Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: Bisikan dari Balik Dinding
Risa nyaris tersandung kakinya sendiri saat Kevin menariknya masuk ke kamar, dorongan yang terasa mendesak dan mendebarkan. Suara derit pintu depan yang terbuka disusul langkah kaki yang mantap di lantai kayu ruang tamu, semakin mempercepat detak jantung mereka berdua. Kertas lusuh itu kini sudah terlipat rapi di tangan Kevin, diselipkan ke saku celana jinsnya. Wajahnya tegang, namun matanya memancarkan tekad yang sama kuatnya dengan ketakutan yang terlihat jelas di wajah Risa. Ia tahu, mereka tidak bisa membiarkan Bibi Lastri tahu. Tidak sekarang. Tidak saat segalanya masih terasa begitu absurd dan mengerikan.
“Ngapain di kamar? Bibi bawakan kue kesukaanmu,” suara renyah Bibi Lastri memecah kesunyian yang mencekam. Suara itu, yang biasanya terdengar menenangkan, kini justru terasa seperti belati dingin yang menusuk. Risa menelan ludah. Ia melirik Kevin, yang sudah berdiri tegak, berusaha terlihat santai.
“Oh, Bi. Itu, tadi Risa lagi ngambil buku di kamar, terus Kevin bantuin nyariin,” Kevin berujar cepat, suaranya terdengar sedikit terlalu ceria. Risa hampir saja terkesiap mendengar kebohongannya yang begitu lancar.
Bibi Lastri muncul di ambang pintu kamar Risa, seulas senyum ramah terlukis di bibirnya. Senyum yang selalu sama, tidak pernah berubah. Tapi mata Risa, yang terasa semakin peka belakangan ini, menangkap kilasan aneh di balik sorot mata Bibi Lastri. Kilasan yang terlalu cepat untuk ditafsirkan, namun cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang. Di tangan Bibi Lastri ada nampan berisi dua potong kue lapis dan segelas susu cokelat.
“Oh, begitu. Bibi kira kalian sedang apa. Yuk, dimakan kuenya. Bibi buat khusus untuk Risa,” ucap Bibi Lastri, melangkah masuk dan meletakkan nampan itu di meja belajar Risa. Ia melirik Kevin sekilas, senyumnya sedikit memudar.
“Kevin, kamu enggak pulang? Sudah sore, lho. Nanti dicariin orang rumah,” lanjutnya, nada suaranya berubah jadi sedikit lebih dingin. Risa merasakan tegangan di antara mereka, setipis benang namun terasa begitu nyata.
Kevin tersenyum tipis. “Sebentar lagi, Bi. Ini lagi ngobrolin PR sama Risa. Ada soal yang susah banget.”
“PR lagi? Kamu ini, Risa. Jangan terlalu membebani Kevin, dong. Kasihan,” sindir Bibi Lastri, matanya menatap Risa dengan sorot yang… bukan ramah. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tersembunyi jauh di balik keramahtamahan palsu itu. Risa merasa jantungnya berdebar kencang, takut Bibi Lastri akan melihat kegugupan di wajahnya.
“Enggak kok, Bi. Kevin juga suka kok bantuin aku,” Risa mencoba membalas, suaranya sedikit bergetar. Ia menunduk, mengambil sepotong kue lapis, dan pura-pura menggigitnya. Manisnya kue terasa hambar di lidahnya.
Bibi Lastri hanya mengangguk, lalu beranjak keluar kamar. “Ya sudah. Jangan sampai kemalaman ya, Kevin. Nanti Bibi siapkan teh di ruang tengah.”
Setelah Bibi Lastri menghilang di balik pintu, Risa langsung menghembuskan napas panjang yang entah berapa lama ia tahan. Kevin mendekat, mengunci pintu kamar Risa.
“Gila, Bi Lastri itu… auranya beda banget,” bisik Risa, tangannya memegang dada, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih menggila. “Gue ngerasa dia tahu sesuatu, Kev.”
Kevin mengangguk, mengeluarkan kertas lusuh itu lagi. “Mungkin. Tapi kita harus tenang. Kita nggak boleh kasih dia kesempatan buat curiga.” Ia membuka lipatan kertas itu, menatap tulisan tangan yang samar.
“Jadi… nenek lo? Nenek dari pihak ibu? Itu orang yang dimaksud ‘Ibuku’ di sini?” Kevin bertanya, matanya menyipit penuh konsentrasi. “Lo ingat sesuatu tentang nenek lo?”
Risa mencoba mengingat. Neneknya… wanita tua yang lembut, selalu memberinya kue beras dan membelai rambutnya. Wanita yang selalu tersenyum. Tapi benarkah ada sisi gelap dari neneknya? Sisi yang mampu melakukan sesuatu yang begitu mengerikan? “Nggak… gue cuma ingat dia baik banget. Dia meninggal karena sakit tua, kan? Beberapa tahun sebelum kejadian Ibu…” Suara Risa memelan, kenangan akan kematian ibunya seperti kabut tebal yang menyelimutinya, menyisakan rasa sakit yang tumpul.
“Gue juga denger begitu. Tapi kenapa Ibu lo nulis ini? ‘Ibuku tidak pernah benar-benar mencintaiku… dia… dia ada di balik semua ini’,” Kevin membaca ulang, setiap kata terasa seperti pukulan. “Kalo ini bener soal nenek lo, berarti nenek lo terlibat dalam sesuatu yang buruk. Dan Ibu lo… dia tahu. Mungkin dia korban?”
Risa menggelengkan kepala, pikirannya berkecamuk. “Tapi… kenapa? Apa hubungannya sama kematian Ibu? Dan apa maksudnya ‘Kunci’?” Ia menunjuk tulisan itu. Liontin kunci di lehernya terasa dingin, seolah menyerap seluruh kengerian yang baru saja terungkap.
Kevin menatap liontin kunci di leher Risa. “Liontin lo itu… ini kan hadiah dari Ibu lo, kan?”
Risa mengangguk. “Iya. Dulu dia bilang, ‘Kunci ini akan membawamu pada kebenaran, Sayang.’ Gue nggak pernah ngerti maksudnya.” Ia meremas liontin itu erat-erat.
“Mungkin bukan kunci itu, Ris. Maksudnya adalah kunci informasi, atau kunci ke suatu tempat. Coba pikir, apa yang bisa jadi ‘kunci’ di rumah ini?” Kevin mulai melihat sekeliling kamar Risa, matanya menyapu setiap sudut, setiap perabot.
Kamar Risa adalah cerminan dirinya yang melankolis. Rak buku penuh novel fantasi, beberapa potret lama yang mulai menguning, dan sebuah meja rias dengan cermin usang. Tiba-tiba, mata Risa terpaku pada sesuatu. Sebuah laci kecil di bawah meja rias, yang selalu terkunci. Ia tidak pernah punya kuncinya. Dulu, ibunya selalu menyimpan perhiasan di sana.
“Laci itu, Kev! Laci di bawah meja rias. Itu laci Ibu, selalu terkunci. Gue nggak pernah bisa bukanya,” Risa berseru, beranjak mendekati meja rias. Kevin ikut mendekat, menyipitkan mata pada laci kayu gelap itu.
“Coba kita cek liontin lo. Siapa tahu kuncinya pas,” Kevin menyarankan. Dengan tangan gemetar, Risa melepaskan kalung liontinnya. Bentuknya kecil, dengan ukiran bunga mawar samar di bagian gagang. Ia memasukkannya ke lubang kunci laci. Tidak pas. Terlalu besar.
Kekecewaan menggerogoti Risa. “Bukan… bukan kunci ini.”
Kevin mencoba menenangkan. “Nggak apa-apa. Mungkin maksud ‘kunci’ itu lebih metaforis. Atau, ada kunci lain yang tersembunyi.” Ia menepuk bahu Risa pelan. “Kita harus cari tahu lebih banyak tentang nenek lo. Dan tentang Ibu lo. Ada kotak surat lama atau semacamnya?”
Risa menggeleng. “Nggak ada yang spesifik. Setelah Ibu meninggal, Ayah langsung pindah dari sini. Semua barang-barangnya ditumpuk di loteng. Gue nggak pernah berani ke atas.” Suara Risa bergetar saat menyebut loteng. Dulu, ia selalu merasa ada sesuatu yang mengawasi dari sana.
Kevin mendongak, seolah bisa melihat loteng dari bawah. “Loteng, ya? Biasanya tempat harta karun atau… rahasia disembunyikan. Besok, kita coba cek loteng. Tapi kita harus cari tahu lebih banyak tentang Ibu lo dulu. Mungkin ada temannya, atau saudara lain selain Bibi Lastri yang bisa kita tanyain?”
Risa mengerutkan kening. “Nggak ada. Keluarga Ibu gue kecil. Cuma dia, nenek, sama Bibi Lastri. Ayah juga jarang ngomongin keluarga Ibu setelah kejadian itu. Kayak dia sengaja nutupin semuanya.”
Tiba-tiba, sebuah suara lirih berbisik di telinga Risa, seperti embusan angin dingin yang menembus kulitnya. *“Jangan percaya… siapapun…”*
Risa terkesiap, mundur selangkah. “Kev… lo denger itu?” Matanya melebar, menatap sekeliling kamar yang tiba-tiba terasa jauh lebih dingin. Jendela tertutup rapat, tidak ada angin yang masuk.
Kevin menatapnya bingung. “Dengar apa, Ris? Gue nggak denger apa-apa.”
“Ada yang bisikin… ‘Jangan percaya siapapun’,” Risa berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Ia memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pening, seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalamnya. Sensasi aneh ini semakin sering muncul belakangan ini, terutama di rumah ini.
Kevin melihat perubahan ekspresi Risa, wajahnya pucat. Ia meraih tangan Risa. “Lo kenapa? Lo sakit?”
Risa menggeleng, matanya masih terpaku pada dinding kamar yang terasa seperti mengawasinya. “Nggak tahu, Kev. Rasanya… aneh. Kayak ada yang pengen ngomong, tapi nggak bisa.”
“Jangan-jangan itu arwah Ibu lo?” Kevin bertanya ragu, meskipun ia sendiri seorang yang logis, kejadian aneh di rumah ini mulai sedikit menggoyahkan keyakinannya. “Dia pengen kasih tahu sesuatu?”
Risa menatap liontin kuncinya lagi, lalu ke kertas lusuh di tangan Kevin. Sebuah ide gila melintas di benaknya. Jika arwah ibunya mencoba berkomunikasi… mungkin ada cara untuk mendengar mereka dengan lebih jelas.
“Kev, kita harus cari tahu lebih banyak tentang rumah ini. Bukan cuma cerita nenek atau Ibu, tapi sejarah rumah ini. Bangunannya, siapa pemilik sebelumnya… semuanya,” Risa berujar, suaranya kini dipenuhi tekad yang membara. Ketakutan itu masih ada, namun tersulut oleh rasa ingin tahu yang lebih besar, dan kebutuhan mendesak untuk memahami bisikan-bisikan itu.
Kevin mengangguk, melihat kilatan tekad di mata Risa. “Oke. Perpustakaan kota. Besok pulang sekolah kita ke sana. Kita mulai dari arsip lama tentang rumah ini. Siapa tahu ada sesuatu yang terlewat.”
Mereka berdua saling pandang, beban rahasia di antara mereka kini terasa lebih nyata, lebih berat. Kertas lusuh itu, bisikan gaib, dan sorot mata Bibi Lastri yang mencurigakan… semua ini hanyalah permulaan. Di balik dinding-dinding usang ini, kebenaran yang lebih gelap dan mengerikan sedang menunggu untuk diungkap. Dan Risa, dengan indra keenamnya yang mulai terbangun, akan menjadi kunci untuk membuka kotak pandora itu, entah ia siap atau tidak.
Di luar, senja mulai merayap, mewarnai langit dengan jingga dan ungu. Bayangan pepohonan tua di taman semakin memanjang, menari-nari di dinding rumah, seolah menyampaikan pesan rahasia yang tak terucapkan. Malam itu, Risa tahu, ia tidak akan bisa tidur tenang. Bayang-bayang nenek, arwah ibu, dan wajah tersenyum Bibi Lastri akan menghantuinya, membisikkan janji bahaya yang semakin dekat.