga aku, ya... jangan biarkan ada orang lain mengintip,"
Maka demikianlah, setelah Garnis dan Shakila mandi dan berganti pakaian, mereka tampak lebih segar dan kembali memacu kudanya menuju arah Utara. Dengan menyusuri tepian sungai, tibalah mereka di tepi sebuah hutan yang cukup lebat.
“Kita sudah tiba di Kuningan, begitu melewati hutan itu ada sebuah desa, kita akan menginap di sana semalam,” ujar Garnis sambil menatap Shakila yang tampak kelelahan, “Shakila, kau tampak letih sekali,”
“Iya, kak Garnis... saya tidak terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan menunggang kuda,” ujar Shakila, “Apakah Sadeng masih jauh dari sini ?”
“Benar. Kalau kau lelah, sebaiknya kita beristirahat disini barang sebentar, setelah itu kita kembali melanjutkan perjalanan,”
“Baiklah, kak...” kata Shakila bersamaan dengan Garnis turun dari punggung kuda. Mereka berdua duduk di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Baru saja mereka hendak membuka perbekalannya, beberapa orang bertubuh tinggi dan kekar muncul dari semak belukar. Mereka perlahan – lahan menghampiri Garnis dan Shakila wajah mereka tampak garang, tak bersahabat dan sepasang matanya menunjukkan kekurang ajaran.
“Wah... wah... wah ... baru kali ini ada dua wanita cantik berkunjung di tempat ini. Siapakah kalian berdua ?” kata laki – laki berjambang lebat, tampaknya dia adalah pimpinan dari gerombolan yang berjumlah sepuluh orang itu. Baik Garnis maupun Shakila tahu bahwa mereka adalah sekawanan berandal yang suka berbuat iseng kepada para pendatang dan mencoba untuk tidak mempedulikannya.
“Shakila, sebaiknya kita pindah tempat saja yang agak sunyi daripada di tempat ini yang berisik,” ajak Garnis sambil melipat kembali perbekalannya. Shakila setuju, iapun menutup perbekalannya dan saat hendak naik ke punggung kudanya, pundaknya seperti ditusuk – tusuk benda tajam, “Mau kemana kau, cantik ?”
..._____ bersambung _____...