Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Cinta Yang Buta
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Hari-hari setelah acara amal itu terasa panjang dan hampa.
Rumah yang dulu penuh tawa kini berubah seperti ruang tunggu — sunyi, rapi, tapi tanpa kehidupan.
Ardan jarang pulang tepat waktu.
Kalau pun pulang, ia hanya masuk kamar, mengganti baju, lalu menatap layar ponselnya dengan senyum yang tidak pernah ditujukan pada Nayara.
Kadang Nayara memperhatikannya diam-diam dari dapur — cara suaminya tersenyum kecil saat mengetik sesuatu, cara matanya berubah lembut ketika ponselnya bergetar.
Itu senyum yang dulu miliknya.
Kini, senyum itu telah berpindah arah.
Suatu malam, sekitar pukul sembilan, Nayara mencoba mengajak bicara.
“Dan,” panggilnya lembut, “besok Ibu mau ke rumah. Katanya mau nginep dua malam.”
Ardan mengangkat kepala sekilas dari ponselnya. “Oh. Yaudah, nggak apa-apa.”
“Dia pengen masakin kamu rawon kesukaanmu,” tambah Nayara pelan, mencoba menghangatkan suasana.
Ardan hanya mengangguk.
“Kalau aku nggak bisa makan di rumah gimana? Minggu ini lagi banyak meeting di luar.”
Nayara menatapnya lama.
“Meeting?” suaranya pelan tapi penuh tekanan. “Setiap malam, Dan? Termasuk malam minggu kemarin juga?”
Ardan memejamkan mata sejenak, menahan nada kesal. “Nayara, kamu jangan mulai lagi, ya. Aku capek. Aku kerja buat masa depan kita.”
“Kerja buat kita, atau buat dia?”
Kata-kata itu keluar begitu saja, dingin dan pelan — tapi seperti pisau yang menembus ruang hening di antara mereka.
Ardan menatapnya tajam. “Apa yang kamu maksud ?”
“Kamu tahu apa maksudku.”
Ia bangkit berdiri. “Jangan bawa nama orang lain dalam urusan rumah tangga kita.”
Nayara menahan air mata. “Aku nggak bawa nama siapa pun. Aku cuma ngomongin yang udah jelas kamu sembunyikan.”
Ardan terdiam sesaat, lalu mengambil kunci mobil di meja.
“Aku keluar dulu.”
“Jam segini?” Nayara menatapnya, tak percaya.
“Udara malam lebih tenang daripada rumah ini,” jawabnya dingin sebelum menutup pintu keras-keras.
Pintu yang tertutup itu meninggalkan gema panjang. Nayara terdiam di tengah ruang tamu yang hanya diterangi lampu kuning redup. Perutnya serasa kosong. Dadanya sesak. Ia tidak menangis kali ini — hanya duduk, diam, menatap ke pintu yang tak lagi tahu kapan akan terbuka lagi untuknya.
Keesokan paginya.
Ibu Nayara datang dengan wajah cerah, membawa dua kantong belanja berisi sayur dan daging.
“Mana Ardan? Udah berangkat kerja?” tanyanya sambil menata barang di dapur.
“Udah, Bu,” jawab Nayara pelan. “Tadi pagi dia berangkat lebih awal.”
Ibu mengangguk pelan. “Aneh, biasanya kamu berangkat bareng dia.”
Nayara hanya tersenyum kaku. “Sekarang dia sering keluar kota.”
Ibu menatap wajah putrinya lama. “Kamu yakin, Nay?”
Pertanyaan itu membuat Nayara terhenti. Ia menunduk, menatap tangan yang sibuk mengiris bawang.
“Yakin apanya, Bu?”
“Yakin dia ke luar kota. Atau jangan-jangan... ke arah yang lain.”
Nayara menutup mata sejenak. Aroma bawang yang tajam membuat matanya perih — atau mungkin bukan bawang yang membuat matanya panas.
“Ibu, jangan mikir aneh-aneh,” katanya pelan.
Tapi sang ibu hanya menghela napas. “Ibu cuma khawatir. Dulu waktu kamu pacaran sama dia, Ibu udah bilang, jangan terlalu percaya sama laki-laki yang hatinya gampang berubah arah.”
Nayara tertawa hambar. “Tapi dia dulu setia, Bu. Kita susah bareng.”
“Justru itu.” Ibu menatapnya tajam. “Laki-laki yang pernah susah bareng sering lupa siapa yang bantu dia berdiri begitu dia udah bisa lari sendiri.”
Kata-kata itu menancap diam-diam di hati Nayara, seperti benih pahit yang tumbuh perlahan.
Sementara itu, di tempat lain.
Ardan duduk di kursi kafe yang sepi, berhadapan dengan Mira.
Cahaya sore menembus kaca besar, membentuk bayangan lembut di wajah perempuan itu.
“Kamu kelihatan capek,” kata Mira pelan sambil menuang kopi untuk Ardan.
“Kerjaan numpuk,” jawab Ardan singkat. Tapi senyumnya melunak saat melihat perhatian kecil itu.
Mira tertawa ringan. “Atau... kamu lagi capek karena terlalu banyak berpikir tentang aku?”
Ardan menatapnya, mencoba menahan senyum tapi gagal. “Kamu terlalu percaya diri.”
“Karena aku tahu, Dan. Tatapanmu itu nggak bisa bohong.”
Mira mencondongkan tubuh sedikit. “Kamu sadar nggak? Waktu kamu sama aku, kamu nggak pernah kelihatan secapek waktu kamu di rumah.”
Ardan terdiam, mencoba membantah — tapi kata-kata itu terasa benar.
Dengan Mira, ia merasa bebas. Tidak ada tanggung jawab yang menekan. Tidak ada pertanyaan yang menuntut.
Hanya tawa, kopi, dan kenangan yang dulu tak sempat ia nikmati.
“Kadang aku mikir,” bisik Mira, “kita dulu cuma salah waktu. Tapi mungkin sekarang... waktu itu akhirnya nyusul kita.”
Ardan menatap mata Mira yang lembut tapi berbahaya. Dan di detik itu, logika terakhirnya runtuh.
Ia meraih tangan Mira di atas meja — tidak peduli pada siapa pun di sekitar mereka.
Mira hanya tersenyum tipis, lalu membalas genggamannya.
Cinta itu buta. Tapi lebih dari itu, cinta mereka adalah kesesatan yang mereka tahu, namun sengaja mereka tempuh.
Di rumah malam itu,
Ibu Nayara sedang menata meja makan ketika telepon rumah berdering.
Ia mengangkatnya, lalu mengernyit. “Halo? Ini dari kantor nya Pak Ardan, benar?”
Suara perempuan muda di seberang berkata sopan, “Benar, Bu. Kami dari kantor pak ardan. Mau konfirmasi jadwal meeting besok pagi.”
“Oh, iya. Dia lagi keluar kota ya?” tanya ibu, mencoba memastikan.
“Oh, tidak, Bu. Sejak minggu lalu beliau kerja dari kantor pusat di Jakarta setiap hari. Tidak ada jadwal keluar kota.”
Tatapan ibu Nayara langsung berubah. “Oh begitu... baik, terima kasih ya.”
Begitu telepon ditutup, ia menatap Nayara yang berdiri di ambang dapur, wajahnya tegang.
“Dengar semuanya?” tanya sang ibu pelan.
Nayara menunduk. “Iya, Bu.”
“Kamu masih mau bilang Ibu kebanyakan curiga?”
Nayara tak menjawab. Air matanya jatuh perlahan ke lantai. Ia mencoba menahan isak, tapi suaranya pecah juga. “Kenapa harus dia, Bu? Kenapa bukan aku yang cukup buat dia?”
Ibu mendekat, memeluk bahu putrinya. “Karena kamu terlalu tulus buat laki-laki yang lagi buta, Nak. Orang yang buta nggak bisa lihat siapa yang sebenarnya menyinarinya.”
Malam itu, Ardan pulang larut.
Aroma parfum perempuan lain samar menempel di kemejanya.
Nayara duduk di ruang tamu, tidak lagi menunggu dengan gelisah — hanya dengan ketenangan yang menyeramkan.
“Dari mana?” suaranya datar.
Ardan menatapnya singkat. “Ngurus proyek.”
Nayara menatap ke arah leher bajunya, di mana ada sedikit noda lipstik samar.
“Proyek yang wangi, ya?”
Ardan tersentak, menatapnya tajam. “Kamu mulai lagi?”
“Aku cuma nanya,” jawab Nayara dengan tenang. “Aku udah berhenti marah, Dan. Aku cuma pengen tahu seberapa jauh kamu mau tenggelam.”
Ardan memalingkan wajah. “Aku capek, Nay. Kamu terus bikin semuanya berat.”
“Karena aku masih peduli,” bisiknya lirih. “Tapi kalau kamu udah nggak peduli, bilang aja. Aku nggak mau jadi bayangan di rumah sendiri.”
Ardan terdiam.
Ia tahu Nayara benar. Tapi rasa bersalahnya terkalahkan oleh rasa candu yang tumbuh setiap kali ia menatap Mira.
Senyum Mira, tatapan Mira, suara Mira — semua mengikatnya seperti racun manis yang tak bisa ia tolak.
Beberapa hari kemudian,
Ardan benar-benar berhenti makan di rumah. Ia pulang hanya untuk tidur, dan bahkan itu pun jarang.
Nayara mulai terbiasa makan sendirian. Ibu yang masih tinggal di rumah beberapa hari berusaha menemaninya.
“Bu, aku heran,” kata Nayara suatu malam. “Kenapa aku nggak bisa benci dia sepenuhnya?”
Ibu mengelus rambutnya lembut. “Karena kamu pernah cinta dengan seluruh dirimu, Nak. Tapi nanti... waktu yang akan ganti perasaan itu jadi kekuatan.”
Nayara tersenyum getir. “Tinggal tunggu waktu ya, Bu. Aku cuma takut nanti aku udah terlalu hancur sebelum waktunya sempat nolong aku.”
Ibu menatapnya dalam. “Kalau kamu terus sabar, bukan kamu yang hancur, tapi dia orang yang membutakan dirinya sendiri.”
Di luar sana, di sebuah apartemen mewah, Ardan baru saja bangun dari tidur lelapnya lalu menatap Mira yang tertidur di pelukannya.
Ada senyum samar di wajahnya, tapi juga rasa sesak aneh di dada. Dia memikirkan yang beberapa jam lalu dia lakukan bersama Mira, hal yang harusnya ga di lakukan dengan Mira.
Ia tahu ini salah. Tapi hatinya menolak berhenti.
Mira membuka mata pelan, menatapnya lembut.
“Kamu kenapa?” bisiknya.
Ardan menatapnya. “Aku cuma mikir... semua ini bener nggak, Mir?”
Mira menelusuri wajahnya dengan ujung jarinya. “Kalau rasanya benar, kenapa harus salah?”
Ardan memejamkan mata.
Ia ingin percaya pada kalimat itu.
Ia ingin menolak kenyataan bahwa di tempat lain, ada perempuan yang menunggunya di rumah dengan doa yang ia abaikan.
Tapi cinta yang buta tak memberi ruang bagi logika — hanya rasa.
Dan rasa itu kini membawanya semakin jauh dari rumah yang dulu ia sebut “hidup.”
Bersambung....