NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.2k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Batas Tipis Bernama Sahabat

Sabtu malam di "Kopi Senja" selalu memiliki ritme yang sama. Aroma biji kopi yang digiling berpadu dengan asap rokok samar dari area luar, serta suara strumming gitar akustik yang sumbang karena Rio memainkannya asal-asalan.

Bagi Intan, ini adalah surga kecilnya. Dikelilingi sahabat-sahabat terbaik: Rio yang konyol, Dinda yang ratu gosip, dan Raka... si pelindung yang selalu bisa diandalkan.

"Eh, sumpah ya, dosen gue tadi siang ngasih tugas nggak ngotak banget! Masa deadline Senin besok?" celoteh Dinda berapi-api sambil mengaduk red velvet latte-nya dengan kasar.

Rio tertawa, masih memetik senar gitar tanpa nada yang jelas. "Itu namanya ujian kehidupan, Din. Biar lo nggak party mulu pas weekend."

Intan terkekeh mendengar perdebatan rutin itu. Ia menyuapkan potongan kentang goreng ke mulutnya, lalu menoleh ke sisi kanannya, tempat Raka duduk. Biasanya, Raka adalah orang pertama yang akan menimpali keluhan Dinda dengan solusi logis atau sarkasme tajam.

Namun malam ini, kursi di sebelah Intan terasa sepi.

Raka duduk di sana, tapi pikirannya tidak. Cowok itu menatap gelas Americano-nya yang sudah mencair, embun di dinding gelasnya telah membasahi meja kayu hingga membentuk genangan kecil. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan tempo cepat, sebuah kebiasaan Raka jika sedang gelisah luar biasa.

"Ka?" panggil Intan pelan, menyikut lengan Raka.

Raka tersentak kaget, seolah baru saja dibangunkan dari mimpi buruk. Gelas kopinya nyaris tersenggol. "Hah? Eh... kenapa, Ntan?"

Intan mengerutkan kening, menatap lekat wajah sahabatnya itu. Ada lingkaran hitam samar di bawah mata Raka, dan keringat dingin terlihat jelas di pelipisnya meski AC kafe menyembur cukup kencang.

"Lo kenapa sih dari tadi diem aja? Sakit gigi?" tanya Intan cemas. Tanpa sadar, tangannya terulur untuk merapikan poni Raka yang sedikit berantakan, gestur refleks yang sudah ia lakukan ratusan kali selama bertahun-tahun mereka bersahabat.

Namun kali ini, reaksi Raka berbeda.

Biasanya Raka akan membiarkan, atau justru mengacak balik rambut Intan. Tapi malam ini, tubuh Raka menegang saat ujung jari Intan menyentuh keningnya. Dengan gerakan halus namun tegas, Raka menangkap pergelangan tangan Intan dan menurunkannya perlahan.

"Gue nggak apa-apa," jawab Raka singkat. Suaranya terdengar parau dan berat.

Rio yang menyadari perubahan atmosfer itu menghentikan petikan gitarnya. Dinda pun berhenti mengunyah. Keheningan aneh tiba-tiba menyelimuti meja nomor 12 itu.

"Bro, lo aneh banget sumpah," celetuk Rio, kali ini nadanya serius. "Lo ada masalah? Cerita lah. Kita kayak sama siapa aja."

Raka menghela napas panjang, sangat panjang seolah beban dunia menumpuk di paru-parunya. Ia melepaskan tangan Intan, lalu memejamkan mata sejenak.

"Gue emang ada masalah," gumam Raka pelan. "Dan masalahnya ada di sini, di meja ini."

Jantung Intan mencelos. Apa Raka marah pada mereka? Apa mereka melakukan kesalahan?

"Maksud lo?" tanya Intan hati-hati.

Raka membuka matanya. Tatapannya langsung terkunci pada manik mata Intan. Intens, tajam, dan menyiratkan sesuatu yang membuat Intan merasa telanjang di bawah tatapan itu. Tidak pernah seumur hidupnya Raka menatapnya seperti itu.

Tiba-tiba, suara kursi berdecit nyaring membelah keramaian kafe. Raka berdiri tegak.

"Raka, lo mau ke mana?" Intan mendongak bingung.

"Gue nggak ke mana-mana. Gue cuma capek duduk dan sembunyi," ujar Raka lantang. Suaranya cukup keras hingga beberapa pengunjung di meja sebelah menoleh.

"Duduk, Ka. Malu dilihatin orang," bisik Intan sambil menarik ujung kemeja flanel Raka.

Raka tidak bergeming. Ia justru menepis pelan tangan Intan, lalu menarik napas dalam-dalam. "Biarin mereka lihat. Biarin Rio denger, biarin Dinda denger. Gue justru butuh saksi biar gue nggak pengecut lagi buat narik omongan gue."

Rio dan Dinda saling pandang, bingung sekaligus tegang.

"Intan," panggil Raka. Nadanya berubah melembut, namun getarannya terasa sampai ke tulang punggung Intan.

"Kita temenan dari kapan? SMP? Gue hafal semua tentang lo. Gue tau lo benci durian, gue tau lo nangis tiap nonton film kucing, gue tau lo takut petir," Raka memulai monolognya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha meredam gemetar.

Intan terdiam, bibirnya kelu. Ia merasa ada sesuatu yang besar yang akan runtuh, atau mungkin terbangun.

"Selama ini, gue pikir gue cukup jadi 'Raka-nya Intan'. Sahabat yang siap sedia 24 jam. Gue pikir gue bisa tahan ngelihat lo curhat soal cowok lain, ngelihat lo ketawa bareng cowok lain," lanjut Raka, suaranya mulai naik satu oktaf, penuh emosi yang tertahan.

"Tapi gue salah, Ntan. Gue munafik."

Kafe yang tadinya riuh dengan obrolan pengunjung, perlahan menjadi hening di radius sekitar meja mereka. Atmosfer drama nyata lebih menarik daripada layar ponsel.

"Gue capek jadi sahabat lo," tekan Raka.

Kalimat itu bagaikan petir di siang bolong bagi Intan. Matanya memanas. "Lo... lo mau udahan temenan sama gue?" tanyanya dengan suara bergetar, salah menangkap maksud.

Raka menggeleng frustrasi. Ia mencondongkan tubuhnya, menatap Intan lekat-lekat.

"Bukan itu, bodoh," umpat Raka halus, sapaan khas mereka yang kini terdengar sangat intim. "Gue capek jadi sahabat karena gue mau lebih. Gue nggak mau cuma jadi tempat curhat lo. Gue mau jadi alasan lo bahagia."

Napas Intan tercekat. Waktu seolah berhenti berputar. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang memukul gendang telinga dengan brutal.

"Gue cinta sama lo, Intan. Bukan sayang sebagai teman. Gue cinta sama lo sebagai laki-laki ke perempuan," ucap Raka lugas, tanpa keraguan sedikit pun. "Gue mau kita pacaran. Gue mau jagain lo, bukan sebagai bestie, tapi sebagai cowok lo."

Hening.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Rio menjatuhkan pick gitarnya ke lantai. Klang.

Dinda menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membelalak lebar menahan pekikan histeris.

Intan terpaku di kursinya. Otaknya blank. Seluruh memori kebersamaan mereka berputar cepat di kepalanya—tawa Raka, ejekan Raka, perhatian Raka—semuanya tiba-tiba memiliki makna baru. Tatapan yang ia kira biasa saja, ternyata menyimpan perasaan sedalam ini.

"Ka... lo... lo nggak lagi prank kan? Ini bukan truth or dare sama Rio kan?" tanya Intan gagap, matanya berkaca-kaca karena syok.

Raka tersenyum tipis, senyum yang tulus namun sarat akan harapan. "Liat mata gue, Ntan. Apa gue kelihatan lagi bercanda mempertaruhkan persahabatan kita demi prank?"

Tidak. Mata itu serius. Sangat serius.

Tiba-tiba, suara tepuk tangan pelan terdengar dari meja sebelah, diikuti sorakan pengunjung lain yang sejak tadi menguping.

"TERIMA! TERIMA WOY!" seru Rio akhirnya sadar, langsung memukul meja dengan heboh.

"Gila lo Raka! Gentle parah!" pekik Dinda histeris sambil mengguncang bahu Intan yang masih mematung. "Ntan! Sadar, Ntan! Raka nembak lo tuh!"

Wajah Intan memerah padam, semerah tomat matang. Ia menatap sekeliling, pada teman-temannya yang heboh, pada orang-orang asing yang tersenyum mendukung, dan akhirnya kembali pada Raka yang masih berdiri menunggunya dengan sabar. Pria itu tampak lega karena sudah melepaskan beban di dadanya, namun matanya menyiratkan ketakutan akan penolakan.

"Jadi?" tanya Raka lagi, suaranya melembut. "Mau nggak lo naik pangkat dari sahabat jadi pacar gue?"

Intan menelan ludah. Keterkejutan itu perlahan berganti menjadi debaran hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Ternyata, selama ini ia tidak pernah keberatan Raka ada di dekatnya. Bahkan, ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Raka.

Di tengah sorak sorai dan tatapan puluhan pasang mata, Intan perlahan menyadari satu hal Ia juga tidak ingin Raka hanya menjadi sahabatnya.

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!