NovelToon NovelToon
Ranjang Berdarah Kamar 111

Ranjang Berdarah Kamar 111

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural / Balas Dendam
Popularitas:912
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Tahun 2005, seorang karyawan hotel bernama Nadira Pramesti, 21 tahun, menjadi korban pemerkosaan brutal oleh tamunya sendiri di kamar 111 Hotel Melati Aruna. Ia ditahan, disiksa, lalu dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Mayatnya ditemukan dua hari kemudian—telanjang, penuh luka, dan wajahnya tertutup kain sprei hotel.

Pelaku tak pernah ditangkap. Kasusnya tutup begitu saja.

Sejak hari itu, kamar 111 menjadi teror.

Setiap kali ada pasangan yang belum menikah menginap di kamar itu lalu melakukan hubungan intim, lampu kamar akan padam… suara isakan perempuan terdengar… seprai bergerak sendiri… hingga salah satu dari mereka ditemukan tewas dengan kondisi mirip Nadira.

Sudah 8 pasangan meninggal sejak 2006–2019.
Hotel ditutup selama 4 tahun.
Rumornya, roh Nadira hanya muncul jika “dosa yang sama” terulang.

Namun tahun 2024, hotel direnovasi dan dibuka kembali dengan nama baru:
Hotel Sunrise 111 — tanpa menghapus nomor kamarnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17 — Jejak ke Arah Pemilik Hotel Lama

​Pelarian dan Kesimpulan

​Rumah Kontrakan Raya, Pagi Hari, 2024.

​Fira dan Raya menghabiskan sisa malam itu untuk merawat luka di lengan Revan. Revan tidak melawan, namun juga tidak merespons. Dia tampak seperti patung yang rapuh, hanya bernapas dan sesekali menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Fira mengunci Revan lagi, kali ini bukan karena takut pada kekasihnya, melainkan takut pada roh Nadira dan entitas lain yang menggunakan Revan sebagai sarana untuk menyakiti dirinya sendiri.

​Fira kini memegang kendali penuh atas situasi. Kelemahan emosional Revan telah membuatnya rentan, dan Fira menyadari bahwa kini hanya dia dan Raya yang bisa bertindak.

​“Kita punya bukti digital lengkap, Fira,” kata Raya, menunjuk USB drive di atas meja. “Kita tahu Rahmat Setyawan (R) adalah kepala keamanan yang melakukan pemukulan. Tapi dia dan Hendra bertindak atas perintah Bos yang disebut di telepon. Kita perlu tahu siapa 'A' dan 'D' ini.”

​Fira menatap kembali berkas-berkas lama yang dikumpulkan Raya. Ia mengumpulkan semua laporan polisi, laporan media, dan catatan pribadi Nadira.

​“Kasus Nadira bukan satu-satunya, Raya,” ujar Fira, menyatukan beberapa dokumen. “Lihat. Pemilik Hotel Melati Aruna, yaitu Hendra Wiratma, pernah dilaporkan dalam dua kasus pelecehan seksual sebelumnya di tahun 2002 dan 2004. Kedua kasus itu ditutup. Secara hukum, dia tidak pernah dihukum.”

​Raya Pramesti mengangguk dingin. “Tentu saja. Dia punya uang dan koneksi. Dia selalu menutupi kejahatannya. Tapi penutupan kasus ini pasti membutuhkan lebih dari sekadar uang. Ini butuh orang yang punya kekuasaan hukum dan kekuasaan finansial di balik layar.”

​Fira lalu memfokuskan perhatian pada struktur kepemilikan Hotel Melati Aruna/Sunrise 111. Di samping nama Hendra Wiratma, tertera dua nama lain yang selalu disebut sebagai ‘Pemegang Saham dan Mitra Pendiri’ utama dalam akta perusahaan.

​Nama-nama itu adalah:

​Aditya Sanjaya (A). Seorang pengacara ternama yang spesialis dalam penutupan kasus kriminal berprofil tinggi.

​Dharma Kusuma (D). Seorang tokoh politik lokal yang memiliki pengaruh besar di kantor kepolisian.

​“Rahmat (R), Aditya (A), Dharma (D). Tiga inisial,” bisik Fira, menghubungkan benang merah itu dengan inisial yang terukir di kalung Nadira. “Nadira pasti mengetahui ketiga nama ini adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas hidupnya, atau yang pasti dihubungi oleh Hendra.”

​“Hendra sudah hilang, tapi dua orang ini masih hidup, masih berkuasa,” kata Raya, tangannya terkepal. “Mereka adalah Bos yang sebenarnya. Mereka yang memastikan Nadira diam selamanya dan kasusnya ditutup sempurna.”

​Fira memutuskan. “Kita harus menghadapi mereka. Tapi kita mulai dari Hendra. Kita harus tahu, di mana Hendra menyembunyikan bukti lain, atau informasi tentang Rahmat Setyawan. Kita harus ke rumah Hendra Wiratma. Sekarang.”

​Kediaman Wiratma yang Angker

​Perjalanan ke rumah Hendra Wiratma terasa jauh lebih mendebarkan daripada ke hotel itu sendiri. Hotel adalah tempat kerja, tempat kejahatan. Rumah adalah tempat kekuasaan, tempat privasi.

​Kediaman Hendra Wiratma terletak di kompleks elit yang tenang, dikelilingi pagar tinggi dan gerbang besi tempa yang kokoh. Rumah itu besar, bergaya klasik Eropa dengan pilar-pilar kokoh dan jendela-jendela tinggi. Namun, rumah itu terasa sepi, bahkan terlalu sepi.

​Raya membunyikan bel, tetapi tidak ada yang menjawab. Mereka memarkir mobil agak jauh.

​Saat mereka mendekati gerbang, seorang pria paruh baya yang tampak tua dan ketakutan, penjaga keamanan yang bertugas, muncul dari pos kecilnya.

​“Maaf, ada perlu apa?” tanyanya, suaranya gemetar.

​Fira bersikap sopan. “Kami mencari Bapak Hendra Wiratma. Kami punya urusan mendesain interior untuk properti barunya.”

​Penjaga itu menjadi lebih pucat. “Bapak Hendra… sudah lama tidak ada di rumah. Pergi. Tidak tahu ke mana.”

​Raya langsung menusuk ke intinya. “Kami tahu dia terlibat dengan Nadira Pramesti. Kami tahu apa yang terjadi di Kamar 111.”

​Mendengar nama Nadira, penjaga itu tersentak seolah tersengat listrik. Ia mundur, wajahnya dipenuhi ketakutan yang mendalam.

​“Pergi! Saya tidak tahu apa-apa! Jangan sebut nama itu di sini!” Penjaga itu mencoba menutup gerbang, tangannya gemetar hebat.

​“Kami hanya ingin tahu tentang Rahmat Setyawan, kepala keamanannya!” desak Fira.

​“Saya… saya tidak tahu! Itu urusan lama! Tapi… tapi saya melihatnya!” bisik penjaga itu, matanya melirik ke arah pintu utama rumah. “Beberapa hari lalu, setelah Tuan Hendra menghilang, saya melihat… bayangan… di dalam rumah. Bukan bayangan manusia. Itu… itu wanita. Dengan rambut basah. Dia berdiri di jendela kamar Tuan Hendra.”

​Penjaga itu kini tampak lebih takut pada arwah daripada pada Fira dan Raya. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak wajar di kediaman itu sejak Hendra menghilang.

​“Siapa yang mengurus rumah ini sekarang?” tanya Raya.

​“Hanya Nyonya Tua. Pembantu. Dia ada di belakang. Dia sudah bekerja di sini sejak Tuan Hendra muda. Dia tahu segalanya,” kata penjaga itu, menunjuk ke samping. “Tapi cepatlah pergi. Bau di rumah ini… bau anyir yang aneh.”

​Di Balik Jendela Kamar Hendra

​Fira dan Raya menyelinap masuk melalui gerbang samping yang tidak terkunci, menuju dapur di belakang rumah. Mereka menemukan seorang wanita tua, seorang pembantu, sedang mencuci piring dengan gerakan lambat dan sedih.

​Wanita tua itu memiliki mata yang penuh kesedihan, seolah menyaksikan terlalu banyak penderitaan di rumah itu.

​Fira mendekatinya. “Nyonya, kami adalah teman dari Nadira Pramesti. Kami tahu Anda tahu kebenaran tentang Kamar 111.”

​Pembantu itu menjatuhkan piring yang dipegangnya. PRANK! Piring itu pecah di lantai keramik. Dia menatap Fira dengan mata yang dipenuhi air mata dan ketakutan.

​“Pergi! Kalian harus pergi! Tuan Hendra sudah pergi, biarkan dia pergi! Kalian akan dibunuh!” bisik pembantu itu, suaranya serak.

​Raya memegang tangannya. “Tolong, Nyonya. Nadira adalah korban. Kami punya rekaman, tapi kami butuh nama ‘Bos’ yang sesungguhnya. Siapa Aditya Sanjaya dan Dharma Kusuma?”

​Pembantu itu memandang berkeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. Ia menarik Fira dan Raya ke sudut dapur, berbicara dengan suara yang hampir tidak terdengar.

​“Kasus itu… Tuan Hendra menutupi segalanya. Dia tidak sendirian. Ada tiga pria yang malam itu berada di kamar 111,” bisik si pembantu.

​Fira dan Raya saling pandang. Dugaan mereka benar. R, A, dan D.

​“Tiga pria itu adalah Tuan Hendra, Tuan Rahmat, dan… dia,” kata pembantu itu, wajahnya semakin pucat.

​“Siapa dia?” desak Fira.

​“Keponakan Tuan Hendra. Anak dari Tuan Dharma Kusuma. Dia sangat dimanja, dan dia selalu ingin mencoba hal-hal gila. Dia yang menemukan Nadira dan membawanya ke kamar malam itu. Dia yang paling kejam,” bisik si pembantu.

​“Nama keponakan itu!” tuntut Raya.

​Pembantu itu hendak menyebutkan nama itu, ketika tiba-tiba, matanya melotot. Dia tidak lagi melihat Fira atau Raya. Dia melihat ke belakang mereka.

​Wajahnya yang keriput berubah menjadi ekspresi kengerian yang murni dan tak tertahankan.

​“D-dia… di-dia di sini…” Pembantu itu mulai gemetar hebat.

​Fira dan Raya berbalik. Tidak ada siapa-siapa.

​Tetapi, pembantu itu kini berpegangan pada dinding, merangkak mundur. Mulutnya terbuka lebar, mencoba berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar.

​Pembantu itu mulai dihantui roh Nadira Pramesti.

​Rahasia yang Dibungkam

​Di depan mata Fira dan Raya, si pembantu tua itu ambruk ke lantai. Tubuhnya kejang, dan dia mulai mencengkeram lehernya sendiri dengan kedua tangannya, persis seperti Nadira dicekik.

​Dia meronta-ronta di lantai, wajahnya berubah menjadi ungu karena kehabisan napas. Di mata Fira, ia melihat sekilas refleksi sosok wanita berambut basah berdiri di samping pembantu itu, menatapnya dengan kesedihan yang tak terbatas.

​Fira bergegas untuk membantu, mencoba melepaskan tangan si pembantu dari lehernya. Tapi cengkeraman si pembantu terlalu kuat, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menahan tangannya di leher.

​“Dia tidak boleh bicara! Dia tidak boleh bicara!” suara serak yang sama yang merasuki Revan terdengar, tetapi kali ini dari udara di sekitar mereka.

​Dalam hitungan detik, pembantu itu tewas di depan mereka, wajahnya membiru, matanya melotot. Dia dibungkam, dibunuh oleh roh Nadira yang tidak ingin rahasia besar itu diungkapkan di tempat yang salah.

​Fira dan Raya mundur, terkejut dan ketakutan. Roh Nadira kini tidak hanya membunuh pasangan yang 'melanggar' ranjangnya. Roh Nadira juga membunuh siapa pun yang ingin mengungkapkan kebenaran secara verbal, seolah-olah dia hanya ingin Fira dan Raya yang menjadi perpanjangan lidahnya.

​Fira menyadari betapa kuatnya ikatan itu. Nadira sudah tahu siapa 'Bos' yang sesungguhnya. Dia sudah tahu semuanya. Dia hanya butuh Fira dan Raya untuk membuka pintu kebenaran, bukan hanya membicarakannya.

​Mereka harus melarikan diri dari rumah itu, membawa informasi berharga: Ada tiga pelaku, salah satunya adalah Keponakan Dharma Kusuma.

​Mereka keluar dari rumah Hendra Wiratma, meninggalkan penjaga yang ketakutan dan mayat seorang pembantu yang malang. Mereka membawa inisial R, A, dan D, dan kini tahu bahwa Nadira akan membunuh siapa saja yang mencoba mengganggu pembalasan arwahnya.

​Fira kini yakin, Revan adalah target utama karena ia adalah satu-satunya yang pernah ia 'rasuki' yang tahu tentang Kamar 111. Nadira melihat Revan sebagai 'pelaku' pengganti untuk menghukum kekejaman para pria.

1
Apri Andi
knpa belum up kak
SecretS
Ini kisahnya benar atau tidak kak, dan daerah mana kok kisahnya tragis gitu 😮😐
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!