Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Infiltrasi di Lantai 42
Malam di Jakarta selalu tampak indah dari ketinggian, namun bagi mereka yang berada di bawah, kerlap-kerlip lampu itu sering kali terasa seperti jeruji besi yang berkilauan. Aris berdiri di seberang jalan, menatap puncak gedung Grup Mahakarya yang menembus awan tipis. Jas tua yang ia kenakan terasa berat, bukan karena kainnya, melainkan karena tanggung jawab yang tersimpan di dalamnya.
"Bapak yakin bisa melakukan ini?" bisik Maya dari balik kemudi mobil. Wajahnya tegang, jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah.
Aris mengangguk pelan. Di tangannya, ia memegang kartu akses visitor yang sudah dimodifikasi oleh Maya melalui celah sistem lama yang ia ketahui. "Aku yang merancang sistem keamanan gedung ini sepuluh tahun lalu, Maya. Aku tahu di mana mereka menaruh sensor yang jarang diperiksa."
Aris melangkah keluar dari mobil. Napasnya terasa berat, setiap langkah menuju lobi gedung terasa seperti mendaki gunung. Ia harus melawan rasa sakit di dadanya yang kian menusuk. Saat melewati pintu putar, ia menundukkan kepala, membiarkan topi pet yang ia pakai menutupi sebagian wajahnya dari kamera pengawas.
Kartu akses itu berbunyi tit pelan saat ditempelkan pada gate lift. Berhasil. Aris masuk ke dalam lift khusus eksekutif. Di dalam kotak besi yang berlapis cermin itu, Aris melihat bayangannya sendiri: seorang pria tua yang tampak rapuh, namun memiliki mata yang menyimpan api pemberontakan.
Lantai 42. Pintu lift terbuka dengan suara denting yang halus. Lorong itu sunyi, hanya ada suara dengung dari sistem pendingin ruangan. Aris berjalan menyusuri karpet tebal menuju ruang arsip rahasia di samping kantor Baskoro. Ia tahu, di jam seperti ini, hanya ada satu petugas keamanan yang berpatroli setiap tiga puluh menit.
Saat tiba di depan pintu brankas fisik, Aris mengeluarkan sebuah alat kecil—sebuah pemindai frekuensi yang dulu ia gunakan untuk menguji keamanan pintu darurat. Tangannya gemetar. Keringat dingin mengucur di pelipisnya.
Klik.
Pintu terbuka. Aris segera masuk dan menutupnya kembali. Di dalam, tumpukan dokumen rahasia tertata rapi dalam laci-laci baja. Ia mencari map berkode “Sektor 12-B / 2015-V”.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, ia menemukannya. Ia membuka map tersebut di bawah lampu senter kecil. Di sana, ia melihat dokumen paten yang disebut Maya. Jelas terlihat tanda tangan Aris di sana, namun saat ia melihatnya lebih dekat dengan kaca pembesar, ia tersenyum pahit. Baskoro cukup pintar, tapi ia bukan seorang ahli kaligrafi. Tekanan pena pada tanda tangan itu terlalu konsisten—khas mesin autopen yang meniru pola, bukan tarikan tangan manusia yang memiliki jeda napas.
Namun, kejutan sebenarnya ada di balik dokumen itu. Ada sebuah nota tulisan tangan asli dari almarhumah Sarah yang terselip. Rupanya, Sarah pernah mengirim surat keberatan resmi kepada Mahakarya saat Aris pertama kali dipecat, menyatakan bahwa desain itu adalah warisan keluarga mereka. Surat itu tidak pernah sampai ke tangan Aris karena disembunyikan di sini.
"Jadi kau menyimpan ini juga, Bas?" bisik Aris pedih.
Tiba-tiba, lampu ruangan menyala terang.
"Aku tahu kau akan datang, Aris," suara berat itu datang dari arah pintu.
Baskoro berdiri di sana, mengenakan jubah mandi sutra, memegang sebuah gelas kristal berisi cairan berwarna amber. Ia tampak tidak terkejut, justru tampak puas. "Kau selalu bisa ditebak. Kau pikir kau masih arsitek hebat yang bisa mengakali sistemku?"
Aris berdiri, menggenggam dokumen itu erat-erat. "Sistemmu dibangun di atas kebohongan, Bas. Dan kebohongan selalu memiliki celah."
"Celah itu akan tertutup malam ini," sahut Baskoro dingin sambil memberi isyarat ke arah dua pria berseragam keamanan yang muncul di belakangnya. "Berikan dokumen itu, atau aku akan memastikan kau tidak akan pernah melihat matahari terbit di bantaran sungai lagi."
Aris merasakan sesak di dadanya kembali menyerang. Kali ini lebih hebat. Ia bersandar pada lemari besi, mencoba tetap berdiri tegak. "Jika kau membunuhku di sini, dokumen ini sudah terkirim secara digital ke server Yudha. Maya sedang mengawasi lewat live stream kancing bajuku."
Baskoro tertegun sejenak. Ia melihat ke arah kancing jaket Aris yang tampak memiliki lubang kecil. Wajahnya yang semula tenang berubah menjadi penuh amarah. "Kau... kau menjebakku?"
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang arsitek," ucap Aris, suaranya parau namun tegas. "Aku membangun jalan keluar sebelum seluruh bangunan ini runtuh menimpamu."
Di luar gedung, suara sirine polisi mulai terdengar mendekat—Yudha telah menelepon pihak berwajib dengan bukti rekaman live stream tersebut. Baskoro mundur selangkah, menyadari bahwa takhta kacanya kini benar-benar retak berkeping-keping.
Aris jatuh terduduk, napasnya tersengal. Namun di tangannya, dokumen kebenaran itu masih tergenggam kuat. Di waktu senja yang paling berbahaya ini, ia telah memenangkan pertempuran yang paling mustahil.
Malam di kawasan pusat bisnis Jakarta tampak seperti lautan cahaya yang beku. Gedung Grup Mahakarya menjulang angkuh, dinding kacanya memantulkan lampu-lampu jalan yang tak pernah padam. Aris berdiri di seberang jalan, mengenakan topi pet dan jaket gelap untuk menyembunyikan identitasnya. Di sampingnya, Maya memegang tablet yang terhubung dengan akses keamanan internal yang masih ia miliki secara rahasia.
"Sistem patroli keamanan berganti setiap tiga puluh menit, Pak," bisik Maya, suaranya bergetar karena adrenalin. "Saya sudah meretas akses pintu darurat di basemen dua. Bapak punya waktu sepuluh menit sebelum sensor mendeteksi anomali."
Aris mengangguk. Napasnya terasa berat, setiap tarikan udara seolah menusuk paru-parunya, namun tekadnya lebih tajam dari rasa sakit itu. "Hanya ini satu-satunya cara, Maya. Jika surat paten asli dengan tanda tangan palsu itu tidak kita temukan malam ini, besok polisi akan merantai Rumah Senja."
Dengan langkah yang diatur sedemikian rupa agar tidak mencolok, Aris menyelinap masuk melalui pintu basemen. Suasana di dalam gedung terasa mencekam; sunyi, hanya suara mesin pendingin ruangan yang berdengung konstan. Ia menaiki tangga darurat, menghindari kamera pengawas yang jalurnya sudah dihafalkan Maya.
Lantai 42. Tempat yang dulu adalah singgasananya sebagai arsitek utama.
Saat pintu tangga terbuka sedikit, Aris melihat lorong yang panjang dan remang. Aroma parfum ruangan yang mahal membangkitkan kenangan pahit tentang pengkhianatan sepuluh tahun lalu. Ia bergerak menuju ruang arsip rahasia di ujung lorong, tepat di sebelah kantor pribadi Baskoro.
Tiba-tiba, suara langkah kaki sepatu pantofel terdengar bergema di lantai marmer. Aris segera bersembunyi di balik pilar besar. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Seorang petugas keamanan lewat sambil menyinari lorong dengan senter. Cahayanya nyaris mengenai ujung sepatu Aris.
Setelah petugas itu menjauh, Aris segera menuju pintu arsip. Dengan bantuan kode akses yang diberikan Maya melalui earpiece, pintu itu terbuka dengan suara klik yang pelan.
Di dalam, ruangan itu dipenuhi rak-rak besi yang menyimpan ribuan rahasia perusahaan. Aris mencari laci berkode 'Sektor 12-B / 2024'. Tangannya gemetar saat ia menarik laci tersebut. Di sana, di dalam map kulit merah, tersimpan dokumen yang ia cari: Perjanjian Pengalihan Hak Intelektual.
Aris membukanya di bawah cahaya lampu senter kecil. Matanya membelalak. Di sana tertera tanda tangannya, namun dengan guratan yang terlalu kaku. Itu adalah hasil tiruan mesin yang sangat halus. Di bawahnya, terdapat catatan kecil tulisan tangan Baskoro: "Gunakan ini jika si tua itu mulai memberontak."
"Bajingan," desis Aris.
Tiba-tiba, lampu ruangan menyala terang.
"Aku sudah menduga kamu akan datang ke sini, Aris," sebuah suara berat terdengar dari arah pintu.
Baskoro berdiri di sana, tangannya bersedekap di dada, didampingi oleh dua orang penjaga keamanan. Wajahnya tidak tampak terkejut; ia justru terlihat sangat menikmati momen itu.
"Mencuri dokumen perusahaan? Itu tindak pidana murni, Aris. Sekarang, bukan hanya Rumah Senja yang akan hilang, tapi sisa hidupmu akan berakhir di balik jeruji besi," ucap Baskoro dengan senyum kemenangan.
Aris berdiri tegak, memegang dokumen itu erat-erat. "Ini bukan mencuri, Bas. Ini mengambil kembali apa yang kamu rampok dariku. Dunia harus tahu bahwa Grup Mahakarya dibangun di atas pondasi kebohongan."
"Dunia hanya akan tahu apa yang aku bayar untuk mereka ketahui," sahut Baskoro dingin. Ia memberi isyarat kepada penjaga untuk maju.
Namun, sebelum penjaga itu menyentuh Aris, suara sirine polisi terdengar sangat dekat di bawah gedung. Baskoro mengerutkan kening.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Baskoro curiga.
Aris mengangkat ponselnya yang ternyata sedang melakukan siaran langsung (live streaming) ke akun media sosial warga bantaran sejak ia masuk ke ruangan itu. "Aku tidak datang sendiri, Bas. Ada lima puluh ribu orang yang sedang menonton pertemuan kita malam ini. Termasuk pengacara Yudha yang sudah menunggu polisi di lobi bawah dengan bukti peretasan data yang dikirim Maya."
Wajah Baskoro mendadak pucat. Ia melihat ke arah kamera ponsel Aris yang masih menyala.
"Senjamu sudah tiba, Baskoro," ucap Aris, suaranya parau namun penuh otoritas.
Tiba-tiba, rasa sakit yang luar biasa menghantam dada Aris. Ia terhuyung, menjatuhkan dokumen itu ke lantai. Pandangannya mulai mengabur saat polisi mulai mendobrak pintu lantai 42. Di tengah kekacauan itu, Aris merasa tubuhnya ambruk, namun ia sempat melihat Yudha masuk dan memungut dokumen asli tersebut.
Aris memejamkan mata, membiarkan kegelapan menyelimutinya. Ia telah melepaskan peluru terakhirnya. Kini, ia hanya bisa berharap bahwa apa yang ia tanam di bantaran sungai akan cukup kuat untuk tumbuh tanpa kehadirannya.